POV Author
Keesokan harinya, Alfian dan Sinta pergi jalan-jalan. Sudah beberapa bulan mereka resmi berpacaran. Bukan hubungan yang serius, karena Alfian hanya menjadikannya sebagai pelarian.
Sinta bergelayut manja di lengan Alfian, sembari berkeliling dari satu toko dan toko yang lain.
"Ayo, pulang. Aku sudah bosan." Alfian menarik tangan Sinta hingga terlepas, sejujurnya ia merasa risih berdekatan dengan Sinta. Awalnya, Alfian pikir dengan memiliki kekasih baru bisa mengisi kekosongan di hatinya. Namun yang terasa hidup Alfian tetap terasa hambar.
"Sebentar, Sayang. 30 menit lagi, ya." Sinta merengek manja, ia kembali memeluk lengan Alfian lalu menyandarkan kepalanya di bahu Alfian.
"Hemmm," Alfian hanya berdehem. Sinta menarik tangan Alfian lalu membawanya memasuki toko pakaian. Sinta memilih pakaian sesuka hatinya karena Alfian akan membayar semua belanjaannya.
Dengan tenang Alfian berdiri di samping Sinta yang tengah asyik memilih pakaian. Tak lama kemudian seorang SPG menghampiri mereka.
"Permisi, ada yang bisa saya bantu?"
Alfian berbalik, betapa terkejutnya ia melihat Nurmala yang tak kalah terkejutnya dengannya. Alfian dan Nurmala diam membeku saat mata mereka saling beradu.
Nurmala lebih dulu berpaling setelah sadar dari keterkejutannya, dia tak pernah menyangka akan bertemu dengan laki-laki yang paling ia benci di dunia ini yaitu Alfian. Emosi lagi-lagi mencuat, mengingat kejadian itu.
Nurmala muak melihat Alfian, ia segera mundur untuk berbalik, tak mau lagi berurusan dengan Alfian. Sialnya dia malah tersandung rak pakaian hingga terjerembab, beruntung Alfian dengan sigap menangkapnya hingga Nurmala urung jatuh. Kini posisi mereka berpelukan. Keduanya kembali ingat kejadian waktu lalu.
"Alfian," sentak Sinta saat melihat posisi Alfian dan Nurmala yang terlihat mesra.
"Lepas," sentak Nurmala. Ia segera mendorong d**a Alfian hingga pelukan mereka terlepas. Nurmala bergegas pergi, tapi lagi-lagi langkahnya terhenti oleh supervisor. "Kamu karyawan baru kan, itu ada pengunjung kenapa tidak di layani. Jangan lupa, kamu masih masa training." kata supervisor dengan nada mengintimidasi.
"Iya, maaf." Nurmala menunduk, terpaksa melucuti harga dirinya. Dengan berat hati, ia kembali menuju tempat Alfian berdiri. Pria itu menatap Nurmala tanpa berkedip.
Nurmala menghela nafas berat saat berdiri di samping Sinta yang tengah asyik memilih pakaian. Tangan Nurmala mengepal, ia merutuki keadaannya yang tak bisa menuntut keadilan dan berbuat apapun. Rasanya begitu sulit bernapas jika berdiri di dekat Alfian.
Nurmala butuh pekerjaan ini, mencari pekerjaan sangat lah sulit. Jangan sampai hanya karena laki-laki ini, Nurmala kehilangan pekerjaannya
"Wajahmu pucat sekali, apa kamu sakit?" tanya Alfian. Nurmala malah melengos, membuang muka. Sikap Nurmala membuat Alfian tak nyaman. Alfian mendengus kesal karena di acuhkan. Dia memperhatikan wajah pucat Nurmala yang penuh dengan keringat.
"Sayang, ini bagus nggak?" Sinta meletakkan dress ke depan dadanya tapi Alfian tak memberikan respon. Sinta cemberut karena Alfian acuh padanya.
Menyadari sikap tak nyaman Nurmala karena dirinya, Alfian mengalah. Ia memilih berdiri agak jauh dari Nurmala. Kedua tangannya masuk ke dalam saku celana sedangkan matanya masih fokus memperhatikan Nurmala. Ada rasa bersalah terselip di hatinya. Alfian akan menebus kesalahannya pada gadis itu tapi bukan dengan cara menikah.
Alfian berjalan dan mengambil sederet pakaian secara asal dan membawanya ke kasir. Tujuannya agar Nurmala mendapatkan bonus karena mampu menjualkan pakaian dalam jumlah banyak. Setelah selesai melakukan transaksi di kasir. Alfian menarik paksa Sinta untuk keluar dari toko.
"Sayang, aku belum selesai berbelanja."
Sinta merengek manja. Ia tidak puas dengan pakaian yang dipilihakan Alfian secara asal.
"Sudah cukup. Ini sudah banyak." Alfian menenteng banyak tas pakaian di tangannya.
***
Pukul sebelas malam Nurmala baru saja keluar dari tempatnya bekerja, karena hari ini dia kebagian shift malam.
Nurmala berjalan kaki menuju apotek yang buka 24 jam, lokasinya tak terlalu jauh dari tempatnya bekerja.
Nurmala ingin membeli obat sakit kepala. Akhir-akhir ini dia kurang sehat, selalu muntah di pagi hari, mual bila mencium bau menyengat dan sakit kepala sering menyerangnya.
Datang wanita hamil berdiri di hadapan Nurmala. "Mau beli apa, dik?" tanya penjaga apotik.
Mata Nurmala terus tertuju pada perut wanita yang membuncit itu. Tiba-tiba hatinya was-was memikirkan segala kemungkinan terburuk yang akan terjadi.
Tubuh Nurmala gemetaran, tangannya terasa dingin saat mengingat ia dan Alfian sudah melakukan hubungan badan. Bukankah kemungkinan Nurmala juga bisa hamil.
Nurmala melihat tanggal di layar Hpnya. Harusnya dia menstruasi antara tanggal 4 sampai tanggal 7. Ini sudah tanggal 18 tapi kenapa ia belum datang bulan juga.
Hati Nurmala semakin kalut, dia sudah membayangkan hal yang tidak-tidak. Dia takut hamil. Memikirkan hal itu, mendadak kepalanya pusing.
"Mbak, beli testpack 4 biji. Emmm, untuk Kakak saya. Dan obat untuk sakit kepala." Nurmala memilih untuk memastikan daripada harus menduga-duga.
Setelah mendapatkan obat dan testpack, Nurmala melakukan pembayaran, dia buru-buru keluar dari apotik.
Nurmala terus berjalan di atas jalan paving blok, tepat di sisi jalan raya yang nampak sepi, hanya ada segelintir kendaraan lalu lalang melaju dengan cepat.
Malam semakin larut, udara terasa begitu dingin menusuk kulit. Nurmala memeluk tubuhnya sendiri.
"Zleeeep ... Aaakkhh ..." Nurmala jatuh tersungkur di atas paving blok ketika seorang pengendara motor yang berboncengan menjambret tasnya.
Nurmala berdiri, lalu membersihkan lutut dan tangannya yang kotor dan terluka.
Nurmala kembali melangkah dengan kaki yang perih, dia kebingungan harus bagaimana? Dia tidak mungkin bisa mengejar penjambret itu apalagi melawan mereka di daerah yang sepi seperti ini.
Nurmala ketakutan ketika melihat pengendara motor itu kembali. Dua pria yang menjambret tasnya turun dari motor, lalu melangkah mendekati mendekati Nurmala.
"Kalian mau apa lagi?" tanya Nurmala sembari melangkah mundur.
"Mau tasmu balik, nggak?" salah satu pria itu menyeringai dengan kilatan mata penuh gairah.
"Nggak usah, ambil aja." Nurmala berbalik dan berlari dengan kencang, tapi langkahnya kalah cepat di bandingkan dengan kaki panjang dua penjambret itu. Apalagi kakinya terluka. Nurmala di sergap dari belakang, mulutnya di bekap dan di seret secara paksa. Mereka membawa Nurmala ke tempat sepi. Hati Nurmala semakin kalut, dia takut menjadi korban pelecehan untuk kedua kalinya. Harus melayani dua orang sekaligus itu pasti lebih menyeramkan daripada yang Alfian lakukan padanya.
"Tolong jangan sentuh saya, kalian bisa ambil apapun milik saya tapi tolong jangan perkosa saya." tangis Nurmala pecah saat dua pria itu berusaha merebahkan Nurmala di atas tanah, dia tak ingin di nodai untuk kesekian kalinya.
"Kami cuma mau kamu." pakaian Nurmala mulai di tarik paksa, namun dia masih berusaha mempertahankan pakaiannya, mencengkram bagian kancingnya dengan erat.
"Tolooooong ..." teriak Nurmala sekuat tenaga. Air matanya mengalir deras.
"KREEEKKK"
Pakaian Nurmala ditarik hingga robek.
"JANGAAANNN ... Aku mohon jangan ... Toloooong!" tangis Nurmala semakin pecah, ia memohon dengan suara terisak.
"Ayolah, ini sudah malam. Tidak akan ada yang bisa menolongmu. Nikmati saja. Kami lakukan dengan lembut." pria itu menekan tangan Nurmala ke atas kepala, pria satunya lagi menarik kaki Nurmala.
BUGH
Seorang pria tiba-tiba muncul, lalu memukul dua b******n itu secara bergantian dengan balok kayu. Melihat kemunculan pria itu, dua penjambret itu lari terbirit-b***t.
Pria itu membuang kayu di tangannya, lalu membuka jasnya dan menyampirkannya pada tubuh mungil Nurmala, lalu mengambil tas milik Nurmala yang robek.
"Kamu tidak apa-apa?"
"Nggak apa." Nurmala menggeleng pelan. Ia masih terisak sembari memeluk dirinya sendiri, menutupi pakaiannya yang robek.
"Kamu bisa berdiri." Nurmala mencoba untuk bangkit, tapi malah terjatuh karena sendi-sendinya terasa lemas tak bertenaga.
Pemuda yang sejak tadi hanya menonton usaha Nurmala, akhirnya merangkul bahu Nurmala dan membantunya berdiri.
"Mari kuantar pulang." ajaknya ramah.
"Nggak perlu, Mas. Terima kasih."
"Jangan menolak, aku tidak mau kamu dalam bahaya. Jangan takut, aku bukan orang jahat."
Nurmala mengangguk, pria itu membawa Nurmala masuk ke dalam mobilnya.
"Namaku Raffa. Namamu siapa?" tanya pria yang duduk di balik kemudi. Sedangkan Nurmala duduk di sebelahnya.
"Nurmala." Nurmala menunduk, sembari memeluk dirinya sendiri dengan tangan yang gemetar ketakutan.
"Nama yang cantik, seperti pemiliknya." Raffa menerbitkan senyuman, hingga lesung pipi tercetak di wajahnya membuat wajah Raffa terlihat semakin manis. Namun, senyum indah itu pudar saat melihat lutut Nurmala yang terluka.
"Kita ke apotik dulu," ajak Raffa.
Nurmala hanya bergeming, masih berkutat dengan pikirannya sendiri hingga tak menyadari arah laju mobil.
Raffa memutar balikkan mobil menuju apotik. Tak lama kemudian mobil berhenti di depan apotik.
"Tunggu di sini sebentar." Raffa segera turun dari mobil lalu masuk ke apotik.
Nurmala yang sejak tadi melamun baru menyadari posisinya di mana saat Raffa turun dari mobil. Nurmala melihat punggung Raffa dari balik jendela mobil.
Raffa segera membawa Nurmala pulang setelah membeli obat luka untuk Nurmala.
Setelah menempuh perjalanan selama 15 menit, mobil berhenti di depan kosan Nurmala. "Kamu tinggal di sini?" tanya Raffa.
"Iya. Terima kasih untuk tumpangan dan pertolongannya," ucap Nurmala dengan tulus. Dia mengembalikan jasnya pada Raffa.
"Sama-sama. Ini obat untuk lukamu." Raffa menyodorkan kantung keresek yang berisi obat pada Nurmala.
"Terima kasih banyak, ya. Aku tidak tahu harus membalasmu dengan apa?" ucap Nurmala setelah menerima obat dari Raffa.
"Cukup dengan senyummu dan sebut namaku dalam doamu. Namaku Raffasa."
"InsyaAllah." jawab Nurmala lalu turun dari mobil.
"Tunggu?" Raffa memanggil Nurmala saat gadis itu hendak pergi.
Nurmala berbalik dan bertanya. "Ada apa?"
"Apa kamu sudah punya suami?" tanya Raffa.
"Nggak punya?" jawab Nurmala dengan ekspresi datar.
"Apa kamu punya kekasih?"
"Nggak punya." jawab Nurmala sembari menggelengkan kepalanya. "Aku pulang dulu, ya."
"Iya." Raffa terus menatap punggung Nurmala, untuk memastikan gadis itu benar-benar aman.
Sesampainya Nurmala di kosan, dia melihat Ratna sudah terlelap, dengan gegabah Nurmala membongkar isi tasnya dan mengambil testpack.
Nurmala membawa testpack itu ke dalam kamar mandi. Nurmala langsung menggunakan testpack tersebut sesuai dengan aturan pakai yang tertera di bungkusnya.
Tangan Nurmala gemetaran menunggu hasil testpack yang ada di tangannya. Sedetik, dua detik, tiga detik ...
Deg
Jantung Nurmala terasa mencelos ingin keluar ketika melihat garis dua. Matanya terbelalak melihat garis dua di testpack itu.
"Nggak, nggak, aku nggak mungkin hamil. Aku nggak boleh hamil. Ini pasti ada yang salah. Aku nggak mungkin hamil." Nurmala mulai menangis.
Ia kembali mencoba semua testpack dan semua hasilnya sama, positif. Tubuh Nurmala mendadak lemas, ia merosot di atas lantai, tangisnya seketika pecah kala itu juga, dia menangis sejadi-jadinya.
"Aku nggak mau hamil, aku nggak mau hamil, aku nggak boleh hamil."
Nurmala menangis seraya memukuli perutnya, berharap dengan begitu ia akan keguguran. Apa yang akan dia katakan nanti pada ibunya jika dia hamil.