Tentang Bibi Susi

1228 Words
Jam menunjukkan pukul 17.50. Tenda dan sejumlah peralatan hajatan perlahan mulai dibereskan. Tetangga sekitar mulai bergabung untuk membantu pekerjaan terakhir Bibi Susi. Dari piring kotor hingga sisa lauk juga nasi prasmanan di jadikan satu. Daripada mubazir, biasanya semua itu akan dibagi kepada tetangga kanan kiri. Tapi mengingat karakter Bibi Susi yang cukup pelit, bukan tidak mungkin kalau nantinya akan diawetkan untuk dirinya sendiri. Kiara sendiri tidak peduli dengan semua itu. Ia menganggap tanggung jawabnya sebagai keponakan sudah selesai. Dengan berakhirnya pesta kecil itu, semua yang berhubungan dengan Bibi Susi juga berakhir. Kiara sudah punya kehidupan sendiri dan tidak perlu lagi merepotkan Bibi Susi dalam hal apapun. Namun hal buruknya adalah ia harus bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Arga bukanlah pelindung baginya. Suaminya itu adalah orang asing. Sampai sekarang, ijab kabul terasa seperti sebuah khayalan belaka. Setiap menghembuskan napas,Kiara hanya ingat kalau ia terikat hukum pernikahan dengan penghutang. Ya, itu adalah Arga sendiri. "Jadi kamu mau langsung pergi? Berapa hari? Maksud Bibi, tidak baik meninggalkan rumah begitu saja. Kamu bisa mulai merencanakan kepindahanmu bersama Arga. Biar Bibi yang urus rumah ini untukmu." Bibi Susi berdehem, meredakan tenggorokannya yang tiba-tiba kering dengan segelas air dingin. Jelas sekali Kiara sedang dibujuk agar meninggalkan rumahnya sendiri. Kalau orang awam, pasti akan tahu ada udang di balik batu. Tapi itu Kiara, gadis naif yang punya pikiran positif. Ia menafsirkan perkataan sang Bibi sebagai kekhawatiran biasa. "Paling cuma dua sampai tiga hari. Arga dan aku harus bicara dulu sebelum tinggal serumah nanti," kata Kiara tersenyum kecil. Begitu riasan tebal khas pengantinnya dihapus, ia kembali menjelma menjadi gadis cupu biasa. Tampilannya bahkan semakin menyedihkan saat bersanding dengan Arga. Bibi Susi bertanya-tanya dalam hati dengan apa Kiara berhasil mendapatkan suami seperti Arga. Secara finansial, lelaki berparas tampan itu jelas tidak kekurangan. Apa hanya atas dasar kasihan? Mengingat tidak ada kemesraan sama sekali antara keduanya. Bibi Susi membuntuti Kiara yang mengemas beberapa helai pakaian juga keperluannya ke dalam tas kecil. Entah kenapa apapun benda kepunyaan Kiara terlihat lusuh sekarang. Mungkin karena semua itu berbanding terbalik dengan apa yang dipakai Arga. Jam mahal juga sepatu kulitnya menandakan kalau ia berasal dari kelas yang berbeda. Saat tuxedonya dilepas pun, aura menariknya masih terpancar. Kaus juga jaket corak army yang membalut tubuh tinggi Arga terlihat bagus-bagus saja. Pasti itu yang dinamakan kekuatan good looking. "Udah itu aja?" tanya Arga saat mendapati Kiara keluar dengan bawaan sedikit. Di ruang tengah itu, ia tengah berbicang ringan dengan Paman Asman. Entah apa yang mereka bicarakan. Dilihat dari raut wajah Arga, ia ingin cepat-cepat pergi dari sana. Hari memang sudah berganti petang, wajar kalau pria itu butuh istirahat setelah seharian menyalami ratusan tamu. Kiara memberi anggukan pelan. Terlihat sekali ia masih ragu untuk pergi bersama. Mata lelah Kiara melirik ke sekeliling rumahnya, berharap kalau ia bisa cepat-cepat pulang lagi. Hal itu tidak luput dari perhatian semua orang. Tetangga yang masih sibuk mondar-mandir bahkan sempat berseloroh kalau pengantin baru sudah saatnya menikmati bulan madu. Sekarang bukan hanya Kiara, Arga ikut canggung lantaran menahan malu. Tak lama kemudian, setelah berpamitan pada Bibi Susi dan Paman Arman, ia kemudian memberi isyarat pada Kiara agar segera mengikutinya keluar. Ia benar-benar tidak punya banyak waktu untuk menyelesaikan tulisannya. Tanpa banyak keluhan lagi, Kiara naik sembari memakai helm yang sempat diambil Arga di jok belakang motor. Tak butuh waktu lama, mereka sudah melaju pergi, menembus sempitnya gang dengan kecepatan normal. Tapi begitu keluar dan berada di jalan besar, Arga langsung menambah kecepatan. Tindakan yang tiba-tiba itu membuat Kiara tersentak maju. Otomatis, tubuh bagian depan Kiara menghantam punggung Arga. Gerakan tak terduganya berbuah jeritan keras. Kiara malu sekali karena harus bersentuhan dengan Arga dengan cara menyebalkan. Entah kenapa, ia curiga kalau Arga sengaja melakukannya. Padahal Arga ikut terkejut. Ia hampir saja kehilangan konsentrasinya karena gerakan mendadak itu. Untung saja, mereka kemudian terjebak lampu merah. Jadi Kiara bisa segera memperbaiki posisi duduknya. Jangan tanyakan bagaimana jengahnya mereka. Punggung lebar Arga benar-benar membuat wajah Kiara merona merah. Bisa-bisanya aku memeluknya tadi, batin Kiara mengutuk jantungnya sendiri. Sedang Arga hanya diam, mengeratkan tangannya pada stang motor. Mata pria itu sedikit menajam, sadar kalau ia terganggu dengan kejadian tadi. Aneh bukan? Mereka sudah menikah dan tidak ada yang salah dengan skinkip. Ya, walaupun itu hanya formalitas belaka, tapi tidak ada perjanjian hukum kalau Arga tidak berhak atas diri Kiara. * Sementara itu di rumah mereka, Bibi Susi nampak tengah asyik menghitung jumlah sumbangan para tamu. Di sampingnya, sang suami hanya diam. Ia merasa tindakan istrinya membongkar hak milik Kiara adalah perbuatan keliru. Selama lima tahun Kiara bekerja, gadis itu rutin memberi mereka seperempat gajinya. Tapi semua itu sepertinya tidak dianggap cukup oleh Bibi Susi. Ia merasa semua beban atas perawatan Kiara sejak kecil belum bisa dibandingkan dengan uang-uang itu. Rangga, putra semata wayang Bibi Susi butuh lebih banyak uang untuk biaya kuliahnya di luar negeri. Jadi, mau tak mau, ia ingin agar Kiara juga berbagi beban finansial itu dengannya. Meski terdengar tidak tahu malu, tapi tidak ada yang bisa dilakukan. Paman Asman hanya penjual sembako di warung kecil. Memang dulu, penghasilan keluarga mereka lumayan, tapi semenjak perusahaan retail banyak berdiri, usaha lama itu mengalami banyak kemunduran. Apalagi kalau ada yang kas bon tapi lama bayar, tentu saja uang tidak akan berputar dan berakhir macet. "Pak, akhir tahun ini Rangga pulang. Katanya ia ingin menghabiskan libur di rumah." Bibi Susi bergumam sambil menatap senang pada lembaran uang di tangannya. Jumlah sumbangan ternyata melebihi anggaran awal. Jadi Bibi Susi bisa mengambil lebih banyak sebelum diserahkan pada Kiara besok. "Seharusnya tahun ini dia sudah wisuda." Paman Asman menggeleng kecewa. Rangga beberapa kali cuti kuliah dengan alasan kekurangan uang. Padahal tiap bulan, tidak pernah sekalipun mereka telat mentrasfer. Bahkan tidak terhitung Kiara merogoh tabungannya untuk menuruti keinginan mendadak Rangga. Paman Asman malu, tapi sadar kalau semua itu karena ia tidak bisa diandalkan seperti dulu. "Setelah aku pikir-pikir, rumah ini baiknya dijual saja. Kan lumayan kalau kita dapat bagian dari Kiara. Bisa buat modal warung dan beli perabotan rumah yang sudah tua," kata Bibi Susi tersenyum lebar. Wanita itu bahkan menatap sekeliling dengan antusias, seakan melihat masa depan cerahnya di sana. "Jangan melebihi batas. Kamu tahu kan? Kita sudah cukup banyak mengambil hak Kiara. Bagaimana kalau Kiara sampai tahu kita mendapat asuransi atas kematian orang tuanya? Kita bisa dapat masalah besar nanti," ucap Paman Asman khawatir. Jumlahnya pun tidak sedikit. Bisa jadi mereka akan digugat secara hukum karena menyalahgunakan hak anak di bawah umur. Bibi Susi mendelik, kesal dengan semua peringatan kosong dari mulut sang suami. Ia melakukan semua itu demi keluarga, demi Rangga. Jadi, rasanya tidak pas kalau ia dipojokkan sendiri. Tapi mengungkit kekurangan suami, membuatnya malu dengan dirinya sendiri. "Pak, jangan bicara lagi. Aku sudah kenyang dengan semua perkataanmu. Lagipula rumah ini hak dari kakakku. Ibu kandung Kiara tidak ada hubungannya dengan semua ini. Apa aku harus mengungkitnya? Selama Mbak Welas hidup, ia hanya sakit-sakitan dan rumah ini adalah hasil kerja Mas Tama sendiri." Bibi Susi mendelik dengan ucapannya yang berapi-api. Ia memang tidak suka kakak iparnya itu karena selalu merepotkan. Baik secara finansial maupun mental, Ibu Kiara sangat membebani keluarganya dulu. Jadi, begitu Kiara dewasa, Bibi Susi terkesan memaksa Kiara untuk menebusnya. "Aku mau tidur, ngantuk." Bibi Susi dengan segera berdiri, mengambil sisa kotak sumbangan ke kamarnya. Besok, ia berencana menghitungnya lagi. Suara bujukan dari mulut suaminya tidak lagi digublis. Buat apa? jika menyuruhnya berhenti tanpa memberi solusi, itu sama saja dengan orang yang tidak bertanggung jawab.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD