Bab 8 - Menunggu

1419 Words
Selina tengah berdiri menatap hotel bintang lima yang menjulang tinggi di depannya saat ini. Bangunan hotel yang berarsitektur perpaduan modern klasik itu tampak begitu megah dan elegan. Cahaya mentari yang menerpa langsung pada kaca-kaca gedung tersebut begitu menyilaukan sehingga membuat pesona gedung kokoh tersebut terlihat semakin memukau. Sebelum memasuki tempat itu, ia menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan. Langkah kakinya pun membawa dirinya memasuki lobi hotel itu. Ia disambut oleh salah seorang petugas hotel tersebut. "Selamat siang, Chef Anderson," sapa petugas yang berpakaian seperti bell boy. Selina menyunggingkan senyumannya dan membalas sapaan petugas bell boy tersebut. Walaupun Selina baru bekerja lima bulan di hotel itu, tetapi hampir seluruh karyawan hotel mengenalnya karena sikapnya yang cheerful dan supel. "Bukannya hari ini Anda cuti?" tanya petugas bell boy tersebut bingung. Ya, memang hari ini seharusnya jatah istirahat yang telah dijadwalkan perusahaan untuk Selina seperti yang dikatakan petugas tersebut. Akan tetapi, Selina harus ke tempat kerjanya hari ini, bukan untuk bekerja, melainkan untuk bertemu dengan CEO Hernandez Corporation. Selina memutuskan untuk bernegosiasi langsung kepada pimpinan perusahaannya itu. Selina berharap pimpinan perusahaannya itu dapat berbelaskasih sedikit kepadanya dan juga ayahnya. Walaupun harapan itu sangat tipis, mengingat gosip yang beredar mengenai sikap kasar dan dingin atasannya itu, tetapi Selina tetap bertekad mencobanya terlebih dahulu. "Iya, Ben. Aku ada sedikit urusan," jawab Selina sekedarnya kepada petugas bell boy tersebut. Ben alias Ben Davis, salah satu rekan kerja Selina yang cukup dekat dengannya di hotel. Ben sangat terbantu oleh Selina apabila ada pelanggan hotel yang sangat cerewet dalam memilih makanan. Tanpa basa-basi lagi, Selina pun melangkah meninggalkan Ben yang masih tertegun melihat kedatangannya. Langkah mantap kakinya membawanya menuju ke ruangan CEO Hotel Grand Luxury. Ia tidak tahu apakah pimpinannya itu ada di tempat atau tidak karena gadis itu belum membuat janji sebelumnya. Ia hanya mencoba peruntungannya kali ini. Ia berusaha mengatur degup jantungnya yang berdebar kencang karena gugup. Ini pertama kalinya ia menemui pria tertinggi di perusahaannya. Ia ingin memberi kesan yang baik agar negosiasi mereka berjalan lancar nanti. Selina masuk ke dalam lift dan menekan tombol angka 20, lantai tempat ruangan CEO berada. Tidak butuh waktu lama, ia pun sampai di lantai tersebut. Gadis itu pun mengedarkan pandangannya di seluruh sudut lantai tempat itu. Satu lantai yang sangat luas tersebut hanya dikhususkan untuk ruangan khusus CEO, termasuk ruang meeting dan ruang peristirahatannya. Baru kali ini Selina menginjakkan kakinya di lantai tersebut selama ia bekerja di hotel itu. Pandangannya tertuju pada kedua daun pintu lebar yang terbuat dari kayu terbaik di kelasnya. Ia yakin di sanalah ruangan pimpinannya berada. Tidak berapa jauh dari ruangan itu, terdapat sebuah meja counter yang cukup lebar. Terlihat seorang wanita berumur tiga puluhan berambut hitam legam dan berpakaian rapi sedang duduk di depan meja tersebut. Wanita itu adalah Gracia Brown, sekretaris CEO Hernandez. Selina pun segera menghampiri wanita itu. Ia pun menyunggingkan senyuman manisnya kepada wanita itu. "Selamat siang, Nona Brown," sapa Selina. Tidak sulit mengetahui nama lengkap sekretaris CEO di depannya ini karena tidak ada yang luput dari gosip mengenai CEO mereka itu dari telinga Selina. Hampir setiap saat ia mendengar informasi mengenai CEO mereka dari rekan-rekan kerjanya. Gracia yang sedang mengetik sesuatu di layar komputernya pun menghentikan aktivitasnya dan menatap Selina dengan datar. Ia memperhatikan penampilan tamu tak diundang di hadapannya tersebut dengan tatapan meremehkan. Sepasang netra tajam Gracia meneliti penampilan Selina yang hanya mengenakan kemeja kasual berwarna cokelat moka yang digelung hingga setengah lengan dipadukan jeans hitam ketat yang menampilkan lekuk kaki jenjangnya. Penampilan Selina tampak biasa-biasa saja di mata Gracia. Ia menganggap Selina bukanlah tamu terhormat dan penting baginya. Tanpa ditanya pun Gracia tahu untuk apa gadis di depannya ini datang. "Maaf, Nona. Jika Anda ingin bertemu dengan Tuan Hernandez, saat ini beliau sedang mengadakan rapat di luar kantor," ucapnya. "Oh, begitu. Kira-kira rapatnya selesai kapan ya, Nona Brown?" tanya Selina dengan sopan. Ia sama sekali tidak tersinggung dengan ketidakramahan sekretaris CEO tersebut. "Saya tidak tahu. Mungkin bisa lama," jawab Gracia acuh tak acuh. Ia mengalihkan pandangannya sekali lagi ke layar komputernya, lalu kembali menoleh ke arah Selina. "Bisa saja dia tidak kembali hari ini," lanjutnya. Selina menghela napas pelan mendengar informasi itu. "Terima kasih atas informasinya, Nona Brown. Tapi, saya akan menunggunya di sini," ucap Selina memutuskan. "Tapi Nona, Anda juga tidak memiliki janji dengan Tuan Hernandez sebelumnya. Beliau juga pasti tidak akan menemui Anda," ucap Gracia mengingatkan. "Tidak apa-apa, Nona Brown. Biar saya yang mengurus hal itu jika Tuan Hernandez kembali," timpal Selina bersikukuh dengan pendiriannya. Selina pun beranjak menuju sofa panjang yang berada di samping meja kerja milik Gracia. Ia tidak peduli lagi apakah pimpinan mereka akan kembali lagi atau tidak. Yang pasti Selina tidak ingin melewatkan kesempatan ini. Jika peruntungannya baik, mungkin ia bisa menemui pria itu hari ini. Gracia menggeleng kepalanya pelan, lalu melanjutkan aktivitasnya lagi. Waktu pun berlalu cukup cepat. Tanpa terasa jam telah menunjukkan pukul lima sore. Sudah saatnya Gracia untuk membereskan pekerjaannya dan pulang ke rumahnya. Beberapa menit lalu, Hans—asisten Reagan—telah mengirim pesan kepadanya untuk tidak menunggu mereka. Tentu saja Gracia mendengar berita itu dengan senang hati karena ia tidak perlu lembur hari ini. Ia bisa segera pulang dan merebahkan tubuhnya di kasur empuk, apalagi besok adalah weekend. Bekerja dengan Reagan benar-benar memberikan tekanan yang cukup besar kepadanya, tetapi Gracia sudah terbiasa akan hal itu. Jika ada kesempatan langka seperti ini, sekretaris Hernandez itu tidak akan menyia-nyiakannya. Pandangan Gracia teralih ke arah Selina yang masih dengan setia menunggu atasannya itu. Gadis itu sedang asyik memainkan ponselnya untuk mengusir kebosanannya. Sebenarnya Gracia sedikit prihatin kepadanya, padahal ia telah mengingatkan Selina untuk tidak menunggu, tetapi gadis itu tetap saja bersikeras dengan keputusannya itu. Gracia tidak bisa berbuat apapun dan membiarkannya menunggu di sana. Sekretaris CEO Hernandez itu berdeham untuk mengalihkan perhatian Selina dari ponselnya. "Nona, maaf. Saya sudah mau pulang. Anda tidak perlu menunggu lagi. Tuan Hernandez mungkin tidak akan kembali hari ini," ucap Gracia. Tampak kekecewaan di dalam raut wajah Selina. "Mungkin? Apa itu artinya dia ada kemungkinan kembali ke kantor?" tanya Selina penuh harap. "Yah, bisa saja kemungkinan itu ada karena tadi asisten pribadinya Tuan Hernandez menyuruhku untuk tidak menunggu mereka lagi. Tapi hal itu tidak pasti. Bisa saja beliau tidak kembali lagi," jawab Gracia berharap Selina akan menyerah. Mendengar informasi dari Gracia itu, Selina berpikir bahwa dirinya masih memiliki kesempatan bertemu dengan atasannya, walaupun terlalu tipis untuk bersikukuh dengan kemungkinan itu. Selina pun mendesah pelan. "Baiklah, Nona Brown. Terima kasih. Tapi, saya akan tetap menunggunya di sini saja. Silahkan Anda pulang dulu saja, tidak perlu mengkhawatirkan saya." "Apa?" Gracia mengernyitkan keningnya. Ia memijat pelipisnya dan memejamkan matanya erat. Baru kali ini ia bertemu dengan seseorang yang begitu keras kepala seperti Selina. "Nona, percuma saja Anda menunggu di sini. Yang saya katakan tadi kan hanya kemungkinan dan bisa saja Beliau tidak kembali ke kantor!" ungkap Gracia dengan nada mulai meninggi karena kesal. Ia pun menghela napas panjang dan berusaha mengatur emosinya, lalu menatap Selina yang tampak tak berdaya. "Anda hanya akan menambah masalah untukku nanti. Saya harap Anda dapat bekerja sama dan segera pulang," pinta Gracia setengah memohon. "Maaf, Nona Brown. Saya janji tidak akan memberikan masalah untukmu. Saya akan menunggu Tuan Hernandez sampai jam tujuh saja. Saya janji," ucap Selina seraya mengangkat kedua jarinya ke atas membentuk tanda 'peace'. Gracia kembali menghela napas panjang. Ia tahu percuma saja ia membujuk gadis keras kepala di depannya ini. Ia tidak ingin membuang-buang waktu berharganya untuk gadis itu lagi. "Baiklah terserah Anda, Nona …." Ah, Gracia baru menyadari kecerobohannya. Ia lupa menanyakan nama gadis itu sejak tadi. Selina yang melihat hal itu pun hanya tersenyum dan menyebutkan namanya, "Anderson. Nama saya Selina Anderson, Nona Brown." "Ehem, Nona Anderson. Terserah Anda mau menunggu sampai kapan, tetapi saya harap Anda tidak membawa masalah untuk saya atau nanti saya akan membuat perhitungan dengan Anda," ancam Gracia sebelum meninggalkan Selina di tempat itu. Selina pun mendudukkan tubuhnya kembali ke sofa. Sebenarnya dirinya sudah suntuk menunggu di tempat itu, tetapi ia harus bertahan sebentar lagi. Berharap CEO Hernandez kembali ke tempat itu hari ini. Selina menatap layar ponselnya yang sudah hampir kehabisan daya. Gadis itu pun menyenderkan kepalanya di atas kepala sofa, bermaksud untuk mengistirahatkan matanya sejenak. Namun, tanpa Selina sadari, ia pun terlelap. Dua jam pun telah berlalu, Selina masih terlelap di sofa depan ruangan CEO Hernandez. Sayup-sayup terdengar suara denting pintu lift yang terbuka dan langkah seseorang yang berjalan semakin mendekati ruangan itu. Langkah sosok tersebut terhenti ketika ekor matanya mendapati sosok Selina yang sedang tertidur di sana. Sebuah seringai licik terukir pada wajahnya. To be continue ….
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD