3

1013 Words
Malam ini kami tidur di ranjang yang sama, namun suami tercinta yang dulu tak pernah melepaskan pelukannya, kini terlelap membelakangi istrinya. Kubalikkan badan, setelah beberapa saat menatap punggungnya, dan air mataku tumpah begitu saja di permukaan sarung bantal bermotif bunga. Perasaan ini nelangsa karena tak pernah diperlakukan demikian acuh oleh dia, sedih merasa kehilangan separuh jiwa karena kebungkamannya. "Mas Arya ...." Dia membungkam. Aku ingin membalikkan badan, memeluknya dan berharap dia mengampuniku dan kembali membawaku ke hangat dadanya, di mana aku selalu berlabuh tiap malam di sana. Tapi, sayang, dia beku. Keesokan paginya, aku terbangun sambil meraba tempat tidur, namun tak kutemukan seorang pun di sampingku. Sambil bangkit, kucoba mengumpulkan kesadaran dan membuka tirai jendela, terlihat Mas Arya sedang menyiram rumput dan halaman depan rumah kami. Ponselnya berdenting lagi, terlihat sedang di isi daya dengan sambungan listrik. Ingin sekali kubuka ponsel itu namun jika aku mendapati pesan mersra lagi itu akan menusukkan hatiku lebih pedih, tapi jika kuabaikan maka perasaan ingin tahu ini berdesakan. Kubuka atau tidak? Kini wallpaper ponselnya bergambar wanita yang sedang duduk membelakangi kamera, dia memakai topi matros merah berpita dan posisinya terlihat di sebuah resort mewah di atas tebing dengan hamparan teluk membiru di bawahnnya. Siluet wajah wanita itu nampak ayu dan bahagia, makin diperhatikan makin sulit untuk menebak siapa dia. Air mataku tumpah, sederas tangisan yang sudah tumpah semalaman, mataku pedih, dan jiwaku seolah kehilangan semangat hidupnya. Karena waktu sudah menunjukkan pukul tujuh pagi, aku segera bergegas mandi, lalu turun menyiapkan sarapan sebelum suamiku berangkat kerja. Roti toast dengan keju dan telur, kopi, serta jus jeruk tertata di nampan sedang aku menyibukkan diri untuk membersihkan kabinet dapurku, tak mau tenggelam oleh rasa sedih dan hampa lagi. Dia terlihat turun, beringsut ke meja kerja dan mengambil perlengkapan arsiteknya, kemudian menghampiri meja makan dan menggigit rotinya. "Di mana penggaris dan tabung gambar milikku, Ariska?" Aku tersentak, akhirnya pertanyaan timbul dari bibirnya. Aku langsung menghentikan pekerjaan, membalikkan badan dan tersenyum bahagia padanya dengan sudut mata berkaca-kaca, begitu tulus sehingga orang yang melihat seolah merasa aku adalah wanita yang baru saja diberikan ungkapan cinta. "Aku akan ambilkan di laci lemari ruang baca," jawabku. "Sekaligus jangka dan wadah pensilnya," lanjut Mas Arya. "Iya, Mas." Aku berlari ke ruang baca dan mengambilkan apa yabg suamiku perintahkan, hatiku berbunga, membuncah rasanya, ada harapan bahwa kami akan saling mendamaikan dan bahagia kembali seperti semula. Aku berencana, jika dia sudah memaafkankanku maka aku akan menanyakannya, siapa wanita yang sudah menemuinya. "Aku berangkat kerja dulu, jangan lupa salat Dhuha, doakan suami agar berhasil dengan proyeknya, jika design yang kubuat kali ini berhasil maka kita akan dapat 30 juta sebagai bayarannya." "Insya Allah, Amiin, semoga saja Mas," jawabku sambil menyalami tangannya. ** Pukul sembilan pagi, waktunya bersantai bagi ibu rumah tangga biasa sepertiku, kunyalakan tivi sambil membawa setoples kacang mete dan s**u, lalu duduk bersandar menonton infotainment. Ding .... Pintu rumah berbunyi, dan aku langsung bergegas membuka pintu. Ternyata Bella sahabatku di sana. Dia menyapa dan langsung memelukku, begitu pun aku menyambutnya dengan gembira karena sudah lama tidak berjumpa. Dulu, kami rekan satu tempat kerja di sebuah bank swasta, aku resign karena Mas Arya memintaku fokus pada rumah tangga dan program kehamilan, meski itu belum berbuah hasilnya, sedang sahabatku Bella, ia lebih suka menyendiri, tak mau terikat hubungan pernikahan yang akan mengekang jenjang karir dan prestasinya. "Apa kabarmu, Bell, kok tumben mampir?" tanyaku sambil menatap wajah sahabatku yang sedikit tirus dari bebeapa saat lalu, ia juga pucat dan kantung matanya lebih tebal. "Aku off, izin istirahat, lelah sekali," jawabnya singkat sambil menyusuri rumahku, melihat keadaan sekitar, menatap bingka photo dan menyentuh gambar pernikahanku dan Mas Arya. "Di sini kamu nampak sangat bahagia, Ariska, senyummu lebar dan sempurna," ujarnya. Ia mengatakannya dengan nada pelan, serupa gumaman namun aku bisa mendengarnya. Lama ia berdiri, menatap photo itu penuh makna hingga aku memanggil dan menyuruhnya duduk, barulah ia beranjak dari sana. "Kenapa sih? Kayaknya kamu mau nikah juga ya, kok kayaknya mupeng banget ngelihat photo pernikahan," godaku pada teman yang sudah membersamaiku dari sejak kami sama sama mencari kerja. Ia hanya mendesah, berdecak pelan dan menggelengkan kepalanya. "Jauh, Ris, aku masih butuh perjuangan untuk bisa menikah," jawabnya dengan suara yang terdengar getir. "Kok bisa, memangnya kamu mencintai siapa? Jangan jangan pacarmu ada yang punya ...," tebakku sambil bercanda. "Ah, gak juga, Riska, aku hanya ... Ah udahlah ....." Kusajikan segelas teh ke hadapannya dan dia berterima kasih. "Sengaja kubikinin green tea, agar kamu selalu menjaga bentuk badan," ujarku tulus. "Oh, maaf, aku gak bisa minum green tea," tolaknya sambil mengangsurkan kembali cangkir yang sudah dia pegang. "Kenapa?" "Aku takut perutku .... eh, maaf, aku boleh minta air putih aja," ujarnya salah tingkah. "Oh, boleh." Kamu lagi Aku mengambilkan segelas air ke lemari es dan kembali untuk memberikan Bella di ruang keluarga ternyata dia sudah bersiap pergi. "Lho, Bela kamu kamu mau kemana?" "So-sorry, tiba-tiba aku ngerasa gak sehat, aku pulang aja ya," pamitnya sambil mengenakan sepatunya. "Kalo kamu stress atau lelah karena tekanan pekerjaan kamu bisa sharing dengan aku, kita bisa jalan atau pergi spa, untuk merilekskan pikiran," tawarku sambil menyentuh bahunya. "Engg ... Enggak usah, aku mau pulang aja," balasnya dengan maya berkaca kaca. Aku tak tahu kenapa gelagat sahabat baikku begitu aneh, biasanya dia tidak setertutup itu. Dia sudah pergi ketika kusadari bahwa dompet dan kacamatanya tertinggal. Aku berusaha mengejar namun mobilnya sudah menghilang di ujung jalan. Tanpa banyak berpikir aku segera mengambil motor dan helm lalu bersiap mengantar barang sahabatku. Pasar swalayan membelikan Bella sedikit stok makanan sehat untuk dia simpan di apartemennya. Aku tahu temanku satu ini sangat malas untuk mengasup makanan sehat, karenanya sebagai teman akan kutolong ia memperbaiki pola makannya. Sesampainya di apartemen Bella, suasanannya lengang, kuketuk pintu dan wanita yang terlihat makin pucat itu membukanya. "Aku bawain stok makanan, dan barang tamu yang tertinggal di rumah, oh ya, aku disini untuk nemanin kamu sampai kamu merasa baikan," ujarku sambil tersenyum. "Oh gitu ya, masuk," jawabnya pelan, sedikit canggung. Baru saja masuk kedalam apartemen mungil itu tiba-tiba aku menangkap satu benda yang sepertinya pernah kulihat sebelumnya, topi merah yang dipakai wanita gambar ponsel suamiku. Astaga ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD