Nurmala kebingungan, apa yang harus dia lakukan. Jika ibunya tahu Nurmala hamil, pasti beliau akan marah. Hidup Nurmala sudah susah, apalagi dengan kehamilannya. Belum lagi cemoohan orang-orang tentangnya, nanti. Jalan satu-satunya adalah menggugurkannya.
Ratna terbangun dari tidurnya saat mendengar tangisan Nurmala. Ratna khawatir dengan keadaan Nurmala, ia bergegas ke kamar mandi. Dia terkejut melihat Nurmala duduk di lantai sembari memukuli perutnya, terlebih lagi ada 4 tespek dengan dua garis merah berceceran di lantai.
"Nurmala." seru Ratna. Ia menarik tangan Nurmala, tak ingin melihat Nurmala menyakiti diri sendiri.
"Hidupku hancur, Na.... Hidupku hancur..." Nurmala menangis pilu. Ratna segera menarik Nurmala ke dalam pelukannya. Membiarkan Nurmala menangis tersedu-sedu untuk mencurahkan semua rasa sakitnya.
"Siapa pelakunya Nur, siapa ayah dari bayimu?... Dia harus tanggung jawab!" pipi Ratna sudah basah dengan air mata.
"Aku di perkosa, Na... aku di perkosa... aku di perkosa..." Ratna terkejut, tangis Nurmala semakin kencang. Ratna pun ikut menangis, dia bisa merasakan penderitaan yang telah di alami oleh sahabatnya. Sekarang dia tahu, alasan Nurmala selalu terlihat sedih, ia tak pernah menyangka bahwa Nurmala akan mengalami hal seburuk ini.
"Siapa Nur? Siapa yang udah perkosa kamu? siapa?..." tanya Ratna, "Apa kak Firman?" tanya Ratna yang di jawab dengan gelengan oleh Nurmala.
Ratna melepaskan pelukannya, ia merangkum kedua pipi Nurmala yang masih menangis sesenggukan karena dia tidak mau menjawab pertanyaannya. "Katakan, siapa pelakunya?..." Nurmala kembali menggeleng sembari menutup wajahnya dengan telapak tangan.
"Katakan Nur, siapa yang udah perkosa kamu?" Ratna masih menuntut jawaban.
"Anak majikanku." jawab Nurmala dengan suara serak.
"Ya Tuhan..." Ratna terkejut, lalu memeluk Nurmala, "Dia harus tanggung jawab, Nur. Dia harus nikahin kamu, besok kita ke rumahnya."
"Jangan, aku nggak mau nikah sama dia. Dia jahat, aku benci sama dia."
"Terus gimana sama kandungan kamu?"
"Gugurin aja. Aku nggak sanggup kalau harus punya anak di luar nikah."
"Lebih baik kita keluar dulu dari sini. Kita cari solusi sama-sama." Nurmala mengangguk, Ratna menuntunnya keluar dari kamar mandi.
***
Alfian tak lagi tinggal di rumah orang tuanya, sebab ranjangnya selalu mengingatkan kejadian itu, di mana dia sudah memaksa seorang gadis. Ia lebih memilih tinggal di rumah pribadi yang ia beli sendiri dengan hasil kerja kerasnya.
Wajah gadis itu selalu terbayang-bayang menghantuinya. Membuat rasa bersalahnya menyeruak setiap saat, terlebih gadis itu belum mencairkan cek yang ia berikan. Dia ingin melupakan kejadian itu dan hidup tenang tanpa rasa bersalah. Tapi sial, tadi dia malah bertemu dengannya lagi.
Ketika pikiran sibuk memikirkan Nurmala, terdengar suara ketukan pintu. Alfian beranjak dari sofa dan bergegas menuju pintu utama. Ia terkejut ketika melihat Vanessa berdiri di depan pintu. Jantung Alfian masih berdebar untuk Vanessa, satu-satunya wanita yang mampu mencuri hatinya. Alfian sudah berusaha untuk melupakan Vanessa, beberapa kali berganti kekasih sebagai pelarian, tapi rasa cinta untuk Vanessa sedikitpun tak bisa pudar. Tiba-tiba Vanessa berhambur memeluk Alfian sembari menangis tersedu-sedu.
"Mau apa kamu datang kemari?" tanya Alfian, hatinya terlalu sakit menerima kenyataan bahwa Vanessa menikah dengan sahabatnya.
"Dia jahat sama aku, Al."
"Jangan seperti ini, tidak enak di lihat orang." Alfian melihat seorang cleaning servis yang lewat sembari memperhatikannya. Karena Vanessa tak mau melepaskan pelukannya, Alfian pun membawanya masuk ke dalam apartemennya.
Alfian memberikan Vanessa segelas air putih dan langsung di minumnya hingga tandas. Alfian duduk di hadapan Vanessa yang di batasi meja.
"Alfian, apa kamu masih cinta sama aku?"
"Apa pentingnya itu sekarang?"
"Jika aku bercerai dari suamiku, apa kamu mau kembali sama aku?"
"Aku tidak mau merusak rumah tangga orang."
Vanessa menunjukkan luka dan lebam di area tangan dan kakinya, dia membuka syal yang menutupi bekas cekikan di lehernya."Bukan kamu yang merusak rumah tanggaku, suamiku ringan tangan. Dia suka menyiksaku. Aku nggak sanggup jadi istrinya."
"Mana mungkin Revan sekasar itu padamu?"
"Aku sendiri juga baru tahu sifat aslinya setelah menikah. Seharusnya aku tidak menerima perjodohan itu. Tolong terima aku kembali, Al"
Alfian menghela nafas berat, jujur saja hatinya masih di penuhi oleh nama Vanessa. Tapi pengkhianatan Vanessa terlalu menyakitkan untuknya.
"Kamu yang meninggalkan aku, sekarang kamu ingin meninggalkan suamimu!"
"Al, aku terpaksa nikah sama dia. Papa yang maksa aku, Al. Seharusnya aku menolak perjodohan itu dan mempertahankan cinta kita. Aku masih cinta sama kamu, Al."
Alfian menyandarkan punggungnya di sofa, berpikir sejenak kemudian berkata, "Selesaikan dulu urusanmu dengan Revan. Jika sudah selesai, baru kamu boleh datang padaku."
"Kamu serius, Al." Vanessa tersenyum cerah.
"Hemmm" Alfian hanya berdehem.
***
Roy masuk ke ruangan Alfian, di jam istirahat ini Alfian masih sibuk berkutat dengan pekerjaannya untuk mengalihkan kekacauan dalam hidupnya. Di atas meja, Roy meletakkan map berisi berkas-berkas yang harus di tandatangani Alfian.
"Nggak istirahat?" Roy melihat jam yang melingkar di tangannya.
"Sibuk."
"Aku mau cari makan, kamu mau pesan nggak?"
"Rujak mangga."
"Mangga? Serius kamu pesan rujak mangga." Kening Roy berkerut.
"Iya."
"Tumben! Biasanya kamu nggak suka makanan asam."
"Jangan banyak tanya." membayangkan mangga saja air liur Alfian sudah mengucur di kerongkongan.
"Kamu ada masalah apa, kok jutek mulu'?" Roy tahu jika Alfian sedang ada masalah maka akan di lampiaskan pada pekerjaan dan selalu bersikap dingin. Lihat saja sekarang, dia bekerja tanpa henti. Tadi pagi-pagi sekali sudah ada di kantor dan pulang paling awal jam 9 malam sampai jam 12 malam.
"Tidak ada."
Alfian mengalihkan pandangannya pada hpnya yang berdering, panggilan dari Sarah.
"Hallo."
"Kak, Mama masuk rumah sakit." Sarah berkata dengan suara serak tanpa mengucap salam.
"APA?" Alfian berdiri, dia tampak panik.
"Cepat kesini, kak. Mama di rawat di rumah sakit xxxx."
"Iya, aku kesana sekarang." Alfian bergegas pergi.
"Ada apa?" Roy menahan langkah Alfian, ia penasaran apa yang terjadi hingga Alfian terlihat panik dan buru-buru pergi begitu.
"Mama masuk rumah sakit." Alfian pun berlalu pergi.
Alfian keluar dari kantor menuju parkiran. Ia segera masuk mobil dan memacu dengan kecepatan tinggi. Dia hanya berharap jalanan tidak macet dan selamat sampai tujuan. Setelah menempuh perjalanan sekitar 1 setengah jam, Alfian sampai di rumah sakit. Ia buru-buru memasuki rumah sakit, dia berjalan sedikit berlari melewati ruangan demi ruangan hingga sampai di ruang rawat Ayu.
Alfian membuka pintu bangsal, ia melihat Lukman dan Sarah duduk di sebelah Ayu yang terbaring lemah di atas brankar rumah sakit. Tangannya terdapat infus dan hidung di pasangi nasal oksigen.
"Mama." Alfian nampak bersedih, ia menghampiri Ayu.
"Siapa yang menyuruhnya kesini?" Mendengar pertanyaan Ayu, langkah Alfian terhenti. Ayu memalingkan wajahnya, ia membuang muka tak mau melihat Alfian.
"Sarah, Ma, yang nyuruh kak Alfian datang kemari."
Alfian masih berdiri mematung memandangi wajah pucat Ayu. Hanya dengan satu langkah kaki saja, Alfian sudah ada di sisi ranjang Ayu. Ekspresi Lukman dingin, tak jauh beda dengan Ayu.
"Bagaimana keadaan Mama sekarang?" Alfian berusaha mengabaikan sikap acuh Ayu, dia tidak bisa marah pada wanita yang sudah melahirkannya dan membesarkannya dengan cinta. Alfian hendak memegang tangan Ayu, tapi belum tersentuh sudah di tepis.
"Ma."
"Jangan pernah menemui Mama, sebelum kamu menikahi Nurmala." ternyata Ayu, masih kekeh dengan keputusannya. Alfian hanya bisa menghela nafas tak mau menjawab, sebab sudah pasti jawabannya adalah tidak.
"Mama sakit kayak gini karena stress mikirin Mbak Nur. Salah apa sih Kak, Mbak Nur sama Kakak. Dia itu gadis baik dan cantik, aku seneng kalau dia jadi kakak iparku. Apa susahnya sih nikahin Mbak Nur?" perkataan Sarah membuat Alfian makin terpojok.
"Sudah-sudah, percuma kalian ngomong sama batu." Lukman menengahi, "Istriku sedang sakit, kalau kamu datang ke sini cuma untuk memperparah keadaan istriku, lebih baik kamu pergi."
"Mana bisa aku menikahi gadis yang tidak aku cintai."
"Meniduri bisa, tapi menikahi tidak bisa. Aku tidak Sudi memiliki anak b***t dan tidak bertanggung jawab seperti kamu. Pergi kamu dari sini dan jangan pernah muncul di hadapan kami," cerca Lukman dengan emosi yang menggebu-gebu.
"Maafin Alfian, Ma." Alfian mundur dan berbalik, dia memilih pergi. Setelah Alfian tak terlihat, Lukman memijit pelipisnya.
***
Nurmala memasuki rumah sakit seorang diri, Ratna tak bisa menemaninya karena masih ada urusan. Nurmala memutuskan untuk konsultasi ke dokter seorang diri.
Nurmala duduk mengantri bersama dengan para ibu-ibu hamil lainnya. Mereka di antar oleh suaminya, hanya ada 3 wanita hamil duduk tanpa di temani pasangannya. Salah satunya adalah Nurmala.
Perut Nurmala terasa mual. Dia berlari menuju toilet dan memuntahkan semua isi perutnya ke dalam kloset.
Nurmala berdiri di depan cermin, tangannya menampung air kran lalu menyeka wajahnya. Dia melihat pantulan wajahnya yang terlihat pucat, bagian bawah matanya seperti mata panda. Tidak ada gizi makanan yang bisa di serap oleh tubuh Nurmala, sebab setelah 1 jam mengisi perut maka makanan itu akan di muntahkan keluar.
Baru saja duduk di depan ruang ob-gyn, nama Nurmala sudah di sebut oleh perawat. Nurmala memasuki ruangan dokter kandungan lalu duduk di hadapan dokter wanita, ada meja di tengah-tengah mereka.
"Dengan nyonya Nurmala."
"Iya, dok."
"Anda punya keluhan?..."
"Emmm, i-itu sa-saya mau." Nurmala meremas jemarinya, dia gugup setengah mati untuk menyampaikan tujuannya datang kemari.
"Katakan saja jangan takut."
"Ba-Bagaimana caranya gugurin kandungan?" tanya Nurmala dengan nada terbata-bata.
"Maksudnya?" Kening dokter berkerut. Nurmala semakin nervous, dia bingung tidak tahu apa yang harus dia lakukan makanya dia memutuskan untuk berkonsultasi dulu dengan Dokter.
"Saya, saya mau gugurin kandungan saya."
"Loh, kenapa?" Dokter terkejut. Nurmala susah payah menelan salivanya.
"Saya masih muda dan belum siap punya anak." Nurmala memang belum siap punya anak, tapi tak mau hamil tanpa suami adalah alasan utamanya.
"Hemmm, kami sebagai Dokter tidak bisa sembarangan melakukan aborsi, harus ada prosedur yang mesti di jalankan. Kalau keadaan darurat misalnya janin yang di kandung bisa membahayakan nyawa si ibu atau janin tidak normal, barulah dokter rumah sakit ini bisa melakukan tindakan aborsi." mata Nurmala berkaca-kaca mendengar jawaban dokter, ia meremas jemarinya. Dia semakin bingung.
"Di mana suamimu?" Nurmala diam saja. Dokter menyimpulkan bahwa Nurmala adalah gadis yang terlibat pergaulan bebas dan hamil di luar nikah. Maka dari itu dia ingin menggugurkan kandungannya. Pasti Nurmala belum menikah, "Baik, di mana ayah dari bayi yang kamu kandung?"
"Saya, ayah dari bayinya." Nurmala menoleh, dia di kejutkan dengan Alfian yang tiba-tiba muncul di belakangnya, Alfian menatap Nurmala dengan dingin.