Keputusan sulit

1226 Words
Arga mengambil seloyang kecil pizza yang baru saja ia panaskan dari dalam microwave. Aromanya memang masih enak, tapi'karena sisa tadi siang, teksturnya sedikit keras. Arga butuh segelas air untuk menelan setiap potongnya. Ini adalah kali ketiga ia menyantap makanan cepat saji. Kalau saja tidak diburu deadline, makanan rumahan lebih baik dari apapun. "Aku hampir selesai, jangan cerewet bisa nggak?" kata Arga ketus pada editornya di seberang. Sejak tadi ponselnya terus berdering. Sebenarnya ia biasa mematikan ponsel. Tapi karena khawatir Kiara akan menghubunginya sewaktu-waktu, Arga memutuskan untuk tidak melakukannya. Sekarang karena itu, ia malah dipantau setiap satu jam oleh editor. Konsentrasi Arga jadi terpecah dan moodnya berubah buruk. Ditambah sudah lewat tiga hari, jadi ada kemungkinan tawaran itu ditolak Kiara. Setengah jam kemudian, ponselnya kembali berdering. Hilang sudah kesabaran Arga. Tanpa melihat si penelepon, ia langsung melempar ucapan kesal. Menulis butuh rileks juga konsentrasi, seharusnya sebagai editor, Arga diberikan ruang untuk sendiri. "Ga? Maaf, kamu sibuk ya?" Suara mungil Kiara terdengar penuh sesal dari seberang. Arga langsung gelagapan, merasa ceroboh karena tidak memeriksanya lebih dulu. "Ah, nggak kok. Tadi aku kira orang lain. Ada apa? kamu seharusnya kirim pesan dulu tadi," kata Arga menghembuskan napas panjang. Ini adalah kali pertama mereka saling bicara setelah hampir sepuluh tahun lebih tidak bersua. Tidak hanya Kiara, Arga sendiri merasa tidak nyaman. Meski mereka sering berbalas pesan, menghadapi langsung dengan suara, serasa sangat berbeda. "Aku menelepon untuk bicara tentang tawaranmu kemarin," kata Kiara dengan sedikit terbata. Arga terdiam, mencoba menyiapkan hatinya. Selama tiga hari terakhir, ia pikir Kiara tidak akan pernah menyinggung tentang lamaran itu lagi. Selain terdengar tidak masuk akal, pernikahan yang Arga tawarkan cukup mendadak dan asal-asalan. Seserius apapun, tidak seharusnya hal sakral seperti itu diucapkan secara tiba-tiba. "Bagaimana? Kamu sudah memikirkannya?" tanya Arga penasaran. Kiara sesaat terdiam, masih ragu dengan keputusan yang sebenarnya sudah ia siapkan sejak tadi. "Kita ketemu dulu, bisa?" pinta Kiara kemudian. Ia merasa tidak pantas membicarakan hal penting hanya lewat sambungan telepon. Kiara ingin membuat dirinya lega dengan keputusannya untuk memilih Arga. Tidak bisa dipungkiri, masalah Marten kemarin, cukup menyisakan trauma akan laki-laki. "Untuk apa? Kamu tidak percaya padaku?" tebak Arga mengernyit, merasa sedikit tersinggung. Meski permintaan Kiara itu tergolong masuk akal, tapi tetap saja Arga keberatan. Sekali lagi, ia ingin Kiara mengingatnya sebagai bocah kecil gendut. Arga bosan dinilai sebatas fisik dan uang. "Kalau tidak suka, kamu hanya perlu meyakinkan aku saja. Tadi pagi, Bibiku datang dan meminta agar aku menikah dengan orang lain." Kiara terdengar mengeluh, bosan dengan masalah hidup. "Lantas, kenapa kamu menolak? Pasti pria yang dipilihkan oleh Bibimu itu mampu membantumu secara finansial." Arga bergumam tenang, padahal dalam hatinya, ia juga cukup terkejut karena ada pria lain yang berpotensi mendahuluinya. "Dia punya rekam jejak buruk dengan perempuan." Kiara tahu, terlalu egois menilai seseorang dari masa lalu, tapi perasaannya tidak bisa diabaikan begitu saja. Daripada menikah dengan pria yang bermasalah dengan hubungan, lebih baik ia memilih Arga. Setidaknya Kiara masih punya kesempatan untuk bebas dari kekangan Bibinya. "Jadi, bisakah kita bertemu?" Kiara kembali melontarkan bujukan. Semua itu agar keraguannya benar-benar bisa hilang. Arga termenung, tidak segera menyahut. Ajakan itu terlalu mendadak dan di luar dugaannya. Ia hanya ingin menemui Kiara saat pernikahan agar nantinya gadis itu tidak berubah pikiran. Tapi apa boleh buat, nampaknya Arga harus mencari jalan lain agar ia kecurigaan padanya hilang. "Aku sedang ada di luar kota karena pekerjaanku. Bagaimana kalau aku melunasi sisa pembayarannya lebih dulu?" Arga mencoba mengalihkan perhatian Kiara. "Ta-tapi tujuanku menemuimu bukan karena itu," kata Kiara terbata. Ia sadar betul kalau posisinya tidak berhak menuntut. Mengharapkan seorang pria tiba-tiba mengerti adalah hal mustahil. "Tidak masalah.Kirimkan nomor rekeningmu, aku akan mengurusnya. Itupun kalau kamu setuju dengan tawaranku kemarin."Arga terkesan menekan, agar gadis itu mau memberitahu keputusannya. "Padahal aku hanya ingin bertemu. Bukannya aneh kalau kita memutuskan menikah hanya lewat telepon?" Kiara lagi-lagi memberi alasan. Arga menghembuskan napas panjang,"tergantung kamu melihatnya dari sudut mana. Kita sudah saling kenal dan tidak ada alasan untuk saling curiga. Sekarang terserah padamu, ingin memberiku kesempatan atau tidak." "Maksudnya?" "Nomor rekeningmu, seperti kataku tadi. Aku sedang ada di luar kota hingga minggu depan.Mengingat waktunya, aku tahu kalau ini adalah hari terakhir pelunasan." Arga mengetuk meja di depannya tidak sabar. "Baiklah kalau itu maumu, aku akan mengirimnya. Jujur saja aku hanya takut kamu akan menyesal karena waktu sudah banyak merubahku, terutama dalam hal penampilan," kata Kiara diam-diam menatap bayangan kusamnya di pantulan cermin. Bukan karena ia tidak mau merawat diri, tapi Kiara belum terbiasa melakukannya saja. Terakhir saat ia mencoba lipstik, warnanya tidak cocok dan malah memperburuk penampilan. Sejak itu, Kiara kapok berdandan. Wajah teman sekantornya yang menahan geli membuat luka hati. "Tenang saja, aku tidak menikahimu karena kamu cantik." Arga bergumam spontan. Jika ada pepatah yang mengatakan lelaki akan lebih memilih wanita cantik daripada pintar, sudah pasti Arga bukan salah satunya. Ia punya alasan sendiri kenapa menjatuhkan pilihannya pada Kiara. Yang jelas bukan untuk dijadikan teman tidur atau pendamping hidup seperti pasangan normal. "Ah, baiklah." Kiara menelan kebingungannya, takut untuk bertanya lebih jauh. Sesaat kemudian, tanpa banyak basa-basi, ia memilih untuk mengakhiri panggilan itu lebih dulu. Suasana di antara mereka serasa kaku. Jadi lebih baik kalau Kiara melanjutkan obrolan itu via chat saja. Kini setelah panggilannya berakhir, hatinya mendadak kosong. Arga kemudian menatap pizza yang sudah kembali dingin itu dengan perasaan kacau. Boleh dibilang, mood menulisnya lenyap gara-gara memikirkan masalah pernikahan. Di saat yang sama, suasana hati Kiara pun tidak jauh berbereda. Gadis itu mengetik nomor rekeningnya dengan penuh keraguan, takut kalau keputusannya akan berakhir dengan penyesalan. Namun, ia tidak punya pilihan lain yang lebih baik. Sudah jelas hanya Arga yang bisa membantu masalahnya sekarang. * Dua hari sebelum pernikahan. Siang itu, Kiara kembali mengirimi Arga sebuah foto tuxedo. Berbeda dengan kemarin, ukuran hari ini terlihat lebih elegan. Sesaat setelah melihat detilnya lewat video singkat, Arga akhirnya setuju. Namun meski jarak antara butik dan tempat tinggalnya tidak terlalu jauh, ia tetap bertahan untuk tidak bertemu. "Gimana Mbak?" tanya pelayan butik menatap Kiara ragu. Sepanjang karirnya bekerja, baru sekarang pengantin pria tidak ikut hadir saat fitting. Ia takut saja kalau ukuran yang mereka tawarkan tidak sesuai. Hal itu secara tidak langsung berpengaruh juga dengan reputasi butik mereka nanti. "Ini saja Mbak." Kiara menggaruk puncak kepalanya tidak yakin. Ia selalu membayangkan kalau tubuh Arga masih gendut, jadi ukuran yang baru saja dipilihpun jelas terlalu kecil. Bagaimana kalau tidak muat? Mubazir juga kan? "Yakin, Mbak?Nggak akan ganti lagi kan? Habisnya, fitting baju itu penting banget. Salah sedikit saja, kita nggak bisa bantu nanti." Pelayan itu jelas ikut khawatir. Kiara kehilangan kata-kata, merasa ambigu dengan keadaan itu. "Gini aja deh. Hubungi calon suaminya, minta kirim detil lebar bahu, panjang tangan dan berat badan terakhir. Kemungkinan kalau ukurannya akurat, tidak akan ada kesalahan " Ia kembali melempar bujukan agar Kiara menuruti sarannya. Kali ini Kiara setuju saja. Tanpa pemberitahuan lewat pesan, ia langsung menelepon Arga. Pria itu boleh saja menolak bertemu, tapi jangan sampai gara-gara baju , pernikahan mereka berantakan. Setelah dua kali panggilannya ditolak, Kiara terpaksa mengirimi Arga pesan. Beruntung, Kiara tidak perlu membujuk Arga terlalu lama. Pesan balasan langsung berisi hal yang diminta. Namun, Arga kembali memperingatkan Kiara agar tidak menghubunginya lewat sambungan telepon, katanya ia sedang bekerja. Kiara menghembuskan napas lega kemudian mengulurkan ponselnya agar pegawai butik segera mencari tuxedo dengan ukuran paling mendekati. Masalah baju dan hal-hal lain sudah selesai, tinggal menanti besok sembari berharap kalau keputusan nekadnya tidak berbuah penyesalan panjang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD