Chapt 2. The Power of Self in Marriage

1502 Words
*** Mansion Armaghan, London, UK., Kamar Alvaes dan Kesha., Malam hari.,             Pria berusia 57 tahun itu masih berkutat di meja kerjanya. Alvaes, dia memang sudah tidak lagi memikirkan soal perusahaan, karena semua sudah diambil alih oleh kedua putranya, Dimitri dan Denis.             Namun meski begitu, pemilik nama lengkap Alvaes Armaghan Nacta itu masih tetap memantau kemajuan bisnis perusahaan keluarganya dan melihat perkembangan rancangan bisnis baru yang akan dikembangkan oleh kedua putranya. Fokusnya saat ini tidak membuatnya sadar jika sang istri, Kesha sudah menatapnya sejak tadi.             Yah … Kesha Andar Shareef, dia masih saja memperhatikan suaminya yang memiliki sifat keras kepala dan tidak bisa dibantah. Dia masih duduk di kursi meja riasnya, dengan pandangan ke arah sana.             Dia ingin mengatakan sesuatu mengenai niat suaminya yang hendak mengenalkan beberapa pemuda untuk putri semata wayangnya. Namun melihat suaminya yang tampak sibuk sejak tadi, membuat Kesha mengurungkan niatnya.             Tadi pagi, dia baru saja memberitahu putrinya mengenai niat dari suaminya. Tampak jelas wajah kecewa putrinya, Eshal.             Sebagai seorang Ibu, dia tidak ingin membuat putrinya hidup dalam segala peraturan dan menghilangkan haknya sebagai seorang manusia yang berhak memilih dan mengatur jalan hidupnya sendiri. Di sisi lain, sifat keras kepala dan egois suaminya juga tidak bisa dia bantah. Apalagi sifat suaminya itu juga menurun di kedua putranya. Acara Banket akan diadakan beberapa hari lagi, dan dia tidak mungkin menunda pembicaraan ini. Dia sangat memahami sifat kaku suaminya. Sebab apa yang sudah menjadi keputusannya tidak dapat diganggu gugat.             Dia menarik nafasnya dalam-dalam dan mengeluarkannya perlahan. “Haaahhh …”             Kesha segera beranjak dari posisi duduknya dan berjalan mendekati meja kerja suaminya. Langkah kakinya yang sedikit melambat, membuat pria yang akrab disapa Alvaes menyadari kehadiran istrinya.             Alvaes langsung mendongakkan kepalanya, dan melihat sang istri sudah tersenyum cantik untuknya. Dia meniti tubuh sang istri yang sudah berbalut piyama sutra berwarna merah marun.             Dia kembali merundukkan kepalanya, dan fokus pada dokumen-dokumennya. “Sayang, aku masih sangat sibuk. Kau bisa tidur lebih dulu,” gumamnya pelan sembari membolak-balik dokumen yang tengah dia pegang.             Kesha semakin melambatkan langkah kakinya. Suaminya selalu bersikap seperti ini. Dia tidak paham, hati suaminya ini terbuat dari apa.             Bahkan sebagai seorang istri yang sudah menemaninya selama hampir 32 tahun, Kesha tidak pernah mendapatkan kebebasan mengutarakan pendapatnya terhadap sang suami. Entah bagaimana, sampai detik ini dia masih bertahan dengan penerus satu-satunya keluarga Armaghan yang terkenal dengan sikap sombong dan egoisnya.             Alvaes memang setia terhadap janji suci pernikahan mereka. Namun dia tidak pernah memberikan ruang dan waktu untuknya berbicara. Bahkan malam pun, Alvaes jarang menunjukkan sikap peduli padanya. “Sayang? Aku ingin berbicara sebentar saja,” gumamnya pelan semakin mendekati meja kerja suaminya.             Alvaes menghela panjang nafasnya. “Haahhh … Sayang, aku benar-benar sibuk. Tolong mengerti waktuku, okay?” balas Alvaes tanpa menatap ekspresi Kesha yang sudah kecewa.             Namun Kesha tidak peduli, dia berjalan semakin mendekati sang suami. Kedua jemarinya mulai menyentuh bibir meja kerja sang suami. “Sayang, kumohon … sebentar saja,” gumamnya lagi dengan nada pelan memohon. Takk!             Alvaes meletakkan penanya diatas meja kerja. Rahangnya mengeras, namun pandangannya masih tertunduk ke bawah.             Dia sangat tidak suka dibantah. Apalagi jika dirinya tengah sibuk dan diganggu seperti ini. Konsentrasinya bahkan terpecah hanya dalam hitungan detik. “Apa kau tidak bisa melihat aku sedang apa, Kesha?” tanya Alvaes dengan suara terdengar dingin dan tidak bersahabat. Glek!             Nyali Kesha mulai ciut. Kepalanya mulai tertunduk ke bawah saat sang suami mulai mendongak dan hendak menatapnya. “Sayang … kenapa, kau—” ucapan Kesha terhenti, karena dia merasa tak sanggup. Dadanya mulai naik turun. Entah kenapa dia tidak tahan dengan sikap Alvaes selama 32 tahun dia hidup bersamanya.             Alvaes menatapnya tajam. Ekspresi takut sang istri lagi-lagi membuatnya hampir tidak berdaya. Tapi dia tidak mau menjadi pria yang takut terhadap wanita, terutama istrinya sendiri.             Sebab bagi Alvaes, seorang wanita memang harus tunduk pada suaminya. “Tatap aku, Kesha.” Alvaes mulai menyematkan kedua jemarinya. Dia masih bisa mengatur emosinya terhadap wanita yang sudah melahirkan dan membesarkan ketiga anaknya.             Kesha masih berdiam diri. Jika dia membantah kembali, sudah bisa dipastikan jika mereka akan kembali bertengkar seperti kejadian terakhir 1 tahun yang lalu.             Alvaes semakin mengeratkan deretan giginya. Dia sangat geram melihat istrinya yang hanya diam. “Kau sudah merusak konsentrasiku, Sayang. Lalu kau hanya mau diam saja? Bahkan tidak mau menatapku, hmm?” tanya Alvaes bergumam dalam tatapan datarnya.             Kedua matanya mulai memerah. Jemari yang sejak awal mampir pada bibir meja kerja suaminya, kini merunduk dan turun ke bawah. Sreekk…             Kursi kebesarannya terdorong ke belakang. Dia beranjak dari duduknya tanpa melepas fokus matanya pada ekspresi yang mulai menunjukkan rasa takut.             Kesha kembali menundukkan pandangannya ke bawah. Tubuhnya mulai keringat dingin. Dia bingung harus apa sekarang. “Ba-baiklah … aku permisi,” gumamnya pelan berbalik badan hendak meninggalkan suaminya. Namun suara serak itu lagi-lagi membuatnya patuh. “Sayang?” Alvaes melebarkan langkah kakinya, lalu menarik lengan kiri sang istri. Dia menghadap tubuh wanita yang selama ini sangat menghormatinya.             Dia membelai wajahnya, meski ia tahu kalau mata indah itu tak berani membalas tatapannya. “Kau sudah menggangguku. Dan sekarang kau mencoba untuk menghindar sebelum kau menyelesaikannya, hmm?” gumam Alvaes dengan gerakan-gerakan ringan di wajah sang istri. Glek!             Kesha sudah sangat susah menegukkan salivanya sendiri. Kedua tangannya mulai menahan tubuh sang suami yang mencoba membuatnya terperangkap hingga terjebak pada meja kerja berwarna coklat tua. “Alva, ma-maafkan aku … aku akan katakan lain kali saja,” gumamnya dengan nada getir, namun tak sanggup baginya membalas tatapan menusuk suaminya.             Alvaes masih menatap istrinya yang sudah berwajah pucat. Entah apa yang dia perbuat sampai istrinya selalu ketakutan jika dia mencoba untuk berbicara intens. “Tatap aku, Kesha.” Rahangnya sudah mengeras menahan keinginan amarahnya. Kedua jemarinya masih terus membelai lembut wajah cantik sang istri.             Perlahan, Kesha mendongakkan wajahnya dan membalas tatapan sang suami. Dia tidak berani bersuara, dan masih menatapnya saja.             Alvaes mengulas senyuman di wajahnya. “Kau sudah melakukan banyak kesalahan, Sayang. Kau paham apa saja kesalahanmu barusan?” tanyanya tanpa berbasa-basi.             Kesha mengangguk pelan dengan kedua mata mulai memerah. Bibirnya yang bergetar, masih terus terbungkam. “Lalu kenapa kau justru mau pergi begitu saja tanpa meninggalkan penjelasan, hmm?” gumamnya kembali bertanya.             Kedua mata Kesha hampir melepas air matanya, namun sedikit dia tahan. “Alva, aku … aku hanya—” Bibirnya bergerak namun tak sanggup untuk dia lanjutkan. Sebab sikap suaminya benar-benar sangat mengintimidasi.             Alvaes memajukan wajahnya, lalu menyatukan bibir mereka. Dia melumat dan mencecapnya kuat. “Hhmphhtt …”             Kesha mulai meneteskan air matanya. Dia turut membalas pangutan sang suami tanpa ada perasaan nyaman dan menikmati.             Hisapan itu sungguh kasar sekali. Bahkan sangat menuntut hingga dirinya susah untuk mengambil nafas. “Hhmmpphtt … Al-va—" “Hmmphhtt …”             Kesha semakin mendorong tubuh sang suami agar melepas pangutan mereka. namun Alvaes sudah terlanjut geram dan belum puas memberi pelajaran untuk istrinya yang mulai membantah. “Ssshh … hhmmphtt …”             Dia sedikit meringis kesakitan saat lidahnya dihisap kuat oleh Alvaes yang benar-benar beringas. Dia tidak paham, pria ini sangat lembut bila diatas ranjang. Tapi setelahnya, akan berubah sikap setelah permainan ranjang mereka selesai.             Kesha harus memendam semua perasaannya seorang diri, dengan harapan jika putrinya tidak mengalami perasaan kecewa yang sama. Tapi ternyata harapannya hanyalah sebuah harapan tak berwujud. Alvaes justru menyayangi putri mereka dengan cara yang menurutnya sangat salah. “Hhmmphhtt … Alva—" “Hhmphhtt …” Saat tubuhnya sedikit melemas, pangutan itu terlepas tiba-tiba. Kesha langsung merundukkan kepalanya ke bawah. Tanpa bersuara, dia sedikit terisak. Jemarinya terus meremas piyama sang suami.             Alvaes masih terus berwajah datar. Ekspresi takut Kesha membuatnya puas. “Haahh … jangan pernah memelihara sifat pembangkang, Sayang. Kau tahu, aku tidak pernah suka itu, hmm?” Alvaes membelai lembut wajahnya dan segera diangguki iya oleh Kesha.             Alvaes kembali melangkahkan kakinya menuju kursi kebesarannya, dia duduk disana.             Kesha sungguh tidak tahan, dia pikir harus meredam perasaannya di ruangan yang biasa dia pakai. Dan lagi-lagi, langkah kakinya terhenti. “Mau kemana?” tanya Alvaes yang mulai memfokuskan pikirannya pada pekerjaan yang tertunda beberapa menit lalu.             Kesha sedikit menoleh ke arah kiri. “Aku mau melihat Eshal sebentar, Sayang. Tadi dia pergi bersama Vanda. Aku hanya tidak mau dia tidur larut malam,” jawabnya dengan nada sedikit tegar. “Hhmm …”             Paham, Alvaes hanya berdehem saja dan membiarkan Kesha kembali melangkahkan kakinya menuju lift yang ada di ujung kamar mereka. Matanya sedikit melirik pada punggung sang istri yang sudah berada jauh dari posisinya.             Tatapan dinginnya tak mampu ditebak. Namun bagaimanapun, dia sangat mencintai istrinya. Baginya, keluarga adalah prioritas utama sebelum Armaghan Nacta Group.             Alvaes sangat tidak paham, kenapa istrinya begitu takut saat menghadapinya. Padahal selama ini, dia tidak pernah bermain kasar atau bahkan membentaknya. Dia tidak pernah sedikitpun kasar kepada keluarganya.             Tapi dia pikir, berbeda dengan putri bungsunya. Putri yang sangat dia sayangi, Eshal Lathifah Armaghan. Putrinya bahkan sangat menyayanginya dan bersikap biasa saja padanya. Apapun akan dia lakukan demi kebahagiaan putri semata wayangnya. Dan Alvaes tidak akan pernah membiarkan kehidupan putrinya terpuruk, meskipun putrinya telah menikah dengan pria pilihannya nanti. * * Novel By : Msdyayu (Akun Dreame/Innovel, IG, sss)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD