Bab 5 - Pohon Emas

1273 Words
Saat ini di kamar rawat Alfonso, terjadi perdebatan sengit antara pria tua itu dengan istrinya, Emma Milton. Beberapa saat lalu, Emma datang untuk menemani Alfonso setelah ia membawa beberapa kebutuhan pribadi suaminya dari rumah. Tanpa sengaja ia mendengar pembicaraan terakhir Reagan dengan suaminya sebelum pria itu keluar dari ruangan. Emma pun menuntut Alfonso untuk menikahkan putri tiri Emma itu dengan pria yang akan menyelamatkan Perusahaan Gesund. Namun, Alfonso tetap bersikukuh dengan keputusannya. Tekadnya sudah bulat. Pria tua itu tidak ingin menuruti keinginan istrinya. "Seharusnya kamu menyetujuinya saja, Alfonso!" "Tidak, Emma. Aku tidak akan memaksa Selly untuk menikahi pria itu. Selly sudah cukup menderita selama ini." "Menderita katamu? Aku rasa dia sangat senang berada di luar sana. Dia bisa bersenang-senang dengan pria manapun tanpa ada yang melarangnya," cibir Emma. Wanita yang hampir menginjak usia lima puluh tahun itu kembali menjelek-jelekkan reputasi putri tirinya di hadapan Alfonso. Ia ingin menjatuhkan harga diri Selina di mata suaminya itu. "Cukup, Emma!" Alfonso memegang d**a sebelah kirinya dengan napas tersengal-sengal. Ia berusaha menarik napas panjang dan mengembuskannya secara perlahan. Berdebat dengan istrinya itu membuat denyut jantungnya kembali berpacu tidak karuan. Alfonso memejamkan matanya sejenak. "Al, ka-kamu tidak apa-apa?" tanya Emma cemas. Ia mendekati suaminya dan merangkul tubuh tambunnya serta membantunya mengusap dadanya pelan. "Please, kamu jangan menakutiku!" Setelah merasa sedikit lebih baik, Alfonso membuka matanya perlahan dan memandangi istrinya dengan tatapan nanar. "Emma, aku tidak ingin kamu mengungkit masalah ini lagi. Paham?" titahnya. Mendengar keputusan terakhir suaminya itu membuat Emma semakin membenci Selina. Akan tetapi, Emma tidak ingin mengungkit masalah itu lagi di depan suaminya. Ia tidak ingin suaminya mengalami syok jantung untuk kedua kalinya. Emma akan memutar otaknya untuk hal itu nanti. Ia akan mencari cara agar perusahaan Gesund dapat diselamatkan. Wanita itu tidak ingin hidup dalam kemiskinan, sudah cukup dulu ia merasakan hal itu. Ia tidak ingin kehilangan kemewahan yang begitu bersusah payah didapatkannya sekarang. Ia tidak ingin merasakan neraka duniawi lagi. Sebelum Emma menikah dengan Alfonso, wanita itu hanyalah seorang wanita penghibur di kelab malam. Segalanya berubah ketika ia bertemu dengan Alfonso, pria yang membuatnya jatuh hati. Demi mendapatkan Alfonso, Emma bahkan menggunakan segala cara agar pernikahan pria itu dengan istrinya menjadi berantakan hingga berujung pada perceraian. Emma pun meminta izin untuk pulang ke rumah sejenak kepada Alfonso. Wanita itu pun mencari cara untuk menyelesaikan masalah perusahaan suaminya. Ia berjalan mondar-mandir di dalam kamarnya sembari menggigit kukunya dengan perasaan kalut. "Seorang CEO Hernandez ingin menikahi Selina? Sebenarnya ada apa?" gumam Emma merasa aneh. Ia baru mengetahui identitas pria yang menginginkan Selina setelah ia tanpa sengaja melihat kartu nama di kamar rawat suaminya itu. Diam-diam ia mengambil kartu nama itu tanpa sepengetahuan suaminya. Tiba-tiba sebuah senyum seringai liciknya mengembang di wajahnya. "Jika Selina tidak diizinkan menikahi pria itu, mungkin Jessica bisa mencoba untuk menjadi Nyonya Hernandez," monolog Emma. Sebuah ide brilian menghiasi benaknya. Emma pun segera beranjak menuju ke kamar putri semata wayangnya itu. "Jess!" teriaknya. "Jess!" panggil Emma sekali lagi karena putrinya itu tidak membalas sahutannya. Ia pun menggedor pintu kamar putrinya berulang kali. Tidak berapa lama, pintu kamar putri Emma itu pun dibuka oleh pemiliknya. Tampak seorang gadis berkulit putih dengan rambut blonde keemasan sedang berdiri dengan malas di depan pintu. "Ada apa sih, Mom?" Jessica menguap beberapa kali dan menggosok kedua matanya. Tampaknya putrinya itu baru saja bangun dari tidurnya. Emma menutup kedua hidungnya, menjepitnya dengan jempol dan telunjuknya. "Astaga! Kamu habis dari mana semalam?" selidik Emma. Aroma alkohol yang begitu kentara tercium dari tubuh putrinya itu. Apalagi ketika gadis itu menguap lebar, aromanya bercampur aduk. Ugh, sungguh menjijikkan, batin Emma. Jessica hanya menyengir dengan malas. "Biasa, Mom. Semalam Andrew dan temannya mengajakku ke pub," ucap Jessica tanpa berniat menutup-nutupinya dari ibunya itu. Emma memutar bola matanya dengan malas. "Jessica Anderson! Mommy sudah beberapa kali bilang kan, jauhi Andrew. Dia bukan pria yang cocok untukmu!" tukas Emma kesal. "Mom, seminggu yang lalu baru saja kamu memujinya. Apa Mommy lupa?" sergah Jessica tidak kalah kesalnya. "Jangan bilang karena Andrew memberikan tas branded kesukaan Mommy, makanya Mommy baru memujinya." Jessica menyipitkan kedua netranya curiga ke arah ibunya itu. Ia sudah tahu sifat luar dalam ibunya itu, yaitu seorang materialis. Hanya harta dan kedudukan yang terpenting bagi seorang Emma Milton dan Jessica mewarisi sebagian sifat Emma tersebut. Emma berdeham untuk menutup rasa malunya. "Hanya sebuah tas saja tidak bisa membujuk Mommy. Kamu tahu kan? Mommy berbuat seperti itu hanya ingin melihat ketulusannya kepadamu, tetapi asal kamu tahu saja, ketulusan tidak berguna jika tidak memiliki kekuasaan dan materi. Mommy hanya tidak ingin nantinya kamu menderita," jelas Emma kepada putrinya itu. "Mom—" "Sudahlah, sekarang tidak usah bahas mengenai pria tak berguna itu!" Emma memutar bola matanya kembali. "Mommy punya tugas penting untukmu. Ini menyangkut kelangsungan perusahaan Daddy-mu dan juga masa depanmu. Bisa saja kita mendapatkan pohon emas kali ini." Kening Jessica mengernyit mendengarkan perkataan ibunya itu. Kesadarannya hampir sepenuhnya kembali setelah tadi masih berada di alam tidurnya. "Maksud Mommy?" "Lebih baik sekarang kamu mandi dan dandan yang cantik!" titah Emma seraya mendorong putrinya masuk ke dalam kamarnya. Ia tidak mempedulikan putrinya yang memprotes dirinya. "Jangan lupa pakai gaun yang seksi!" pesan Emma sebelum menutup pintu kamar putrinya itu. Emma tersenyum lebar membayangkan jika sebentar lagi dia akan mendapatkan seorang menantu idaman yang membuat orang-orang iri kepadanya. ° ° ° ° Hotel Grand Luxury. Saat ini Reagan sedang memeriksa beberapa berkas di ruangannya. Tampak keseriusan di raut wajahnya dalam bekerja. Ia membolak-balikkan dokumen di tangannya, membacanya sekilas, lalu menadatanganinya. Pandangannya teralih ketika suara interkom di mejanya berdering. Tangannya pun menekan tombol 'answer' pada interkom itu. "Tuan Hernandez, ada seseorang yang bersikeras ingin menemui Anda," ucap suara seorang wanita di seberang interkom itu. Wanita itu adalah Gracia Brown, sekretaris Reagan. "Siapa? Bukankah hari ini aku tidak ada janji temu dengan siapapun?" Reagan bertanya kepada sekretarisnya itu tanpa mengalihkan pandangannya dari dokumen di tangannya. "Ehm, iya Pak. Tapi, Nona Anderson bersikeras ingin bertemu. Beliau mengatakan jika Anda pasti akan menemuinya," terang Gracia dengan hati-hati. Sebenarnya Gracia enggan menyampaikan hal ini kepada atasannya itu, tetapi wanita yang tengah berdiri di hadapannya ini sedang menyilangkan tangannya di d**a. Wanita itu benar-benar keras kepala. Gracia terpaksa menghubungi Reagan, takut jika memang wanita itu adalah tamu penting Reagan. Apalagi wanita itu membawa kartu nama milik atasannya itu. "Nona Anderson?" gumam Reagan. Sesaat ia teringat dengan Selina Anderson. Senyuman tipis terulas di wajah dinginnya. 'Ternyata si rubah tua itu menyetujui syarat yang kuajukan tadi pagi. Memang pria serakah, bahkan putrinya pun bisa dia korbankan demi uang dan kedudukan,' batin Reagan mencibir Alfonso di benaknya. "Bawa dia masuk ke ruanganku!" perintah Reagan cepat, lalu mematikan interkom itu secara sepihak. Reagan segera beranjak dari tempat duduknya dan berdiri dengan pose tubuh membelakangi pintu ruangannya. Dengan kedua tangan berada di saku celananya, tatapan bak serigala itu sedang memandangi pemandangan Kota London di depannya dengan pikiran yang sedang bergerilya untuk menerkam mangsanya. Terdengar ketukan pelan pada daun pintu ruangannya. "Masuk," ucap Reagan dengan suara yang terdengar berat dan dalam. Senyuman licik pada wajah tampan nan dingin itu terlihat begitu jelas. Langkah high heels terdengar begitu kentara di telinganya saat ini. Perlahan namun pasti, dapat dirasakannya langkah itu semakin mendekat ke arah pria itu. Reagan memejamkan matanya sejenak dengan senyuman yang semakin lebar. "Ehem." Suara wanita berdeham terdengar di telinga Reagan. Tampaknya wanita itu ingin mengalihkan perhatian Reagan padanya. "Selamat siang, Tuan Hernandez," sapa wanita di belakang Reagan. Senyuman di wajah Reagan perlahan-lahan memudar. Bukan suara ini yang ingin didengar Reagan. Ia pun berbalik dan mendapati seorang wanita berambut blonde keemasan yang sedang tersenyum manja kepadanya. "Siapa kamu?" tanya Reagan dingin dan tajam. Tatapannya seperti serigala yang ingin mencabik wanita asing di hadapannya ini. To be continue ….
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD