01

1846 Words
10 tahun lalu. Tidak ada bocah yang terlihat bersemangat di lorong tunggu kereta bawah tanah selain bocah perempuan berusia 6 tahun itu. Dami Alan, si bocah perempuan berwajah pucat dengan pasang iris cokelat terang berjalan menjelajahi sekitarnya, terlalu bosan menunggu kedatangan kereta. Ia mengamati setiap calon penumpang yang berbaring berkelompok-kelompok dengan parka-parka besar dan syal tebal yang melapisi tubuh mereka, beberapa tidur nyenyak, beberapa terlihat gelisah. Ia mempelajari mereka. Penciumannya yang sensitif menangkap bau yang berbeda dari kelompok-kelompok yang kesemuanya berdarah panas. Tapi ia tahu beberapa kelompok berbeda jenis. Dan tidak ada yang sama seperti 'dengannya'. Dia tahu karena Jadrian yang mengajarinya akan hal itu. Tentang perbedaan Eksistensi. Lorong tunggu sangat sepi meski calon penumpang membeludak. Hanya terdengar suara nafas dan dengkuran, kadang ada suara igauan dan bersin kecil. Udara dingin yang bersuhu rendah tentu menguras energi setiap makhluk berdarah panas. Mereka meringkuk dalam parka mereka, berdempetan, berpelukan, dan anak-anak bersembunyi di balik parka orang tua mereka seperti bayi kangguru. Ini bukan pertama kalinya bagi Dami berjalan-jalan menggunakan kereta bawah tanah. 'Mereka' bahkan selalu menggunakan kereta bawah tanah. Meski ia tidak suka dengan kereta reyot yang melaju cepat di lorong gelap bawah tanah. Dan tentu saja tidak ada pemandangan yang bisa dilihat dari jendela kereta bawah tanah. Tidak seru. Ia mendengar panggilan namanya melesat di dalam kepalanya. Padahal lorong itu sunyi senyap. Si bocah kecil menoleh, dan tak jauh dari tempatnya berdiri, seorang pria bertubuh ramping yang mengenakan mantel biru gelap tipis, melambai padanya. Ia segera berlari dengan kaki mungilnya, tak menimbulkan suara, melewati kelompok-kelompok yang meringkuk tidur di lantai, mendekati pria itu. Dami memeluk kaki abangnya, Jadrian Alan, meniru cara anak-anak berdarah panas di dalam ruangan sepi itu. Meski sebenarnya ia tidak mengerti tujuan anak-anak itu. Perlu Jadrian untuk menjelaskan kepadanya, jika eksistensi berdarah panas sedang bertahan melawan udara dingin minus celcius dengan memeluk orang tua mereka. Jadrian Alan memiliki warna rambut yang sama dengan Dami, hitam bergelombang, juga sama pucatnya dengan Dami. Namun iris mata Jadrian berwarna hijau, sama dengan yang dimiliki Pa. Pria itu mengelus puncak kepala adiknya. "Kita akan ke North Oak," ujar Jadrian lembut. "Kau ingat kota itu, Dami?" Dami mengerjapkan mata. Tentu saja ia ingat. "Ma dan Pa." Jawabnya lugu. Jadrian masih tersenyum, namun sudut bibirnya sedikit tertarik. "Kita akan tinggal di sana." Dami menunjukkan senyum lebar hingga empat gigi taringnya yang runcing abnormal terlihat. "Ma dan Pa!" ia melengking riang, membuat beberapa orang dari kelompok-kelompok yang sedang meringkuk terbangun kaget. Seketika saja orang-orang itu membelalak ketakutan melihat keduanya yang berdiri tanpa dilapisi parka atau pun pakaian tebal. Jadrian mengamati sesaat orang-orang yang memandangi mereka, seketika orang-orang itu berpaling untuk melanjutkan tidur, seolah melupakan kehadiran Jadrian dan Dami yang beberapa saat lalu mengejutkan mereka. "Ya, tapi di sana sudah tidak ada Ma dan Pa," ucap lembut Sang Abang, mengelus puncak kepala Dami. Dami terdiam, ekspresi cerianya surut, ia memeluk erat sebelah kaki Jadrian. Ia teringat kejadian mengerikan tentang rumahnya, padahal kejadian itu sudah sangat lawas terjadi. Seketika ia merasa takut. "Jangan takut," kata Jadrian. "Di sana kita akan tinggal dengan aman. Tidak ada yang akan menganggu kita." Seorang pria berdehem, begitu saja muncul tanpa suara di sebelah Jadrian. "Keretanya sudah terlambat selama 3 jam," kata pria itu dengan suara bariton rendah. Mata biru gelapnya mengawasi terowongan gelap, sama sekali tidak terlihat tanda-tanda kedatangan kereta. Pria itu adalah kawal Jadrian. Namanya Topaz Garnet. Penampilannya sama-sama santai mengenakan mantel hitam yang kelewat tipis. Namun ketiganya sama sekali tidak terusik dengan suhu udara yang rendah. "Ya," Jadrian menoleh, mengawasi dengan tatapan kasihan pada setiap kelompok calon penumpang yang telah menunggu semalaman di lorong tunggu yang tidak berfasilitas di Stasiun Defour. Kursi tunggu hanya ada beberapa deret dan itu pun sudah reyot dan berkarat. Tidak sepadan dengan calon penumpang yang jumlahnya kelewat batas. Kebanyakan penumpang meringkuk di lantai semen berkeramik yang sudah tua dan kasar, tertempel permanen oleh debu dan goresan tajam. Para Eksistensi itu berusaha semampunya melapisi badan mereka dengan kain-kain tebal yang mereka miliki. "Setelah seabad, akhirnya kami bisa ke sana," gumam Jadrian. "Kau yakin akan ikut dengan kami?" ia menoleh pada pria yang bertubuh lebih tinggi dan berbadan bidang di sebelahnya. Topaz mengangguk. "Mungkin di sana bakalan seru." Ia mengangkat bahu. Terdengar rengekan anak kecil. Topaz menoleh, seketika warna matanya berubah merah menyala. "Kecuali naik kereta yang memuakkan ini," ia mengeluh. "Banyak sekali manusia di sini. Mereka mau kemana sih?" gerutunya. Ia tidak tahan bau manusia meski pun sudah hidup lebih dari 50 tahun menjadi Vampir. Berbeda dengan saudara Alan yang sama sekali tidak terusik dengan bau darah manusia yang begitu merebak menguasai lorong tunggu. Hingga sekarang ia tidak dapat mempelajari jurus jitu keduanya walau pun mereka sudah berkelompok cukup lama. Saudara Alan memang sungguh unik. Siapa saja pasti mengira keduanya adalah Manusia, walau kulit mereka pucat. Dengan mudah keduanya dapat berbaur di kota-kota mayoritas Manusia. Mereka 'jarang' terlihat 'kelaparan'. Sungguh berbeda dengan Topaz yang sensitif dengan bau darah manusia. Apalagi 'sebanyak' ini di stasiun. Terasa getaran kecil dari langit-langit. Lampu-lampu gantung yang sudah redup bergoyang pelan, dan debu-debu tipis berjatuhan. Tidak ada yang menyadari keanehan itu selain Jadrian dan Topaz. Keduanya menengadah ke langit-langit yang kotor dan dipenuhi sarang laba-laba. "Varlas sedang kacau," kata Topaz waspada. "Menurut berita terakhir, Pembasmi akan datang untuk meringkus werewolf yang memberontak. Menurutmu seberapa cepat Pembasmi sampai ke kota ini?" "Entahlah," jawab Jadrian, nada suaranya terdengar cemas. Mereka bertiga sudah tinggal di Varlas selama 7 tahun, lebih lama daripada kota-kota yang pernah mereka tempati. Keadaan di Varlas menjadi kacau sejak tiga bulan yang lalu karena serangan kelompok eksistensi werewolf. Padahal Varlas adalah salah satu Kota Percampuran yang sebelumnya cukup aman. Jadrian memutuskan untuk pergi dari kota ini sebelum kelompok werewolf semakin bertambah ganas. Tentu saja para calon penumpang kereta bawah tanah ini juga memiliki tujuan yang sama dengan mereka untuk pergi menyelamatkan diri dari Varlas. "Menurutku Pembasmi malah akan menambah kacau situasi," komentar Jadrian. "Yahh, mereka bakalan meringkus habis-habisan werewolf, itu kan keinginan mereka?" Topaz mendengus jijik. "Supaya kelihatan menjadi Pahlawan dengan membunuh." Ia melirik arlojinya dengan ekspresi gelisah. "Menurutmu kereta ini kena masalah apa? Ini sudah mau pukul 4 dini hari." Jadrian berharap tidak ada masalah apa pun. Namun dari situasi sangat jelas menunjukkan ada hal yang aneh. Samar-samar mereka mendengar keributan dari atas. Calon penumpang satu-persatu mulai terbangun karena suara-suara itu. Seketika lorong tunggu mulai ricuh. Orang-orang mulai panik. Mereka segera menuntut Petugas tiket yang bersembunyi di balik loket, satu-satunya petugas yang dianggap bertanggung jawab di lorong bawah tanah itu. Baru disadari tidak ada Petugas stasiun lainnya di lorong. Suara-suara mencurigakan semakin terdengar lebih nyaring seolah-olah semakin mendekat. Jadrian bersama Dami dan Topaz telah berpindah ke sudut dalam bayang-bayang, menyembunyikan diri mereka di dalam kepanikan calon penumpang. Si petugas terlihat berusaha menelepon untuk mencari informasi. Riuh dan kacau. Jadrian merasakan Dami semakin erat memegang tangannya, ia tahu Vampir kecilnya ketakutan. "Kita pergi dari sini," Jadrian mengambil keputusan. "Kurasa kereta tidak akan pernah datang." Mereka bertiga bergerak meninggalkan lorong tunggu yang ribut, terdengar suara-suara menuntut, laki-laki dan perempuan, berteriak-teriak panik, hingga suara tangis anak-anak kecil dan bayi. Lalu terdengar suara hembusan nafas keras dari terowongan. Disertasi hentakan keras. "WEREWOLF!" Entah suara siapa, namun informasi itu teralu lambat karena Makhluk jejadian bertubuh besar dan berbulu lebat sudah menyebar, muncul dari terowongan, lalu menerkam orang-orang. Jeritan-jeritan memekakan telinga memenuhi stasiun. Beberapa calon penumpang berubah wujud menjadi makhluk yang sama untuk membela diri, namun hal itu malah semakin bertambah kacau. Lorong terlalu sempit. Manusia lebih banyak. Werewolf dari terowongan juga banyak. Jadrian sebenarnya bisa lari dalam sekejap bersama Dami dan Topaz. Namun lorong dipenuhi makhluk berdarah panas yang mencoba menyelematkan diri. Mereka berdesak-desakan. Tidak ada ruang untuk menembus. Jika pun ia mencoba, ia mungkin akan melukai orang-orang. Di belakang, ia mulai mendengar teriakan Penyihir mengucapkan mantra. Suara mereka melengking-lengking memenuhi lorong bersamaan jeritan dan auman liar para serigala jejadian. Penyihir ikut campur itu artinya keadaan benar-benar buruk. Jadrian menggenggam erat Dami yang terseret dan terhimpit tubuh orang-orang yang lebih besar. Mereka berdua telah berpisah dengan Topaz. Akhirnya ia menarik Dami ke sudut, menghindari desakan namun tidak dapat maju pula. Sementara arus di depan mereka yang berdesakan terus maju dengan lambat menuju pintu keluar satu-satunya. Dalam keriuhan Makhluk berdarah panas, penglihatan abnormal Jadrian menangkap seorang anak laki-laki yang terjatuh. Mungkin seusia Dami. Terinjak-injak dan menangis kesakitan. Namun tidak ada yang menolongnya. Rasa takut membuat orang-orang mengabaikan segalanya. "Dami, tunggu di sini." Perintah Jadrian, kemudian segera menerobos. Ia segera mengangkat anak laki-laki itu. Anak manusia itu berdarah-darah, bau darahnya membuat perut Jadrian bergejolak sekilas. Dan kejadiannya begitu cepat ketika kepalanya sudah dihantamkan ke lantai oleh cakar-cakar tajam. Sementara anak laki-laki itu sudah tidak ada dalam pegangannya. Jadrian terlalu lambat dan si Werewolf terlalu lapar. Si werewolf telah menggigit si anak laki-laki. Seketika Jadrian bangkit, lalu mengerahkan kekuatannya untuk membanting tubuh si werewolf hingga terlempar ke langit-langit. Si werewolf jatuh ambruk dan langit-langit nyaris runtuh karena benturan. Jadrian kembali pada si anak laki-laki yang terbaring di lantai, bahu bocah itu robek bersimbah darah. Air liur lengket dari si werewolf juga ikut membasahi tubuh kecilnya. Pandangan mata bocah kecil itu tidak fokus. "Bawa dia ke sini!" Seseorang memerintah, tanpa pikir panjang Jadrian menuruti perintah laki-laki itu. Jadrian mengangkat hati-hati tubuh si anak laki-laki ke pinggir, mengikuti seorang pria yang menungguinya dengan dua anak laki-laki. Kerumunan sudah mulai lengang. Namun perkelahian masih membabi buta. Lorong tunggu telah menjadi arena perang antara werewolf penumpang dan werewolf yang menyerang, dibantu dengan beberapa Penyihir. Ganas. Mayat-mayat terlihat berserakan, sebagian besar dari kelompok manusia yang malang. "Anak malang," pria itu berjanggut, tubuhnya sangat besar dan mungkin berotot di balik parka yang membungkusnya. Pria itu cukup kelihatan tangkas untuk usianya yang sudah tua. Kedua anak laki-lakinya mengamati dengan ekspresi ketakutan. "Apakah dia akan mati, Yah?" tanya anak laki-laki bermata sayu dan sangat mirip dengan si lelaki tangkas. Satunya yang berambut perak berdiri di belakang, nyaris menangis menahan gemetar. Jadrian mengangkat wajah, memandang si lelaki berjanggut dengan sorotan mata yang menanyakan hal yang sama. Si Lelaki berjanggut itu berdehem. "Mungkin dia bisa selamat," katanya ragu. "Apa kalian lihat dimana orang tuanya?" Jadrian telah menghafal setiap penumpang. Ia mengedarkan pandangan ke sekitarnya, kemudian berpaling. "Ya," suaranya terdengar kering setelah melihat fakta mengerikan. Mayat kedua orang tua si bocah manusia bisa ia temukan tak jauh dari posisi mereka. Si Lelaki berjanggut nampaknya memahami ekspresi Jadrian. "Akan aku coba urus," ia menggerutu. "Dia tidak akan sama lagi setelah ini kan?" Jadrian bertanya, dan menyadari ia kedengaran polos untuk ukuran Vampir berusia seabad. Padahal ia sudah tahu segalanya. Si Lelaki berjanggut mengangkat bahu. "Kalau begitu, aku pergi," Jadrian segera berdiri, tidak ada yang menahannya. Kedua anak laki-laki si lelaki berjanggut diam saja mengamati Jadrian yang melangkah menjauh. Jadrian berjalan menuju posisi dimana ia meninggalkan Dami. Namun Dami sudah tidak berada di sana. "Dami?" Jadrian mengedarkan pandangannya. Tidak, seharusnya Dami masih berada di sini. "Dami?!" ia berteriak memanggil hingga si lelaki tangkas kembali memandangnya dengan ekspresi kaget. "Jade!" Topaz ternyata berada di arena perkelahian dengan para werewolf, menunjuk ke terowongan. "Tidak," Jadrian berdesis tidak percaya, matanya membelalak. Ia segera berlari masuk ke dalam terowongan, mengejar yang kabur, dan mungkin membawa Dami.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD