02

1613 Words
Masa sekarang. Air danau keruh kehijauan, namun menenangkan. Ia memejamkan mata, merasakan tubuhnya rileks. Gerakan partikel air seperti memijit tubuhnya. Hewan-hewan air bergerak melewatinya, sama sekali tidak terganggu dengan makhluk berdarah dingin yang menambah populasi. Ini adalah cara yang tepat untuk merilekskan tubuh. Jadrian bisa saja berjam-jam berada di dalam air, mengambang di tengah-tengah kedalaman danau, tak terusik. Ia bagaikan mayat tenggelam kalau-kalau ada Manusia yang iseng pergi ke danau untuk berenang dan tak sengaja menemukannya. Samar-sama terdengar panggilan dari pemilik suara bariton. Jadrian membuka mata, kemudian berenang naik. Kepalanya lolos dari permukaan air. Topaz sudah berdiri di dermaga, berkacak pinggang, mengamatinya dengan sebelah alis terangkat. Jadrian segera berenang mendekati dermaga, kemudian menaikinya. "Apa?" tanya Jadrian. "Nihil," jawab Topaz. Hari ini adalah jadwal Topaz untuk berkeliling mencari informasi keberadaan Dami. Tapi seperti yang lalu-lalu, sama sekali tidak ada petunjuk yang bisa mengarahkan mereka pada keberadaan Dami. Selalu nihil. Jadrian ingin kembali menyeburkan dirinya ke dalam danau, bermeditasi untuk menenangkan dirinya dari pikiran lelah dan sedih. Apakah sudah saatnya menyerah? Tidak, dia tidak ingin. Tapi sebelas tahun lamanya, melebihi tahun yang biasa mereka gunakan untuk tinggal di satu kota yang berbeda. Sebelas tahun bisa saja banyak hal telah terjadi. Sebelas tahun yang biasanya ia anggap hanya beberapa bulan. Namun kepergian adiknya membuatnya harus menikmati setiap hari dan jam dalam sebelas tahun dengan perasaan sakit yang memuakkan. Sebelas tahun yang tidak sebanding dengan 1 abad. "Kau sudah 'minum' belum?" Topaz bertanya, ternyata mengamati betapa kurusnya tubuh Jadrian, seperti orang berpenyakitan, jauh berbeda dengan sebelas tahun yang lalu. Vampir tentu bisa saja menderita tanpa darah manusia. Mereka akan mengkerut dan menjadi buruk rupa, tapi mereka tidak bisa mati kalau jantung mereka belum ditusuk dengan benda perak. "Tidak nafsu," jawab Jadrian ketus, sambil memandang permukaan danau yang hijau, memantulkan bayangan langit berawan. "Ck," Topaz memutar bola matanya. Ia mungkin tidak bisa mengerti sepenuhnya penderitaan yang dirasakan Jadrian, tapi tentu saja ia muak menghadapi Jadrian yang terus-terusan begini. Mereka masih makhluk hidup walau 'agak aneh' disebut hidup. Tapi mereka tetap membutuhkan asupan energi. Mereka bukan hantu yang katanya hanya berupa partikel endoplasma seperti kabut. Mereka terdiri dari partikel-partikel besar, memiliki sistem organ yang diciptakan untuk bekerja menunjang kehidupan, meski mereka sudah berbeda dari manusia, tetap saja, mereka 'membutuhkan' energi. Dan yang ditakutkan Topaz adalah jika Jadrian sudah benar-benar putus asa. Mungkin Dami sudah benar-benar tidak ada lagi. Maka si kakak mungkin akan memilih mengakhiri hidupnya. Ia mengetahui rencana Jadrian walau ia tidak pernah mendengarnya langsung keluar dari mulut Jadrian. Ia bisa membacanya dari sorot mata Jadrian setiap mereka gagal mendapatkan informasi. Ia merasa kurang ajar karena seperti menunggu Jadrian membuat keputusan untuk mengakhiri hidup. Jadrian masih basah kuyup, juga masih memandangi permukaan danau. Menimbang rencana terakhir untuk mengakhiri hidupnya. Tidak ada gunanya lagi melanjutkan hidup tanpa adiknya. Dulu, mereka dia memang menyesali takdir yang mereka dapatkan. Mereka tidak pernah ingin menjadi Vampir. Namun karena Dami, Jadrian mencoba untuk menerima, maka mereka berdua mencoba menikmati hari-hari kebersamaan mereka, layaknya kakak-adik, hingga tahu-tahu mereka sudah melewati 1 abad. Dunia menjadi ladang bermain bagi Dami yang masih terlalu kecil. Jadrian terbiasa dengan keberadaan sang adik. Keluguan adiknya adalah tujuan untuk hidup. Tanpa adiknya, buat apa dia terus hidup dengan menanggung tubuh dari makhluk menjijikan ini? Angin berdesir, dedaunan pohon berkeresak, permukaan danau tersibak halus karenanya. Bayang-bayang awan di permukaan danau bergerak. Dan aneh. Jadrian menengadah, awan-awan tampak tidak bergerak di langit. Ia kembali memandang permukaan danau, menemukan bayang-bayang awan yang membentuk suatu huruf-huruf. VARLAS. -- Varlas telah berubah semenjak pemberontakan. Hanya butuh satu tahun meringkus pemberontak werewolf, Pembasmi dengan baik mengamankan kota besar tersebut. Kota yang sempat mengalami kehancuran bangkit kembali dengan pesat, dan menjadi kota terbaik yang pernah ada. Sebelas tahun berlalu dan Varlas yang kumuh kini tampak modern. Bangunan tinggi dimana-mana. Jalan-jalan raya raksasa tertata rapi, atas bawah. Namun kota ini berpolusi karena industri semakin meluas. Jadrian menyayangkan sulitnya menemukan langit biru ketika mereka sampai di pusat kota. Seperti ada kabut yang menutupi langit, kabut hasil samping produksi yang selalu menjadi topik untuk berdemonstrasi. Topaz mengemudikan mobil, ia sudah semampunya melajukan chevrolet keluaran 1998 yang ketinggalan jaman diantara mobil-mobil mengkilat di jalan raya. Sementara Jadrian duduk disebelahnya dengan sorot mata gelisah. Topaz tidak mengerti apa yang telah terjadi. Sebelumnya Jadrian tampak melamun memandangi permukaan danau, kemudian tiba-tiba ekspresi si Vampir kurang gizi berubah syok, lalu menyebut Varlas. Varlas adalah kota yang meninggalkan kenangan buruk bagi Jadrian. Selain di Varlas adalah lokasi terakhir Dami yang menghilang, di Varlas pula mereka berdua menjadi terlibat dengan pemberontakan werewolf 11 tahun lalu. Setelah p*********n di terowongan kereta bawah tanah, mereka berdua ditangkap oleh Pembasmi dan dipenjarakan. Mereka membutuhkan waktu yang cukup lama untuk mendapatkan giliran interogasi, dan tidak sembarang interogasi. Pembasmi tentu tidak akan ramah dengan Makhluk berdarah dingin seperti mereka berdua. Padahal Jadrian sudah berusaha melaporkan Dami yang mungkin dibawa pergi oleh kelompok werewolf penyerang, namun tetap saja mereka dianggap tersangka karena mereka bukan manusia. Pembasmi tidak akan peduli dengan kasus hilangnya bocah Vampir. Hal itu tidak masuk dalam list pekerjaan mereka. Kereta bawah tanah Defour telah disulap menjadi bangunan stasiun modern terbesar di dunia. Jumlah penumpang tetap membludak, namun bangunan stasiunnya sudah dibangun ulang. Tidak sama dengan sebelas tahun lalu, bangunan stasiun tidak lagi kumuh dan temaram, malahan terang benderang dengan lantai berkeramik licin yang selalu dipel oleh petugas kebersihan. Fasilitas modern telah mengisi stasiun serta toko-toko makanan telah berjejer, memastikan tidak akan ada orang yang kelaparan selama menunggu kereta. Meski pun sudah dibangun ulang, namun strukturnya tetap sama. Jadrian menghafal persis karena sebagian besar tampaknya petugas arsitek sengaja tidak mengubah beberapa tatanan peron. Ia menuruni tidak sabar eskalator, membiarkan kaki-kakinya melangkah sesuai firasat yang ia miliki. Seketika ia diliputi rasa bersalah kembali. Salahnya karena telah melepaskan tangan mungil Dami. Salahnya karena telah meninggalkan Dami berdiri sendirian. Jadrian terus melangkah menerobos arus orang-orang yang keluar dari stasiun. Hingga akhirnya ia menuju lorong yang ia kenali. Ia berharap melihat sosok kecil yang ia kenali di sana. Sosok mungil berwajah pucat, dengan mata cokelat terang yang akan segera menyambutnya dengan pelukan. Namun di sana hanya berdiri seorang gadis manusia. Di antara kesibukan pengguna stasiun, gadis manusia itu berdiri tepat dimana seharusnya Dami berdiri menurut perkiraan Jadrian. Gadis manusia itu berambut hitam tebal yang berantakan hingga menutupi wajahnya, berdiri dengan kepala tertunduk. Ia mengenakan baju tidur berwarna biru bergambar tokoh kartun kura-kura di balik mantel cokelatnya. Jadrian berdiri di seberang gadis itu, bertanya-tanya mengapa gadis itu berdiri di sana walau ia tahu ia tidak bisa menghakimi siapa saja yang berdiri di sana. Dan kepala gadis itu terangkat, poninya yang panjang nyaris menutupi pasang matanya yang berwarna cokelat terangnya. Kemudian bibir kemerahan gadis itu membuka, melolosan sebuah kata dengan berbisik, namun jelas di telinga Jadrian. "Jade..." -- "Kau yakin...?" Topaz berusaha memahami situasi namun hal ini sungguh tidak masuk akal. Mereka berdua berdiri di bawah bayang-bayang pohon peneduh akasia yang tumbuh subur di taman kota di dekat pintu masuk stasiun Defour. Jadrian berdiri dengan wajah tanpa ekspresi, memandangi seorang gadis manusia berusia 17 tahun, duduk tak jauh dari tempat mereka, masih mengenakan baju tidur dengan mantel cokelat, sedang mengunyah roti lalu menghirup air mineral. Sangat normal. Jadrian menggelengkan kepala, sama tidak percayanya dengan Topaz. Namun dari pandangan pertamanya, ia bisa melihat kemiripan yang nyata antara gadis manusia itu dengan adik kecilnya. Tapi apakah ini mungkin? Bagaimana bisa seorang Vampir berubah menjadi manusia kembali? Hingga sekarang tidak terdengar kabar adanya pengobatan yang dapat merubah kembali para makhluk berdarah dingin menjadi manusia. Hal itu nyaris mustahil. "Aku akan berbicara dengannya," kata Jadrian. Topaz tidak menanggapi dan membiarkan Jadrian melangkah. Gadis itu tersenyum ketika melihat kemunculan Jadrian. Perasaan Jadrian kembali goyah ketika melihat pasang mata berwarna cokelat itu memandangnnya dengan ceria. Sama lugunya dengan yang terakhir ia ingat pada si Vampir kecil. "Dami?" Jadrian memanggil ragu. Gadis itu segera mengangguk, seolah menunjukkan bahwa Dami adalah namanya. Jadrian segera mengambil duduk di sebelah si gadis manusia. Ia mengamati lekat-lekat wajah si gadis manusia yang terasa familiar sekaligus asing baginya. "Kau pasti terkejut," kata Dami. "Apa yang terjadi?" tanya Jadrian. Dami terdiam sesaat. "Aku... tidak ingat apa pun." Jadrian mengerutkan dahi. "Hal terakhir yang aku ingat adalah ketika kau pergi untuk menyelamatkan anak kecil yang terjatuh," kata si gadis manusia. "Itu sebelas tahun yang lalu," ujar Jadrian. "Se...sebelas tahun?" ulang Dami, ia tampak kebingungan. "Ya, kau menghilang selama sebelas tahun." Seketika wajah Dami menjadi kosong. "Apa yang terjadi, Dami?" Jadrian berharap menemukan jawaban. "Kau berubah." Dami menunduk, memandang rotinya yang sudah setengah dalam genggamannya. "Aku tidak ingat apa-apa." Ujarnya. "Tahu-tahu aku sudah di stasiun dan kau berdiri di depanku." Jadrian berpaling, menyandarkan punggungnya pada kursi taman. "Aku mencarimu kemana-mana selama sebelas tahun. Tapi kau menghilang tanpa jejak. Aku nyaris putus asa. Dan hari ini aku melihat semacam pertanda, yang kuduga berasal dari sihir." "Sihir?" ulang Dami. "Sihir itu memberi petunjuk kepadaku untuk pergi ke Varlas. Dan aku tahu ada sesuatu yang akan menjadi petunjuk di Stasiun Defour. Tapi..." Jadrian kembali menoleh pada Dami. "Aku tidak mengerti." Dami membalas tatapan Jadrian dengan ekspresi kosong yang pasrah. Gadis manusia itu benar-benar tidak ingat apa pun. Ekspresi wajahnya kentara cemas, seolah takut Jadrian tidak akan mempercayainya. "Aku..." ia tergagap. "Aku akan mencoba mengingat." Seharusnya Jadrian segera mencegah Dami, karena setelahnya Dami meringis kesakitan sambil memegangi kepala. "Dami...!" Jadrian yang merasa kikuk hanya karena memanggil nama, mendadak cemas. "Kau baik-baik saja?" Dami mengangkat wajahnya, seketika Jadrian merasa fokusnya berubah ketika melihat hidung gadis itu berdarah. Nampaknya Dami terlalu memaksa otaknya untuk bekerja keras, hingga menyebabkan tekanan di kepalanya. Dami menyeka darahnya dengan lengan mantel. Ia menyadari perubahan ekspresi Jadrian. "Aku akan membawamu pulang," kata Jadrian, sorot matanya sayu memandang adiknya. Ia berhasil menepuk puncak kepala Dami. "Mulai sekarang aku benar-benar akan menjagamu."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD