2

1054 Words
** Aku langsung berteriak melihat suamiku, berpelukan dengan wanita lain di hadapanku. Sedang Arya dan wanita yang ada di dalam pelukannya langsung saling melepaskan dan si wanita membalikan badan, buru-buru mengambil jaket dan menutupi wajahnya. "Siapa itu, Mas?" tanyaku mendekat, degupan jantungku meningkat dan ada sesuatu yang membuatku seolah tak rela suami di sentuh lain wanita. "Pergilah dulu, aku akan coba menenangkan Ariska," ujarnya pada wanita yang masih menutup wajahnya itu. "Kamu siapa? Dengan caramu menutup wajah seperti ini aku makin berasumsi yang salah tentang kalian?" ucapku pada wanita itu dia tak peduli padaku, malah segera ingin menjauh. Dadaku berdebar melihat adegan itu, cara Mas Arya menyentuh bahu si wanita amat mesra dan bermakna dalam. Dan aku menyaksikan seolah terhimpit sesak dan kalap, aku ingin sekali marah, namun tak punya alasan sebelum mendapatkan kesimpulan paling kuat untuk meluapkan emosi. "Tunggu dulu, aku sedang bertanya padamu!" Aku mengejarnya sementara Mas Arya sigap menahan tubuhku. "Ariska, kamu akan terkejut jika tahu yang sebenarnya, tolong, berikan dia waktu," ujar Mas Arya. Wanita itu kabur, luput dari tangkapan tanganku sedangkan aku menggeram marah karena ingin tahu. "Apa maksudnya ini, apa kau sedang mengkhianatiku, apa kau sedang mencoreng pernikahan kita?" jeritku marah, sedang orang orang yang tidak jauh dari sana menatap kami semua. "Tidak sama sekali, dia temanku, dia sedang depresi dan punya masalah keluarga, dia merasa aku satu-satunya orang yang bisa mendengarkan masalahnya. Apa yang kau lakukan barusan akan membuatnya tertekan dan bunuh diri Ariska, aku mohon," ujar Mas Arya dengan wajah cemas. Dia melepas bahuku dari rangkulannya dan menjauh pergi secepat yang dia bisa. "Kau tidak bisa bertindak sebebas ini, ini tidak masuk akal, jika wanita itu mengidap gangguan pada mentalnya, kenapa ia tidak menghubungi psikolog, kenapa malah mencarimu?" cecarku sambil menyusulnya. "Tolong mengerti, istriku, masalah ini sedang rumit sekali, tolong pengertiannya!" Ia meninggikan suara sambil menangkupkan kedua tangannya, lalu meninggalkanku yang menghentikan langkah sambil menelan ludah "Astaghfirullah, apa yang sedang terjadi," gumamku sambil menekan d**a yang rasanya disengat ribuan serangga. Suamiku berkeliling ke sana kemari, mencari ke setiap sudut tempat wisata alam tersebut, bahkan sampai naik ke wilayah hutan mahoni dan berputar mencari wanita berbaju biru tadi hingga tubuhnya sendiri sempoyongan oleh lelah. Dengan langkah lunglai ia kembali ke mobilnya dan bersiap membuka pintunya. "Siapa dia?" Aku masih mengulang pertanyaan yang sama. " ... dia saudaramu atau siapa?" "Diam! Aku sedang lelah, bisakah kau menunda pertanyaan itu hingga kita sampai di rumah?!" Mendengarnya bentakannya yang baru pertama kali sejak kami menikah, aku langsung terkesiap, hatiku tersentak, ada rasa sedih sekaligus tersinggung juga sedikit iri mengapa perempuan misterius tadi sukses mencuri perhatiannya dan mengubah kelembutan suamiku jadi amarah. "Yang aku herankan kenapa dia harus menutup wajahnya ..." Aku mencicit pelan setengah oleh terluka dan setengah lagi ketakutan. "Kamu nggak paham kalau dia sedang mengalami depresi dan tidak tiap bertemu orang lain selain aku? Kamu nggak paham kenapa aku melakukan pertemuan secara rahasia? Itu semua karena aku ingin melindungi privasi dan penyakitnya!" Tanpa banyak bicara lagi dia langsung masuk ke mobil dan menghempaskan pintu. Dia meninggalkanku yang berdiri dengan perasaan hancur seorang diri. Sekarang duniaku terasa runtuh, kepalaku pusing dan pandangan hutan Pinus yang asri berputar putar. Teriakan Mas Arya barusan membuatku amat terluka, luka hati itu berdarah dengan deras dan tubuhku lemas karenanya. Menjelang magrib aku baru sampai di rumah setelah dua jam mengumpulkan energi dan keberanian. Kubuka pintu dan kulangkahkan kaki perlahan, melihat tampilan ubin yang bersih kontras sekali dengan kaki dan pakaianku yang berlumpur kotor, aku terjatuh saat ditahan oleh suamiku tadi. Kami berpapasan di ruang keluarga ketika dia sedang mengetik di laptopnya, kelihatannya dia sudah mandi dan mengganti pakaiannya dengan sweater yang lebih hangat. Kulirik meja makan, ia pun sudah makan, dan itupun tanpa menungguku lagi. Kelihatannya dia memang sedang sangat marah! Tanpa banyak bicara aku langsung naik ke kamar tidur utama. Kususuri tangga minimalis dengan d******i warna putih dengan air mata yang terus menetes. "Ia tidak menyapaku sepatah katapun," batinku sambil menahan isakan agar tak terdengar olehnya. Kuedarkan pandangan setelah sampai di atas lantai dua, dari pembatas besi kulihat suamiku masih setia menatap laptopnya, kasapu tatapan pada rumah dengan desain minimalis modern hasil karyanya. Interior dan perabotan di d******i dua warna, hitam dan putih, seperti filosofi antara aku dan dia, yang dulu katanya saling menyeimbangkan bagai pusaran Yin dan Yang. Rasanya, semua bagai kebohongan, namun apakah aku terlalu dini untuk menilai dan menyimpulkan bahwa dia lebih peduli wanita berbaju biru tadi daripada perasaan wanita yang selalu ia sayangi. Apakah salah, jika aku merasa tersisih? Tiba tiba merasa dikalahkan, dan itu kenapa? Aku masuk ke dalam kamar, dan kudapati baju kemeja merah milik Mas Arya teronggok di sana, kuambil benda itu lalu menimangnya, teringat bahwa wanita itu melabuhkan diri dengan hangat ke permukaan baju itu, hingga membuatku menghempasnya kasar, aku terduduk dan tergugu, lalu perlahan kehampaan menguasai hatiku. "Baru pagi tadi kamu saling menyapa, dan malam kemarin kami memadu asmara, mengapa ia berubah dalam waktu beberapa jam saja?" Berjuta pertanyaan timbul di d**a dan aku tak tahu jawabannya. Tak ada yang bisa kulakukan ... Sebagai wanita yang selalu diperlakukan lembut dan dimanja, dadaku terasa dilubangi oleh bentakan yang terus terngiang-ngiang di telinga. Aku menangis sambil memeluk lutut, dan membenamkan wajah ke bawah lipatan tangan, lalu menumpahkan kesedihan sembari merindukan ayah dan Ibu. Selagi terpuruk seperti itu, ingatanku berputar pada masa masa indah di mana kami pertama kali berjumpa, ia melamarku pada ayah dengan gaya sederhananya, dan kami menikah di antara luapan restu dan doa. Ah bahagianya ... Lalu ... kenapa dengan dia sekarang. Mungkin benar aku yang salah, dan sikapku sudah menyinggungnya ** Setelah mandi dan mengganti pakaian, aku berpikir untuk menemuinya dan meminta maaf atas kelancanganku, sekalian juga ingin tahu tentang wanita misterius itu. Kususuri tangga sambil berdoa, semoga setelah ungkapan maaf dan gelayut manja ia berkenan membuka pintu hatinya, namun baru saja memijak lima anak tangga percakapannya terdengar di telinga. "Iya, aku akan membereskannya. Kamua jangan khawatir, kita bisa berjumpa lagi," ujar Mas Arya dengan nada setengah berbisik. "Iya ... dia gak bakal tahu, kok. Kamu tenang aja." Suara suamiku amat lembut seolah menenangkan lawan bicaranya, lalu bagaimana aku tak makin curiga? Tak jadi kulangkahkan kaki, hanya terduduk sedih di tangga yang jaraknya hanya dua meter dari tempat duduknya, dan mendengar semua percakapan itu dengan sempurna. Aku harus tahu, kenapa suamiku menyembunyikan identitas wanita itu, dan hubungan yang sedang dijalinnya itu apa?!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD