Bab 11 - Putus

1601 Words
Selina diturunkan Reagan di depan apartemennya, lalu pria itu pergi begitu saja tanpa sepatah kata pun. Gadis itu memandangi mobil suaminya yang telah menghilang di keramaian jalan. Akhirnya ia pun bisa menghela napas lega. Rasanya ia hampir kehabisan udara berada di dalam satu mobil dengan suaminya itu. Wajah datar dan dingin Reagan membuatnya malas untuk sekedar berbasa-basi dengan pria tersebut. Selina melihat ada sebuah taksi yang berhenti di depan apartemennya. Tanpa berpikir panjang lagi, gadis itu pun segera memasuki taksi itu setelah memastikan tidak ada penumpang yang akan naik. Sebenarnya Selina bukan ingin kembali ke apartemennya, tetapi ia ingin bertemu dengan kekasihnya dan menyelesaikan semua masalah pribadinya. Gadis itu tidak ingin berkata jujur dengan Reagan karena ia tidak ingin pria itu mencampuri masalah pribadinya. Setengah jam kemudian, Selina sampai di sebuah kafe yang berada tidak jauh dari kantor kekasihnya itu. Gadis itu telah mengiriminya pesan kalau ia akan menunggunya di sana sampai jam pulang kantornya. Sembari menunggu kekasihnya, Selina merenungi semua hal yang terjadi hari ini padanya. 'Apa aku harus melalui setiap hari dengan pria m***m itu?' batin Selina sembari menghela napas panjang. Rasanya semua bagaikan mimpi baginya. Lamunan Selina terhenti ketika seseorang mendatanginya dari belakang dan mengecup pipinya sekilas. Gadis itu tersentak dan hendak memberi pelajaran kepada orang yang telah berani menciumnya, tetapi diurungkannya niatnya itu kembali setelah ia melihat wajah pelakunya. Di depannya telah berdiri seorang pria bermata abu gelap dengan setelan pakaian formal yang sedang tersenyum hangat kepadanya. Pria itu adalah Justin Lewis, kekasihnya. "Apa yang kamu lamunkan, Baby?" tanya Justin. Tadi pria itu baru saja memasuki kafe tersebut dan mendapati kekasihnya yang hanya duduk termenung tanpa melakukan apapun sehingga ia berniat menggodanya sedikit. Namun, siapa sangka gadis itu sangat kaget dan menoleh dengan wajah nanarnya. Justin terkekeh geli melihat ekspresi Selina. "Ck, kamu membuatku kaget. Untung aku tidak menghajarmu tadi," cetus Selina sembari memutar bola matanya. Justin masih tertawa kecil, lalu ia mengambil tempat duduk di hadapan Selina. "Habisnya kamu melamun aja. Apa yang kamu pikirkan, Baby?" "Ehm, tidak apa-apa. Kok kamu sudah pulang? Bukannya masih setengah jam lagi?" Selina mengecek jam di ponselnya yang baru menunjukkan pukul setengah lima. "Itu karena aku merindukanmu, Selly. Aku tidak sabar untuk bertemu denganmu," ucap Justin dengan lembut dan menggenggam kedua tangan Selina. Pria itu sengaja izin pulang terlebih dahulu untuk bertemu dengan kekasihnya itu. Selina tidak membalas ucapan Justin. Ia tidak tahu harus menjawab apa karena posisinya sekarang tidak memungkinkan untuk mengatakan kalau ia juga merindukannya. Justin melihat perubahan raut wajah sendu kekasihnya itu. Ia pun meremas erat jemari kekasihnya itu. "Ada apa, Sayang? Apa kamu sedang ada masalah? Katakan padaku. Mungkin saja aku bisa membantumu menyelesaikannya," ucap Justin dengan kedua bola mata berbinar. Justin telah mengenal Selina sejak lama. Ia bisa membaca kebimbangan yang terpatri begitu nyata di kedua bola mata gadis itu. Mereka sudah berteman sejak Sekolah Menengah Atas dan sejak saat itu Justin memendam rasa kepada gadis itu. Akhirnya setelah Selina lulus dari perguruan tingginya dua tahun yang lalu, Justin memutuskan untuk mengakui perasaannya kepada gadis itu. Ia mencoba untuk keluar dari zona pertemanan mereka ke jenjang yang lebih tinggi lagi. Beruntungnya Justin, Selina menyambut perasaannya itu setelah ia mencoba menyatakan perasaannya berulang kali. 'Masalah ini tidak bisa kamu selesaikan, Just. Aku bersalah padamu. Maafkan aku,' batin Selina di dalam hati. Selina pun memejamkan matanya sejenak dan menarik tangannya dari genggaman Justin. "Aku ingin kita putus, Just," lirih Selina. Akhirnya ia mengeluarkan kalimat yang sejak tadi menggantung di kerongkongannya. "Aku pikir sebaiknya kita berteman saja seperti dulu." Permintaan yang keluar dari bibir ranum Selina membuat Justin tercengang. Ia seakan mendengar suara halilintar di sore yang begitu cerah tepat di atas kepalanya. Justin tertegun selama tiga detik, kemudian ia pun tertawa kecil. Selina mengerutkan keningnya melihat ekspresi kekasihnya yang malah menertawakan ucapannya. Gadis itu dapat menebak jika Justin pasti berpikir kalau ia hanya bercanda saja mengatakan hal itu. "Just—" "Sayang, kamu lagi ngambek ya sama aku? Karena aku mengingkari janji kencan kita minggu lalu?" sela Justin cepat, lalu kembali menggenggam tangan Selina. Memang Justin sempat membatalkan janji kencan mereka minggu lalu karena ia punya pekerjaan mendadak. "Maafkan aku, Baby. Waktu itu aku beneran gak bisa ninggalin kerjaanku, terus aku juga sulit untuk menghubungimu. Tapi aku janji, aku gak akan melakukannya lagi. Oke? Jangan ngambek lagi, hm?" Justin masih berusaha membujuk Selina. Sebenarnya ia masih tidak memahami alasan kekasihnya yang tiba-tiba mengajukan perpisahan atas hubungan mereka. Tidak seperti biasanya Selina merajuk sampai mengucapkan kata putus kepadanya. Justin berpikir Selina masih belum sepenuhnya memaafkan dirinya atas sikapnya minggu lalu. Ia merasa memang pantas untuk dihakimi oleh gadis itu karena ia tidak mengabarinya dan membuat gadis itu menunggu cukup lama. Akan tetapi, semua itu ada alasannya. Saat itu Justin dalam posisi yang memang sulit untuk menghubunginya. Hanya saja kata perpisahan merupakan hukuman yang terlalu kejam baginya. Selina kembali menarik tangannya dari genggaman Justin. Ia akui sikap pria itu minggu lalu sungguh keterlaluan. Walaupun Selina sempat merasa kesal akan hal itu, tetapi ia telah memaafkannya ketika pria itu meminta maaf dengan tulus keesokan harinya. Saat ini gadis itu merasa bersalah dengannya, tetapi ia tidak bisa membiarkan masalah ini berlarut-larut semakin lama. Ia tidak mungkin membiarkan Justin tetap menjadi kekasihnya di saat dirinya telah menjadi istri pria lain. "Just, aku serius. Aku … aku tidak sedang bercanda denganmu. Kita putus saja," ucap Selina. Gadis itu segera beranjak dari duduknya sebelum Justin melihat air mata yang mulai menggenang di kedua sudut matanya. Justin masih terpaku di tempat duduknya. Ia tak menyangka Selina memutuskannya begitu saja. Tanpa alasan yang masuk akal menurutnya. Apa kesalahannya begitu fatal sampai Selina tega memutuskannya secara sepihak? Justin tidak terima. Ia pun segera beranjak dari duduknya dan mengejar kekasihnya itu keluar dari kafe. "Selinaaaa!" teriak Justin seraya berlari menyusuri sepanjang jalan di depan kafe tersebut. Namun, pria bermata abu gelap itu telah kehilangan jejak kekasihnya. Ia pun mengeluarkan ponselnya dan menghubungi Selina, lalu mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru. Sayangnya, hanya operator ponsel yang menjawab panggilannya. "AAAAARRRGHHH!" Justin menyugar rambutnya dengan kasar. Tampak rasa frustasi dan kesedihan yang begitu mendalam pada wajah tampannya. Selina mengintipnya dari balik sebuah pohon besar yang berada di pinggir jalan tidak jauh dari Justin berdiri saat ini. Pria itu terlihat begitu rapuh. Selina menutup mulutnya rapat dengan kedua telapak tangannya agar suara isak tangisnya tidak terdengar oleh pria itu. Ia pun segera beranjak dari tempat itu dan berjalan berlawanan arah dengan Justin. 'Maafkan aku, Justin. Maaf,' batin Selina. Derai air mata telah membasahi seluruh wajahnya. Gadis itu terus berjalan tanpa arah. Ia hanya mengikuti kakinya yang melangkah tanpa tujuan. Wajahnya terlihat begitu kusut setelah menangis cukup lama. Tampak kedua mata cokelat hazel tersebut begitu sembab dan sesekali cairan kristal lolos dari pelupuk matanya, lalu ia kembali mengusap wajahnya dengan kasar. Selina tidak tahu ia harus menyalahkan siapa atas peristiwa yang terjadi hari ini. Perusahaan Gesund kah atau memang kesialan yang sedang menimpanya atau si pria m***m itu yang telah menyeretnya masuk ke dalam kubangan lumpur tak berdasar saat ini. Pikirannya terasa kosong hingga ia tidak menyadari sebuah mobil hitam metalic berhenti di sampingnya. Jendela kaca penumpang bagian belakang mobil itu diturunkan oleh pengemudinya. Seorang pria bermanik mata kuning keemasan itu yang sedang duduk di dalamnya memanggilnya, "Nona Anderson!" Selina menoleh ke arahnya sekilas, lalu ia pun berbalik dengan acuh tak acuh. Selina melanjutkan perjalanan tanpa arahnya itu lagi dan mempercepat langkahnya. Ia tidak mengindahkan pria yang berstatus suaminya yang memanggilnya tadi. Melihat Reagan membuatnya muak dan semakin kesal. Ya, Selina melimpahkan semua alasan dari kesialannya itu kepada pria itu. Jika bukan karena Reagan mengajukan syarat itu untuk menyelamatkan Gesund, Selina tidak akan terjerumus ke dalam pernikahan itu. Ia pun tidak akan berpisah dengan Justin dan membuat pria itu bersedih tanpa tahu apa kesalahannya. Selina semakin mempercepat langkahnya karena Reagan telah turun dari mobil dan mengejarnya dari belakang. "Berhenti, Selina Anderson!" teriak Reagan. Namun, semua itu sia-sia. Selina tidak menggubris perintahnya itu. Reagan menggertakkan giginya dengan geram. "Sekali lagi kamu melangkah, akan kupastikan Gesund tinggal nama besok!" ancamnya. Ancaman Reagan berhasil. Selina memperlambat langkahnya dan perlahan berhenti. Ia mengepalkan kedua tangannya dengan erat dan menggigit bibir bawahnya untuk menahan tangisnya yang akan pecah jika ia membuka mulutnya. Ia tidak ingin menunjukkan kelemahannya kepada iblis m***m itu. Akan tetapi, cairan bening itu mengkhianatinya dan meluncur tanpa ia minta. Reagan tersenyum sinis. Ia pun menyusul istrinya itu dan menarik lengannya dengan kasar, lalu membalikkan tubuhnya. Namun, pria itu tercengang ketika melihat wajah istrinya itu. Wajah yang telah basah dengan air mata yang terus mengalir di sana membuat Reagan bertanya-tanya apa yang telah terjadi pada istrinya. Padahal beberapa jam yang lalu gadis itu masih baik-baik saja ketika ia meninggalkannya tadi. "Kamu kenapa?" tanya Reagan. Tanpa sadar, Reagan menunjukkan perhatian kecil kepada istrinya itu dan kali ini kalimat yang keluar dari bibirnya bukanlah kalimat formal seperti biasanya. Kedua manik mata hazel yang berair itu mendelik tajam kepada Reagan. "Bukan urusanmu!" desisnya sinis. Mendengar ucapan tajam dari istrinya itu membuat Reagan tersadar dari sikap konyolnya tadi. Pria itu pun murka dan menarik tangan gadis itu dengan kasar, tetapi Selina menepisnya. Tidak menyerah sampai di sana, Reagan pun meraih tubuh istrinya dan menggendongnya ala bridal style. Selina terkejut dan meronta dengan memukul d**a bidang pria itu berulang kali. "Lepaskan aku! Dasar b******k! Dasar pria b******n!" teriaknya histeris. Kini mereka telah menjadi perhatian publik, tetapi Reagan tidak peduli. Ia pun melempar tubuh Selina masuk ke dalam mobilnya dengan kasar, lalu menutup pintu mobil tersebut. "Langsung ke Mansion Raffles!" perintah Reagan kepada Hans yang sedari tadi duduk di balik kemudi mobil tersebut. Asisten Reagan tersebut hanya mengangguk dan melajukan kembali mobil tersebut menuju tempat yang diperintahkannya tadi. To be continue ….
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD