Apartemen Arga

1218 Words
Demi menyambut kedatangan Kiara di rumah, Arga mengubah susunan kamar di apartemennya. Ia mengeluarkan biaya yang cukup besar untuk menyewa tukang agar membuat ruangan lagi di dekat balkon. Arga bisa melakukan apapun karena dia bukan penyewa, melainkan pemilik. Beberapa bulan lalu, penjualan bukunya cukup bagus, jadi ia tidak menyia-nyiakan kesempatan itu untuk membeli properti. Keputusannya setahun lalu ternyata tidak sia-sia. Orang memang tidak pernah bisa memprediksi masa depannya sendiri. Andai finansial Arga tidak sebagus itu, pasti ia tidak mungkin membantu dan menjadikan Kiara sebagai istrinya. Dari hidup sendiri dan kesepian, kini ia berharap memberikan sedikit warna. Paling tidak kalau ada Kiara, ia terlihat lebih normal. Tidak akan gunjingan sosial dari orang sekitar. Percayalah, meski jarang bersosialisasi, Arga tetap tidak suka jadi bahan pembicaraan. "Kamarmu ada di sana. Maaf,aku belum sempat membereskan semua," kata Arga sesaat setelah mereka masuk. Hal pertama yang dirasakan Kiara saat melihat isi apartemen Arga adalah rapi dan bersih. Ia pikir, pria lajang lebih sibuk memikirkan pekerjaannya ketimbang mengurus rumah. Tapi Arga ternyata berbeda dari yang lainnya. Ia terlihat sedikit perfeksionis karena tidak membiarkan satu bendapun berserak di lantai. Membayangkan hidup dengan orang rapi, Kiara langsung tertekan. Ia tipe wanita yang menikmati waktu bersantai daripada harus ini dan itu. "Kenapa? Kalau haus,ambil saja di dapur." Arga menunjuk lemari pendingin besar yang berada di dekat microwave. Ia tidak tahu apa yang tengah Kiara pikirkan. Tapi pekerjaannya tengah menunggu, jadi tidak ada waktu untuk mengobrol. Kiara mengangguk, memutuskan untuk lebih dulu menuju kamar yang sempat ditunjuk Arga tadi. Ada tiga ruangan, yang paling dekat dengan ruang tamu adalah milik Arga, ruang kerja lalu punya Kiara.Praktis, kamar mereka punya jarak cukup jauh. Entah itu melegakan atau bagaimana, Kiara merasa asing hingga tidak mengenali perasaannya sendiri. Hubungan mereka masih sangat baru ditambah adaptasi mendadak. Siapa yang bisa langsung terbiasa? Sosok Arga dan tempat tinggalnya sama halnya dengan syok terapi. Masih mending kalau tetangga baru, ini suami! Fantasi tentang keakraban mereka semasa kecil lenyap tanpa sisa. Kiara menutup pintu kamar, merebah di ranjang sembari menatap langit-langit di atasnya. Bau cat juga seprai baru masih tercium, tanda kalau Arga menyiapkan segala sesuatunya dengan baik. Tubuhnya yang lelah masih sempat mengingat kumpulan moment di hari pernikahannya tadi. Ya, Kiara bahkan belum bisa percaya dengan apa yang terjadi dalam hidupnya. Sembari melamun, Kiara tanpa sadar terlelap, membawa jutaan kekosongan dalam hatinya ke dalam alam bawah sadar. Tahu-tahu saat membuka mata, hari sudah pagi. Cahaya hangat dari celah jendela dekat balkon, berhasil membangunkan Kiara dari tidur panjang. Mungkin karena terlalu lelah, ia sampai lupa kalau tengah berada di tempat asing. Pintu kamarpun bahkan lupa dikunci. "Sudah bangun?"tanya Arga saat Kiara menemuinya di pintu dapur. Wajah kucel juga mengantuknya belum juga terhapus meski sudah membasuhnya di kamar mandi. Tapi pandangan Arga bukan tertuju pada itu, ia justru ingin tahu bagaimana suasana hati Kiara. Mereka harus menyesuaikan diri satu sama lain. Terlepas dari hubungan tidak biasa mereka, pernikahan tetaplah pernikahan. Tidak ada salahnya mereka saling mengenal. "Maaf, aku terlalu lelah, jadi...," ucap Kiara tidak enak. Ia tidak yakin bisa duduk dan memakan sarapan yang diberikan Arga padanya. Kiara merasa dirinya tidak tahu cara menempatkan diri. Seharusnya ia bangun lebih awal untuk menyiapkan makan pagi. Tapi lihatlah, ia malah berlaku seperti tuan rumah. "Duduk, jangan merasa canggung. Kita akan tinggal bersama untuk waktu yang lama. Kalau tidak lekas membiasakan diri denganku,bisa-bisa kamu tidak betah." Arga menyuruh Kiara untuk mengambil kursi tepat di depannya. Berbeda jauh dengan usianya, Arga justru lebih tenang dan dewasa. Sedang Kiara yang dua tahun lebih tua, masih gugup dan bingung bagaimana cara mengatakan hal yang diinginkannya. Kiara cenderung malu dan kaku. "Kurasa kita harus bicara banyak hal tentang pernikahan. Maksudku, lebih baik kita membuat perjanjian, hitam di atas putih." Kiara bergumam ragu. Ia sengaja tidak menatap Arga secara langsung. Selain jengah, Kiara terus merasa asing dan belum bisa menerima kalau fisik seseorang bisa berubah sedrastis itu. Waktu masih SMP, Kiara pernah mendengar dari seseorang kalau Arga masih gemuk dan hitam.Karena itu, Kiara yakin kalau menerima pinangan Arga bukanlah kesalahan. Bersama dengan orang yang bernasib sama bisa menyembuhkan. Tapi semua akan berbeda saat pasangan kita jauh lebih unggul. Selain merasa tidak pantas, peluang direndahkan makin lebih besar dan buruk. "Aku tidak punya rencana untuk menulis kontrak atau semacamnya denganmu," kata Arga sembari mengunyah nasi goreng dalam mulutnya. Wajah yang semula datar dan biasa, berubah sedikit masam. Jelas, ia tidak menyukai pembicaraan seperti itu. "Maksudnya? Aku pikir kita bisa berpisah kalau aku sudah bisa mencari solusi untuk masalah finansialku," kata Kiara terkejut. Ia kemudian mencoba mengingat-ingat pembicaraan mereka sebelumnya. Kalau dipikir-pikir, Arga memang tidak pernah memperjelas tentang hubungan macam apa yang akan mereka jalani. Tiba-tiba saja wajah Kiara memucat, merasa dijebak. "Kii, aku nggak sebaik itu. Siapa yang mau menyandang status duda? Apalagi aku sudah banyak mengeluarkan biaya juga tenaga untuk menikahimu. Tidak mungkin ada laki-laki yang bersedia diceraikan karena hanya mau membantu. Please, jangan terlalu naif!" ucap Arga menaruh sendok ke atas piringnya yang masih penuh. Napsu makannya seketika hilang karena semua pengorbanannya dianggap sepele. Kiara tertegun, tidak menyangka kalau permintaannya malah menyinggung. Ia benar-benar tidak paham jalan pikiran Arga dalam menyikapi hubungan mereka. Sekalipun pernah menanyakan alasan kenapa Arga bersedia menikahinya,tetap saja jawaban kosong yang Kiara dapat. Orang macam apa yang menikah lantaran kesepian? Arga masih terlalu muda untuk punya alasan seperti itu. Lihatlah dia, sekali kedipan,akan banyak gadis yang rela mengantri. "Kita bahas masalah ini lain kali, aku harus pergi kerja. Tidak masalah kalau kamu juga mau keluar, tapi tetap pulang ke sini. Mulai sekarang, ini adalah rumahmu. Suka atau tidak, hadapilah kenyataan kalau kamu bukan wanita lajang." Arga kemudian berlalu, menaruh sisa makanannya di tempat cuci piring. Ia terlihat sangat serius dan berharap Kiara tidak akan membantahnya. Pekerjaan sudah membuatnya sulit, jangan masalah rumah menambah bebannya lagi. Untung saja, Kiara cepat tanggap dan mengerti situasi. Gadis itu terdiam, melanjutkan makan tanpa bicara lagi. Ekor matanya menangkap bayangan Arga yang masuk ke kamar kemudian tak lama, kembali keluar dengan tampilan berbeda. Kiara tidak yakin apa ia harus bertanya tentang pekerjaan Arga, tapi rasa penasarannya berakhir ia telan dalam-dalam. Cara berpakaian Arga sangat sulit diterima akal.Biasanya, orang akan berpenampilan serapi dan sebagus mungkin, tapi Arga justru menutupi seluruh kelebihannya itu. Tubuh tinggi dan paras bagusnya tenggelam dalam jaket kumal dankaca mata tebal. Entah apa tujuannya, tapi hal itu justru terlihat jauh lebih manusiawi bagi Kiara. Anggap Kiara gila, tapi itulah suami impiannya. Tidak semua yang good looking mendebarkan. Lelaki yang menunjukkan sedikit kekurangan adalah hal paling pantas. Namun, sayangnya, itu bukanlah Arga yang sebenarnya. Saat bangun tadi, sosoknya bahkan tidak perlu menyisir rambut atau melakukan apapun untuk terlihat mempesona. Topeng buruk untuk menutupi bagian terbagus. Biar apa? "Jangan heran, aku selalu seperti ini di luar," ucap Arga mencoba menjawab tatapan penasaran Kiara padanya. Cepat atau lambat Kiara akan tahu alasan di balik semua itu. Kesalahan terbesarnya kemarin adalah saat terburu-buru dan keluar dengan tuxedo. Perhatian adalah hal yang cukup memuakkan. Di apartemen lama, Arga tidak tenang karena banyak wanita yang sengaja menebar perhatian. Namun, keadaan sudah berbeda sekarang. Arga sudah punya tameng bernama Kiara. Hubungan mereka sudah lebih dari cukup untuk mendepak jenis gangguan seperti itu. Selain menjadikan Kiara teman hidup, ia juga bisa mengubah pandangannya orang padanya. Setali tiga uang bukan? Kiara berkedip, sadar kalau Arga tidak mudah untuk dihadapi. Apa ini yang dinamakan keluar dari mulut buaya masuk ke mulut singa?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD