Chapt 3. The Night That Testifies

1580 Words
… Kamar Eshal.,             Dia kembali menutup pintu kamar putrinya perlahan tanpa menimbulkan bunyi sedikitpun. Niatnya ingin masuk ke kamar putrinya melalui lift khusus, namun sayangnya lift tersebut sudah terkunci. Mungkin putrinya, Eshal sudah tidur, pikirnya.             Sebisa mungkin dia menarik nafasnya dalam-dalam dan mengeluarkannya perlahan. Membuat relaks sikapnya, menutupi luka yang baru saja dia rasakan setelah keluar dari kamarnya.             Sejak menjabat sebagai seorang istri dan menantu satu-satunya di keluarga Armaghan, Kesha berusaha untuk bersikap tegar dan tidak mau membuka aib suaminya sendiri. Meski pada kenyataannya pilu selalu merekat dalam hari-harinya.             Semua dia lakukan demi ketiga anak-anaknya. Agar mereka paham, jika Ibu mereka baik-baik saja. Dia hanya tidak mau jika ketiga anaknya melawan Ayah mereka yang keras kepala dan egois. … Sikapnya mulai tenang, kakinya melangkah masuk dan melihat ke arah ranjang yang ada di ujung sana. Keningnya berkerut, dia kembali mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan kamar. “Bukankah mereka sudah kembali?” gumamnya pelan.             Seingatnya, dia tahu kalau putri dan menantunya telah kembali ke mansion ini. Tapi dia tidak menemukan Eshal di ranjangnya. “Dimana kamu, Sayang?” gumamnya lagi sembari berjalan lurus ke depan, lalu dia menoleh ke arah kanan. Melihat jendela kaca luas terbuka dan hembusan angin masuk ke dalam kamar.             Dia pikir, apakah putrinya sedang berada di balkon. Seiring pandangan yang terus beredar ke setiap sudut ruangan, langkah kakinya terus berjalan menuju jendela luas yang terbuka disana.             Angin yang berhembus ke dalam kamar membawa aroma parfum yang sangat dia kenali. “Sayang? Kau disana?” Kesha menyelidik ke arah luar. Tampak sosok wanita berpiyama emas, menoleh ke arahnya. “Ibu? Ibu belum tidur?” Dia berbalik badan, dan hendak beranjak dari posisi duduknya, namun kalimat itu menghentikan langkah kakinya. “Tunggu disana, Sayang! Ibu mau duduk bersamamu,” ucapnya berjalan mendekati putrinya yang ternyata duduk menyendiri di balkon luas ini.             Eshal, dia tersenyum tipis dan kembali duduk di posisinya semula. Menyambut kedatangan sang Ibu dengan pelukan hangat yang kini dia terima.             Kesha membelai rambut putri kesayangannya. “Kenapa belum tidur, Sayang? Sendirian di luar pula. Angin malam tidak bagus buat kesehatan,” gumamnya sembari merapikan rambut putrinya yang sedikit berantakan.             Eshal mengulum senyumannya saat sikap lembut Ibunya lagi-lagi mampu menghangatkan jiwanya yang kesepian. Meski dia sadar, sikap asli Ibunya akan berbeda jika ada orang lain diantara mereka. “Iya, Bu. Eshal hanya mau melihat bintang. Sepertinya malam ini langit sangat indah,” balasnya dengan kalimat sangat ringan. Dia masih memeluk tubuh sang Ibu sembari memejamkan matanya, menikmati kehangatan ini.             Kesha tersenyum lega. Kesedihannya telah berlalu melihat wajah putrinya yang tampak menikmati malam ini. “Keindahan langit sama seperti dirimu, Sayang.” Kesha masih memeluk tubuh sang putri. Dia terus membelai rambut panjangnya. Eshal masih memeluk sang Ibu yang selalu menjadi penyejuk hatinya. Kepalanya terdongak ke atas, saat kalimat itu terdengar sedikit pilu.             Bukan dia tidak peka, dia sangat paham kalau sang Ibu juga merasakan hal yang sama mengenai ketidak bebasan dalam segala hal di keluarga mereka, terutama di mansion ini. Tapi dia tidak mungkin mengatakannya, karena dia melihat Ayahnya juga masih sama memperlakukan Ibunya, Kesha bak Ratu.             Eshal mengendurkan pelukan mereka. Dia mengangkat jemari kirinya, membelai wajah sang Ibu. “Dan Ibu yang selalu bisa membuatku tampak indah,” balasnya dengan senyuman manja.             Kesha tersenyum dan mencubit ujung hidung putrinya. “Kau ini …” Dia memeluk kembali tubuh putrinya yang tidak semungil dulu. “Apapun akan Ibu lakukan demi membuatmu bahagia, Sayang.” Deg!             Eshal terdiam dengan senyuman masih sedikit merekah di kedua sudut bibirnya. Dia tahu, ada makna dibalik kalimat sang Ibu barusan. Memilih untuk tidak membalasnya, Eshal justru mengalihkan pembicaraan mereka saat ini. Dia pikir, ini saat yang tepat untuknya memberitahu perihal rencana perjodohan antara dirinya dengan para pria yang menjadi pilihan Ayahnya. “Bu? Eshal siap menikah dengan pria pilihan kalian,” ucapnya lugas dengan wajah percaya diri dan meyakinkan sang Ibu.             Kesha terdiam sembari terus memeluk putrinya, membelai rambut panjangnya. “Kau yakin, Sayang? Karena Ayahmu yang akan menentukan pria yang pantas untukmu nanti.” Seakan tengah meyakinkan putrinya, sejujurnya Kesha ingin Eshal menentang keputusan suaminya. Selama ini dia sudah hidup dengan penuh aturan. Dia tidak mau jika pendamping hidup putrinya juga diatur oleh suaminya.             Dia tahu, suaminya sangat menyayangi putri mereka satu-satunya. Tidak mungkin suaminya, Alvaes tidak mempertimbangkan keinginan putrinya sendiri.             Mungkin dia bisa sedikit membujuk putrinya untuk merayu dan melembutkan hati suaminya, Alvaes. “Sayang, bagaimana jika kau rayu Ayahmu agar kau terbebas dari pria pilihannya?” Kesha masih terus membelai rambut putrinya dan mencoba untuk memberi saran kepada sang putri.             Eshal terdiam sesaat. Dia membenarkan posisi duduknya, menghadap sang Ibu. Tatapannya begitu meyakinkan. Dia pikir, apakah Ibunya tidak menerima keputusan Ayahnya. “Apa Ibu ragu dengan pilihan Ayah? Apa ada sesuatu, Bu?” tanya Eshal menatap serius ibunya.             Kesha menarik ke atas, kedua sudut bibirnya. Tangan kirinya terangkat membelai wajah sang putri. “Bukan ragu, Sayang. Ibu hanya ingin kau menikah dengan pria yang tepat. Pria yang kau cintai. Pria yang mencintai dan menyayangimu dengan tulus,” gumamnya pelan.             Eshal menarik tangan kiri Ibunya dan menggenggamnya erat. “Bu … Eshal percaya, Ayah pasti akan memilihkan pendamping yang tepat untuk Eshal. Dan Eshal pasti bisa menerima pria itu nanti,” ucapnya meyakinkan sang Ibu, mengecup tangannya.             Entahlah, dia sendiri juga tidak tahu harus mengatakan apalagi. Jika mencari pria sesuai dengan kriterianya, menurutnya sangat tidak mungkin. Mengingat dirinya tidak pernah melihat dunia luar dengan sembarang waktu. Bahkan dia tidak memiliki pergaulan diluar mansion. Pasti sangat mustahil jika dia bisa menemukan pria lain selain dari pilihan keluarganya. Selain itu, akan sulit baginya menerima orang baru yang belum dia kenal dalam jangka waktu cepat. Usianya sudah cukup untuk menjalin komitmen serius dengan seorang pria. Keinginannya untuk menjadi istri dari pria biasa saja mungkin tidak akan pernah terwujud. Karena pilihan dari keluarganya pasti tidak sembarangan. Pengusaha atau pria bergelar bangsawan pasti menjadi incaran keluarganya terutama sang Ayah, Alvaes. Kesha, mendengar pernyataan sang putri membuat hatinya sedikit remuk. Kalimat yang terlontar terdengar begitu pasrah. Tidak ada semangat lain, selain menerima apa yang menjadi keputusan dari suaminya. “Sayang … Ibu yakin, kau pasti memiliki kriteria tersendiri untuk pendamping hidupmu. Kau bisa—”             Saat Kesha masih mau mengatakan apa yang ada di hatinya, Eshal justru memotong pembicaraan sang Ibu. “Ibu jangan khawatirkan hal itu.” Eshal kembali mengecup tangan kiri sang Ibu dengan senyuman tipis di wajahnya. “Eshal yakin, pilihan dari Ayah pasti yang terbaik untuk Eshal.” Eshal meyakinkan hati sang Ibu yang sudah berwajah khawatir.             Kesha menatap putrinya dalam diam. Senyuman tipisnya terlihat tak berdaya. Sebagai seorang Ibu, dia justru tidak bisa berbuat apa-apa untuk putrinya sendiri. ‘Sejujurnya Ibu tidak ingin kau bernasib sama seperti Ibumu ini, Sayang.’ Kesha bergumam dalam hati, dia kembali membelai wajah putri semata wayangnya, Eshal.             Eshal tersenyum dan kembali merapatkan posisi duduk mereka. Mengikis jarak, dia langsung memeluk wanita yang sangat dia sayangi itu. “Eshal sangat menyayangimu, Bu.” Eshal menutup kedua matanya, merasakan kehangatan pelukan yang dia terima.             Kesha tentu memeluk hangat putrinya. Meski di hadapan yang lain dia harus bersikap dingin terhadap putrinya sendiri, tapi berbeda jika dia sudah berdua saja dengannya.             Sikap hangat untuk putrinya akan muncul. Apalagi jika dia merasakan hari-hari putrinya begitu terpenjara. “Ibu juga sangat menyayangimu, Sayang.” Kesha membelai lembut rambut panjang putrinya. ‘Ayahmu memang sangat menyayangi kita. Dia juga begitu mencintai dan menghargai Ibu sebagai seorang wanita. Tapi—’             Kesha mengingat sikap dan karakter suaminya yang sangat tidak suka dibantah. ‘Semua peraturannya membuatku tidak terima, jika kau terus diatur hingga usiamu sudah cukup matang untuk menikah. Bahkan Ayahmu masih mau ikut campur tangan memilih pria yang tepat untukmu, Sayang. Aku tidak terima untuk keputusannya satu itu,’ bathinnya seraya bergumam pilu.             Kesha menyadari usia mereka sudah setengah abad, namun suaminya masih terus bersikap keras dan egois. Bahkan dirinya saja tidak diperbolehkan untuk setara mengutarakan pendapatanya meski itu berhubungan dengan masa depan anak-anak mereka.             Entah bagaimana caranya agar ada satu orang yang bisa melawan suaminya. Atau paling tidak, orang itu bisa mensejajarkan sikap suaminya agar pria keras kepala itu tidak selalu menginginkan pendapatnya untuk terus diikuti dan dijalankan.             Belum ingin melepas pelukan mereka, dia menghela panjang nafasnya, menengadahkan kepalanya ke atas. ‘Tuhan … jangan biarkan putriku menikah dengan pria yang salah. Tidak masalah jika putriku menikah dengan pria biasa-biasa saja. Yang aku inginkan, putriku bisa dihargai dan dilindungi hak dan kewajibannya sebagai seorang istri dan wanita setelah dia menikah,’ bathinnya berdoa penuh harap, sedikit melirik ke arah langit. Berharap jika bintang dan bulan turut mendukung harapan besar yang dia inginkan untuk putri semata wayangnya, Eshal. ..**..             Malam dingin ikut menemani waktu kebersamaan mereka berdua. Eshal yang merasa lega dengan keputusannya, dia mengalihkan pembicaraan membahas perihal pesta yang akan mereka hadiri beberapa waktu ke depan.             Waktu memang terasa cepat berlalu, hingga jarum jam menunjukkan pukul 10 malam. Mereka berdua tidak sadar jika seorang pria berpiyama panjang disana telah melihat mereka sejak beberapa jam lalu.             Tidak ada ekspresi apapun di wajahnya. Dia bahkan sanggup berdiri mengamati dua wanita yang sangat dia sayangi.             Melihat dua wanita itu hendak masuk ke dalam kamar, dia segera melepas jejaknya dari sana. Memilih keluar dari kamar putrinya, Eshal melalui pintu utama. Menjaga suara knop pintu agar tak terdengar oleh mereka. … ‘Ayah akan memberikan pilihan untukmu, Sayang. Ayahmu ini juga memiliki hati agar kau bisa hidup bahagia setelah kau menikah nanti,’ bathinnya sembari merapatkan piyama di tubuhnya. Dia terus melangkahkan kakinya menuruni undakan tangga mewah, menuju lantai bawah. * * Novel By : Msdyayu (Akun Dreame/Innovel, IG, sss)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD