03

1451 Words
Jadrian tidak membangunkan Dami ketika mereka sudah sampai di North Oak, di rumah yang sudah ia tempati selama sepuluh tahun, berdekatan dengan danau hijau dan hutan belantara yang masih asli tak tersentuh tangan-tangan modern. Ia bahkan mengangkat tubuh Dami dari mobil, membawanya masuk ke dalam rumah, lalu menidurkannya di ranjang tanpa membangunkan gadis manusia itu sama sekali. Ia duduk diam di pinggir ranjang, memandangi gadis itu yang tertidur damai. Sesekali ia mengusap rambut gadis itu. Dami bukan lagi Vampir... Melainkan seorang gadis manusia. Seorang remaja yang tidak pernah ada dalam bayangan Jadrian. Setidaknya Dami telah kembali. Jadrian mencoba menyusun kembali pemikirannya yang kacau. Tapi Dami tidak mengingat apa pun selain kenangan masa kecilnya sebagai Vampir bersama Jadrian. Kau tidak bisa memaksa Dami mengingat, kau lihat sendiri gadis itu kesakitan ketika melakukannya. Kau akan bisa mencari tahu nanti. Untuk saat ini, kau harus menerima keadaan Dami. Topaz telah menyelinap masuk tanpa suara, berdiri bersandar di samping jendela yang terbuka. Mereka jarang membuka jendela rumah, dan Vampir berwajah kaku itu kelihatan tidak nyaman dengan rumah yang terang benderang karena sinar matahari sore masuk dari jendela-jendela yang dibiarkan terbuka. "Aku sudah memeriksa kamera pengawas stasiun," Topaz melapor. Sebenarnya ia tidak diperintah siapa pun, namun ia segera melakukan apa saja yang dapat membantu Jadrian. "Dalam rekaman, gadis itu datang lebih dulu dari pada kita ." Ini seperti kembali ke titik nol. Siapa pun yang menculik Dami, orang itu telah mengembalikan Dami ke tempat semula. "Kau yakin dia benar-benar Dami?" Tanya Topaz ragu. "Ya. Aku yakin. Gadis ini adalah adikku. Dami Alan." Jawab Jadrian. "Aku tidak ingin meragukan. Tapi bagaimana mungkin?" Tanya Topaz. "Sihir," kata Jadrian. "Ini ulah Penyihir." Topaz semakin bingung. "Kau yakin?" Jadrian tidak menjawab dan hanya diam sambil memainkan ujung rambut Dami. Topaz mengedikkan bahu, memahami tingkah Jadrian jika sudah tidak ingin berbicara. "Yah... akan kucoba memeriksa area Penyihir di Varlas," dan tanpa menunggu tanggapan dari Jadrian, Topaz telah menghilang begitu saja dalam bayang-bayang sudut kamar. -- Sudah tiga hari berlalu dan dengan cepat keberadaan Dami menjadi hal yang menyenangkan bagi Jadrian. Juga selama tiga hari Topaz tidak pernah berada di rumah, ia membuat kawalnya itu berkeliaran di luar demi informasi yang ia inginkan. Namun ada baiknya tidak ada Topaz di rumah. Jadrian telah melakukan banyak hal yang mungkin akan mendapat cemooh dari Topaz. Tidak hanya jendela-jendela rumah yang selalu terbuka setiap siang hari. Jadrian juga berbelanja untuk menyetok bahan makanan ke dalam kulkas yang selama ini hanya berisi kantong-kantong plastik amber milik Topaz. Ia menyusun isi kulkas dengan terorganisir, mempelajari hal tersebut melalui video-video di situs yang ia temukan di internet. Buah dan sayur-sayuran segar serta daging dan ikan kemasan segar. Memasak sudah menjadi rutinitas Jadrian setiap hari. "Sudah kubilang," Dami turun dari tangga dengan terburu-buru. "Aku bisa membuat sarapanku sendiri," wajahnya merona di pagi hari ketika menemukan Jadrian sedang menata piring dengan berbagai macam makanan. Daging asap, telur, sosis dan kacang merah "Tidak apa-apa, Tuan Putri," Jadrian tersenyum lembut. "Duduklah dan makan sarapanmu." Wajah Dami semakin merona. "Jade... berhentilah..." Pintanya. "Kau akan membuatku menjadi babi." Jadrian malah tersenyum geli. Ia segera duduk di hadapan Dami. "Aku terlalu bosan dengan tidak melakukan apa pun," ujarnya. "Dan kau butuh makanan karena kau adalah manusia sekarang." "Manusia tidak selalu makan banyak," gerutu Dami, tapi dia makan dengan lahap semua yang disiapkan oleh Jadrian. Jadrian hanya tersenyum sambil memandangi adik perempuan tersayangnya. Dami menjadi kikuk ketika menyadari tatapan Jadrian ke arahnya. "Topaz tidak di rumah lagi?" Ia mencoba mencari topik. Jadrian mengangguk. "Dia punya banyak kerjaan." "Oh," Dami mengangguk, tampak berusaha mencoba mengerti. "Apa yang akan kau lakukan hari ini?" tanya Jadrian, dan itu adalah pertanyaan yang selalu ia ajukan setiap pagi pada Dami. Dami mengangkat bahu. "Mungkin melanjutkan membaca semua koleksi bukumu." Jawabnya. "Di North Oak ada perpustakaan tidak?" Jadrian terdiam sesaat sebelum menjawab. "Ya, tentu saja ada." "Wah, aku ingin ke sana." "Tidak." Dami terdiam ketika mendengar larangan Jadrian, mereka saling bertatapan, sama-sama terlihat kaget. "Maksudku..." Jadrian mencoba menjelaskan. "Kurasa kau belum cukup pulih, kau belum bisa pergi keluar. Jika kau mencari suatu buku, mungkin aku bisa mencarikan buku itu di sana." "Oh," Dami mengerjapkan matanya. "Aku merasa sudah sangat sehat," ujarnya pelan, namun sedikit takut untuk berbicara. "Apa aku boleh ke danau di sebelah?" "Dami, kau belum cukup sehat untuk pergi keluar," Jadrian berkata lembut, namun sorot matanya terlihat dingin. Seketika suasana di meja makan menjadi tidak nyaman. "Baiklah." Jadrian bisa melihat ekspresi kecewa di wajah Dami, namun ia tidak ingin Dami menghilang dari pengawasannya lagi. -- Jadrian baru saja kembali ke ruang baca dan tidak menemukan Dami yang seharusnya duduk di sofa. Buku yang dibaca gadis itu masih berserakan di atas sofa. Seketika Jadrian merasa cemas. Ia memandang ke sekitarnya, membaui tubuh gadis manusia itu yang sudah ia hafal dengan baik. Jadrian segera menuruni tangga, menuju ruang tengah dan menemukan pintu balkon terbuka. Ia bisa melihat punggung Dami yang membelakanginya, sedang berdiri di balkon yang tepat menghadap danau hijau. Jadrian tidak segera menegur. Ia melangkah mendekat tanpa suara, mengamati Dami yang sedang menonton anak-anak desa North Oak yang berenang di danau hijau. Dami terlihat tersenyum dan membalas lambaian ketika anak-anak di sana melambai ke arahnya. -- "Hai, Jade." Jadrian duduk di sofa di depan TV, ia menoleh pada Dami yang baru saja menuruni tangga, menyapanya sebentar, kemudian melangkah masuk ke dalam dapur. "Apakah kau akan tidur?" Tegur Jadrian ketika Dami telah keluar dari dapur. Dami segera menghampiri Jadrian, lalu duduk di sebelah si Vampir. "Mungkin?" Jawab Dami. "Kau sedang menonton sesuatu?" Tanyanya karena layar televisi menyala, menampilkan film hitam putih yang tidak berdialog. Film lawas. "Kau ingat film favorit kita berdua?" Tanya Jadrian. Dami mengerjapkan mata. "Tunggu sebentar," ia mencoba mengingat. "Memori Fiery," ujarnya dan Jadrian mengangguk membenarkan. "Jadi kau sedang menontonnya? Kukira rekamannya sudah hilang," kata Dami, memandang takjub ke layar telivisi. "Kau ingat rekaman filmnya pernah hilang?" Tanya Jadrian, cukup kaget dengan ingatan Dami. "Tentu saja. Aku sangat ingat. Kau bilang rekamannya sudah hilang ketika rumah kita diserang Hunter." Dami mengerjapkan mata, ia tampak kaget dengan jawabannya sendiri. Dia benar-benar adikku. Jadrian membatin senang dengan keyakinanannya. Dia ingin menanyakan kejadian di masa lalu tentang serangan Hunter kepada Dami, namun menyadari jika dulu Dami adalah Vampir yang terjebak dalam tubuh anak-anak. Tentu Dami tidak akan mengingat kejadian di masa lalu secara detail. "Aku tiba-tiba merasa rindu untuk menontonnya," kata Dami yang terlihat bersemangat. "Aku sudah tidak ingat bagaimana ceritanya, tapi aku ingat jika aku sangat suka pada tokoh utamanya, Miss Fiery." Mengajak Dami menonton Memori Fiery merupakan ide tak terduga bagi Jadrian. Film lawas hitam putih keluaran 50-60 tahun lalu itu merupakan salah satu film klasik tanpa dialog terbaik sepanjang masa. Namun setelah menontonnya, Jadrian tidak yakin apakah ini adalah ide bagus melihat Dami yang sedang berusaha membersihkan tangisannya. Di masa lalu Dami tidak pernah menangis menonton Memori Fiery. Malahan gadis kecilnya itu selalu bertanya mengapa Fiery selalu terlihat sedih dan sangat ingin membuat Fiery tersenyum. "Maaf," kata Dami. "Aku tidak ingat ceritanya sesedih ini." Ia membuang ingus pada tisu. Sementara Jadrian mengamati si gadis manusia, berusaha mempelajari reaksi baru dari gadis itu yang belum ia kenali. "Bagian mana yang membuatmu sedih?" tanya Jadrian. Dami menjawab tersedu. "Fiery kehilangan orang tuanya," jawabnya. "Itu sedih sekali." Jadrian tersenyum lembut. "Seperti kita berdua kan?" Dami mengangguk. "Selain itu aku terharu karena Fiery memiliki cita-cita," lanjutnya. "Fiery sangat ingin menjadi aktris sampai-sampai dia melupakan cinta pertamanya. Tapi mengapa ada orang yang membuat film seperti ini? Mereka membuat Fiery harus melepaskan salah satu, cita-cita atau cinta pertama. Tapi aku lega karena Fiery memilih cinta pertamanya pada akhirnya. Aku terharu sekali." Jadrian terkagum-kagum mendengar pendapat Dami yang terasa baru baginya. "Apa cita-citamu dulu, Jade?" Pertanyaan itu terlalu mengejutkan bagi Jadrian. Ia tidak pernah mendengar pertanyaan semacam itu diajukan kepadanya lagi. "Entahlah, aku tidak ingat." Jawab Jadrian. "Cinta pertamamu... Apakah kepada Arlene?" Dami kembali bertanya pada hal yang tak terduga. Jadrian tidak segera menjawab. Ia berusaha menata ekspresinya yang diliputi keterkejutan. Ia tidak pernah bermimpi adiknya akan menanyakan banyak hal semacam ini. "Aku sudah melupakan Arlene," Jadrian berbohong, menunjukkan ekspresi datar yang dingin. Namun perasaannya terasa teriris tiap kali wajah gadis itu muncul secara samar-samar dalam ingatannya. Sudah 100 tahun lebih berlalu. Tentu saja ia mulai tidak ingat secara detail wajah Arlene, cinta pertamanya. Jadrian mengelus puncak kepala Dami, menahan diri dari sorot mata cokelat terang yang sangat mirip dengan ayah mereka. "Kau ingin merasakan jatuh cinta?" ia bahkan terkejut dengan pertanyaannya sendiri, ia sedang mencoba memposisikan dirinya sebagai seorang saudara. Dami terdiam, kemudian senyum muncul di wajahnya yang sembab. Ia tampak malu untuk mengakui sementara rona merah telah muncul di pipinya. "Tidak apa-apa," kata Jadrian. "Jatuh cinta itu adalah hal normal bagi manusia." "Benarkah?" Sorot mata Dami semakin berbinar. Jadrian mengangguk, tersenyum lembut. "Ya, normal."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD