Chapter 3 : Rumah Susun

1794 Words
"Gue anterin lo, deh." Andra menarik tali tas Agatha. "Nggak usah, sampai sini aja." Agatha tersenyum meyakinkan. Senyum terpaksa, atas dasar raut wajah sebal. Tangannya berusaha untuk menarik tali tas yang sejak tadi Andra pegangi, seolah enggan meloloskan perempuan itu. "Rumah lo di kuburan?" Andra berjinjit dan mengedarkan pandangan ke sekeliling. Mobilnya agak sedikit sulit masuk pemukiman dengan jalan becek dan kebun-kebun singkong. Bayangan ngeri seputar mahkluk-mahkluk apa saja yang menghuni tempat ini langsung merayapi otaknya. "Disini nggak ada kuntinya, kan?" Pertanyaan itu langsung membuat Agatha menepuk bahu Andra. "Ya enggak, lah! Ini kebun Singkong doang! Bukan kuburan!" "Terus ntar kalau lo nyasar gimana? Ini udah larut banget." "Nggak mungkin. Emang lo pernah nyasar kalau mau pulang ke rumah?" Agatha balik bertanya. "Enggak, lah!" "Ya gue juga nggak bakal nyasar!" "Oh ya?" Andra menaikkan sebelah alisnya. Ia menggeret lagi tali tas Agatha. Seolah itu adalah tambang yang terikat pada leher seekor kambing. "Sini, deh. Lo tinggal tunjukin dimana rumah lo." "Aduh, udah deh, nggak usah kepo sama rumah orang." "Dari pada kepo sama masa lalu lo? Milih mana?" "Apaan, sih nggak nyambung!" "Diem." Andra langsung menempelkan jari telunjuknya di bibir Agatha. Membuat gadis itu langsung mengatupkan mulutnya. "Udah malem. Ntar ada yang nguping." "Siapa?" "Setan." Andra menarik tali tas Agatha semakin kuat, hingga menyusuri kebun singkong itu semakin dalam. "Setan, kan doyan nguping." "Sompral! Disini nggak ada setannya." "Ada. Cuma lo aja yang nggak liat." "Kayak lo bisa liat aja?" "Bisa. Gue lagi tahan dia malah." "Mana?" Andra melirik Agatha dengan tatapan polos. "Elo, setannya, kan?" "Sialan!" Agatha langsung menarik tali tas yang sejak tadi Andra pegangi. "Ini apaan sih pegang-pegang tas mulu, kaya mau jambret!" "Jambret pake motor. Ngga ada jambret yang jalan kaki sama korbannya. Apalagi lewat kebun singkong kaya gini." "Jawab aja mulu! Bukan pertanyaan juga." Andra terdiam, mengatupkan mulutnya, dan memilih memasukkan tangannya ke dalam saku celana. "Lo sebenarnya mau ngapain, sih ngintilin rumah gue?" Tanya Agatha, risih. Andra terdiam. Membuat Agatha mendesah. "Jawab, heh?" "Yang itu pertanyaan bukan?" Tanya Andra, polos. Agatha berdecak frustasi. "Anjir, ngomong sama lo pusing deh! Pulang aja sana! Nanti Mamah lo nyariin!" "Aku sudah besar, jadi Mamah nggak mungkin nyariin." kata Andra, dengan senyum mengembang, ia tetap berjalan dibelakang Agatha. "Hhh, terserah." Agatha menempelkan punggung tangan ke jidatnya, jengah. Kepalanya sudah cukup pusing karena kelelahan hari ini, ditambah lagi dengan Andra yang makin lama, semakin ngajak ribut. Langkahnya terhenti, ketika lagi-lagi tali tas nya di tarik oleh cowok itu. Awas aja ini anak bagong lama-lama bisa narik tali bra gue juga! "Apalagi sih ini pegang-pegang! Risih banget gue!" "Ya udah kalau kaya gitu gue pegang tangan lo aja." Andra menaikkan kedua alisnya. Sambil mencoba menggamit tangan Agatha, namun keburu ditepis oleh perempuan itu. "Nggak. Gue mau pulang." "Ikuuut..." Andra merengek. “Ngapain, sih pengen ikut mulu, kambing?! Gue bukan emak lo!”   ***   Agatha menyusuri jalanan becek di sebuah pemukiman kecil dan juga beberapa kali melewati kebun singkong milik tetangga. Sebenarnya ada jalan yang lebih ramai dan lebar untuk menuju lingkungan rumah susun tempat ia tinggal. Jalan utama ada di depan dekat dengan jalan raya dan keramaian, tapi karena ia pulang bersama Andra ia memutuskan untuk memilih jalan setapak yang nantinya akan tembus ke bagian belakang bangunan rumah susun. Hal itu semata-mata agar ia bisa bebas dari Andra yang kekeh ingin mengetahui letak rumahnya, tapi Andra mengikutinya sampai ke sini dan hal itu membuatnya kesal. “Udah ye, sampai sini!” Andra mendesah. “Ya elah, kalo rumah lo di sini mah gue juga tau! Inikan bisa lewat jalan depan biar mobil gue juga bisa parkir. Lo kenapa milih lewat kuburan sih?!” “Berisik. Udah sana pulang!” “Lewat yang jalan tadi lagi?” “Iyalah,” Agatha berkacak pinggang. “Kenapa? Takut?” Andra mengerutkan hidungnya. “Iya. Ayo dong anterin gue lagi.” “Eh, jangan ngada-ngada ya lo. Gue dari awal kan nggak minta lo ngikutin gue. Salah lo sendiri, lah!” “Kalo gue ilang di tengah jalan gimana?” “Nggak peduli.” “Bodo, ntar gue bilangin Mamah.” “Andra!” bentak Agatha. Seketika laki-laki itu terkekeh pelan, ia tahu perempuan dihadapannya sudah habis kesabaran. “Haha, lucu banget lo kalo ngamuk. Jelek.” Agatha menarik napas panjang. “Gue lagi nggak mau bercanda, Andra. Lo harus pulang.” “Ya udah, naik gih. Gue liatin dari sini.” ucap Andra. Kedua tangannya ia masukkan kedalam saku saat melihat Agatha perlahan meninggalkannya tanpa menoleh lagi ke belakang. Agatha berusaha tidak peduli dan meneruskan langkahnya menuju lift yang akan membawanya naik ke lantai tiga bangunan rumah susun. Koridor rumah susun mulai sepi, hanya ada penerangan dari lampu teras dan pintu-pintu rumah tetangga juga sudah tertutup rapat, padahal kalau sore hari ramai sekali oleh anak-anak. Begitu ia sampai di depan pintu rumahnya, Agatha mendorong pintu pelan dan menyadari kalau Ibu dan adiknya sudah tertidur. Tapi mungkin ia terlalu berisik, Ibunya, Sarah, terbangun ketika menyadari anak sulungnya baru pulang. “Tumben pulang malem, kak.” Sarah segera bangkit dan menguncir rambutnya. Ia berjalan ke arah dapur untuk membuat teh hangat untuk Agatha. “Tadi, Andra pulang sekolahnya kesorean, jadi molor deh waktu bimbingannya.” keluh Agatha seraya menggantungkan tas nya di kamar, ia melihat Azriel, bocah laki-laki berumur 10 tahun itu tidur di kamarnya. “Azriel tadi sekolah nggak?” Sarah tersenyum samar. “Udah berangkat tadi, cuma nggak tau deh pulang-pulang nangis. Mungkin berantem lagi sama temennya.” Agatha menghembuskan napas kasar, ia berjalan keluar kamar dan duduk di kursi. “Heran, deh anak jaman sekarang. Ada-ada aja. Ibu udah makan?” “Udah. Kamu mau makan apa?” Agatha menggeleng, ia langsung menerima cangkir teh dari Sarah. “Makasih, Bu. Aku tadi udah makan. Ibu lanjut tidur lagi aja, tidur di kamar ya. Dingin.” Sarah mengangguk, ia juga lelah seharian bekerja di Laundry kondisi tubuhnya di kepala empat mulai sering mengalami keluhan, jadi ia tidak dapat memungkiri kalau dirinya juga lelah. Unit rumah susun yang Agatha sewa tidaklah besar. Hanya terdiri dari satu kamar, satu ruang tamu, satu kamar mandi dan satu dapur, tapi cukup untuk tempat bagi keluarga kecilnya berteduh. Dulu ia pernah tinggal di rumah perjuangan almarhum Ayahnya, tapi harus pindah karena tempat tinggalnya akan dijadikan sebuah proyek kereta api oleh pemerintah. Agatha tidak punya pilihan lain, ia tetap harus relokasi ke rumah susun sesuai dengan penawaran yang ada. Memang berat, tapi Agatha tahu ia masih lebih beruntung. Setidaknya untuk kebutuhan sehari-hari dan biaya sekolah adiknya keluarga Agatha tidak merasa kurang. Agatha hanya perlu berusaha lebih keras lagi untuk biaya kuliahnya supaya bisa cepat selesai, dapat pekerjaan yang baik, dan keluar dari lingkungan ini.   *** Hari ini adalah hari kamis, Agatha tidak punya jadwal bimbingan belajar dengan Andra. Ibarat, ini adalah hari liburnya dimana biasanya ia bisa istirahat dan sesekali membuka materi kuliahnya supaya ia tidak terlalu clueless saat masuk kegiatan perkuliahan nanti. Agatha masih aktif menghubungi teman-teman kampusnya untuk sesekali sharing materi atau menanyakan kabar. Tapi pagi ini, Agatha sedang malas sehingga ia baru bangun pukul 10 pagi. Rumah sudah kosong, Azriel biasanya berangkat ke sekolah bersama Sarah karena Laundry tempat Sarah bekerja tidak jauh dari letak sekolah anak bungsunya. Agatha tersenyum ketika sudah ada cangkir teh hangat yang baru di meja. Sudah tidak hangat, tapi Agatha tetap menyesapnya begitu bangun tidur. Ia merenggangkan otot-otot tubuhnya yang kaku karena semalaman tidur di sofa, kemudian langsung bangkit dan berjalan ke kamar mandi untuk mencuci muka, udara pukul sepuluh pagi tidak terlalu segar ketika ia menghirupnya setelah membuka pintu. Agatha bertumpu pada pagar dinding di lantai tiga, menengok ke bawah sana dan melihat pemandangan seperti biasa di taman bermain yang persis berada dibawah gedung rumah susun yang ia tinggali. Banyak anak-anak dan ibu-ibu yang mengobrol sambil menyuapi sarapan. “Kebluk banget tidurnya, neng, jam segini baru bangun.” “Astaganaga!” seru Agatha, terkejut. Agatha membulatkan matanya sambil menatap sosok laki-laki berseragam batik almamater tiba-tiba berada di sebelahnya. “Lo ngapain di sini, gila?! Lo nggak ke sekolah?!” “Kalo gue ke sekolah, gue nggak bakal di sini lah. Nanya lagi lo.” Agatha menelan ludah, seraya Ia memijat kepalanya. “Terus mau ngapain?” “Laper, Ta. Di sini ada tukang bubur ayam nggak, sih?” “Lo ke sini cuma mau cari tukang bubur? Lo waras?” Andra hanya berdecak, ia segera menarik pergelangan tangan Agatha. “Cepet turun. Gue kelaperan nungguin lo daritadi nggak bangun-bangun.” “Andra! Gila lo ya?!” *** Dan disinilah mereka sekarang. Duduk berdua di tenda tukang bubur ayam yang berjualan di dekat rusun. Agatha sama sekali tidak habis pikir dengan tingkah anak laki-laki satu ini. “Jangan liatin gue, liatin buburnya tuh dimakan kucing.” Agatha langsung memperhatikan mangkuknya dan sadar kalau Andra baru saja mengerjainya. Ia kemudian mengeratkan sweater yang ia pakai dan mencoba untuk berhenti memberi atensi terhadap Andra. “Nggak paham gue sama lo, Ndra. Sumpah.” Andra mengunyah kerupuknya dan tersenyum. “Adek lo gemes juga, ya. Kelas berapa?” “Kok tau? Lo ketemu dimana?” “Tadi pagi, gue yang anterin Ibu sama Adek lo ke sekolah.” “Jadi lo di rumah gue dari tadi pagi?! Lo sama sekali nggak ke sekolah?!” Andra diam saja. Ia menyendok sesuap bubur yang masih belum habis. Ia juga tidak tahu kenapa ia berakhir di sini. Hanya saja, hari ini ia sedang malas melakukan sesuatu apalagi pergi ke sekolah. “Andra, jawab!” “Males.” “Kok males, sih? Gimana lo mau pinter kalo sekolah aja males.” “Maksudnya, gue males jawab pertanyaan lo! Aduh, udah deh. Gue lempar juga nih mangkok, mau?” Agatha menghembuskan napas kasar. Lagian apa boleh buat dan apa pedulinya juga, toh mau Andra ke sekolah atau tidak, gajinya sebagai guru bimbel juga tidak akan dikurangi. Keduanya akhirnya tenggelam dalam pikiran masing-masing dan hanya fokus menghabiskan sisa porsi bubur hingga suapan terakhir. Andra yang pertama kali berdiri ketika makananya sudah habis terlebih dahulu, ia mengeluarkan sejumlah uang untuk membayar porsi miliknya sekaligus milik Agatha. “Terus lo ngapain nyamperin gue? Bukannya lo sering bilang kalo liat gue bawaannya makin pusing?” ketus Agatha ketika ia menyusul Andra keluar dari tenda lapak tukang bubur. “Nanya mulu, dah. Suka-suka gue lah mau nyamperin siapa.” jawab Andra asal, ia kemudian melangkah mendahului Agatha. “Dah, ya. Gue mau balik!” “Nggak ke sekolah?” “Males,” “Andra, ih.” Agatha menghentakkan kakinya, membuat Andra diam kemudian berbalik arah. “Apa, ih?” Andra mengikuti gaya Agatha menghentakkan kaki, kemudian tertawa dan sedetik kemudian ekspresinya kembali datar dengan cepat. “Udah, ye. Makasih udah ditemenin sarapan. Gantiin tuh duit bubur!” Agatha mebulatkan matanya. “Hah? Itungan banget lo jadi cowok! Siapa juga tadi yang tau-tau muncul depan rumah terus ngajakin makan bubur?” “Bodo. Pokonya ganti traktir gue kapan-kapan, bay!” “Andra! Sekolaaah!” Agatha masih menyerukan panggilannya, tapi Andra sama sekali tidak berbalik arah. Ia berjalan menjauh, ke arah dimana mobilnya di parkir jauh dari lingkungan rumah susun. Andra, laki-laki berusia delapan belas tahun itu tidak tahu harus pergi kemana. Ia malas ke sekolah, malas juga pulang ke rumah. Begitu masuk ke dalam mobil pikirannya kembali kosong. Bingung mau melakukan apa, semuanya serba membuatnya malas. Bahkan jika ia bisa hidup tanpa bernapas, sepertinya ia juga malas bernapas. Ia kemudian mengambil ponselnya, mencari kontak yang ingin ia hubungi dan mengirim pesan. Hari ini Andra mau tidur di rumah Papa, boleh? Semenit, baru muncul tanda bahwa pesan tersebut dibaca, kurang dari sepuluh detik, pesan baru muncul dibawahnya. Papa lagi diluar kota, nak. Lain kali ya. Andra menghela napas kasar, kemudian melempar ponselnya pada dashboard mobil, ia melipat kedua tangannya dan menenggelamkan wajah sambil bertumpu pada setir mobil. Ia lelah dengan sekolah, ia lelah dengan mimpi-mimpi yang dipatri orang lain, ia lelah dengan Mama dan ia lelah dengan dirinya sendiri. Ia lelah menjadi bebas yang terikat, ia ingin bebas. Bebas melakukan apapun dan menentukan pilihan yang ia mau tanpa melibatkan siapapun.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD