Hari pernikahan

1388 Words
Tenda panjang melintang sudah didirikan sejak kemarin siang. Puluhan tetangga kompleks sudah berdatangan sejak subuh untuk membantu beberapa petugas katering saat menata meja. Maklum, karena lokasi pernikahan dihelat dekat pemukiman, beberapa warga sekitar akhirnya dilibatkan. Bibi Ratna mengambil seluruh kendali. Baik itu keuangan hingga dekorasi. Rencana awal untuk menyewa gedung terpaksa dibatalkan. Selain karena mahal, sisa uang yang Arga berikan harus kembali diputar untuk menambal beberapa kekurangan biaya lain. Ya, Kiara tidak mau kalau harus membebankan semuanya lagi. Walaupun pada akhirnya ia sendiri repot karena harus memberitahu semua undangan kalau tempat resepsinya berpindah. Namun, itu lebih baik daripada harus berhutang ke tempat lain lagi. Nantinya setelah pernikahan selesai, Kiara bisa mencari cara lain untuk mengambil sertifikat rumahnya lagi. "Calon pengantinmu belum datang?" tanya Bibi Ratna menerobos masuk, menghampiri Kiara yang tengah sarapan sebelum dirias. Gadis itu langsung nampak tertekan, hingga susah menelan makanannya. Sejak kemarin, sang Bibi terus bertanya tentang Arga belasan kali. Padahal dokumen juga keperluan pernikahan sudah diberikan ke KUA kemarin. Apalagi yang diributkan? Mahar pun tanpa Kiara minta diberikan oleh Arga. Jumlahnya pun cukup banyak, sampai-sampai Kiara tidak enak sendiri. "Mungkin datangnya akan sedikit telat nanti. Aku kan sudah cerita kemarin kalau Arga sedang di luar kota," kata Kiara cepat-cepat menghabiskan tehnya dalam dua kali tegukan. Sebentar lagi perias akan segera datang , jadi ia harus segera mempersiapkan diri. Jawaban itu tak lantas membuat sang Bibi lega, ia kembali mengecek ponselnya dan berharap pesannya dibalas Arga. Tapi, ponsel pria itu nampaknya mati. Entah karena terganggu atau memang karena ada alasan lain, Arga jelas tidak suka dipertanyakan terus menerus. Ia merasa sudah cukup dalam memperlihatkan keseriusannya. "Awas saja kalau dia tidak datang," gerutu Bibi Ratna dengan napas menghentak kesal. Ia kemudian menyerah, duduk di kursi lain sembari terus mengomel sendiri. Kiara menghembuskan napas panjang, menatap jam di layar ponselnya. Pesan terakhirnya juga belum dilihat oleh Arga. Kemungkinan besar, ponsel pria itu memang mati. Mendadak Kiara ikut gelisah dan terpengaruh dengan suasana hati sang Bibi. Sesaat kemudian, rombongan MUA masuk, membawa sekoper kecil peralatan make up juga gaun pengantin. Sedang tuxedo yang dipilih Arga tidak ada. Kiara langsung berdiri, memeriksa kalau-kalau ia salah lihat. "Ah, iya. Tuxedonya sudah diambil sendiri oleh pengantin pria kemarin." MUA itu tersenyum tipis, menenangkan Kiara yang nampak terkejut. Kiara speechless, sadar kalau sudah dibohongi."Anda yakin? Itu dia?" "Iya, benar. Dia datang sendiri untuk fitting,nomornya sama dengan yang diberikan Anda pada kami kemarin." MUA itu terus mengulas senyum, seperti mengingat hal baik. Dalam diam, Kiara mengutuk dirinya sendiri karena gampang percaya dengan ucapan Arga. Apa sebenarnya tujuan Arga terus menolak bertemu dengannya?Apa pernikahan itu dianggapnya lelucon? "Bisa kita mulai? Silahkan sebelumnya ganti baju dulu." Kiara terpaksa mengenyahkan pikiran buruknya lalu buru-buru berdiri untuk memakai gaun. Sedang dari tempatnya duduk, Bibi Ratna mengelus d**a, lagi-lagi kesal dengan sifat Kiara yang mudah diperdaya. Calon pengantin mana yang fitting baju sendiri-sendiri? Di tempat lain, sosok tinggi Arga belum beranjak bangun dari tidurnya. Suara alarm dari ponselnya tidak mampu membuatnya terjaga. Ia terlalu lelah menyelesaikan deadline yang tidak kunjung berakhir. Gara-gara itu juga, Arga harus lembur dan kurang istirahat. Di hari pentingnya, Arga tidak berhasil mengatur waktu dan berakhir terlambat. Sambil menggosok kelopak matanya yang masih berat, akhirnya sosoknya bangun. Meraih handuk lalu menuju kamar mandi terburu-buru. Tidak ada waktu untuk menyalahkan diri sendiri. Bisa saja, pernikahan itu terancam kacau kalau ia tidak segera datang. Setengah jam kemudian, Arga sudah siap dengan tuxedo dan sekotak cincin yang dibelinya secara online. Meski terlihat cuek dan tidak pedulian, ia tetap harus melakukan segalanya dengan baik. Segala hal yang berkaitan dengannya, harus berakhir dengan sempurna. Di pintu lift menuju tempat parkir, Arga menjadi pusat perhatian. Wajar, gaya pakaiannya sangat mencolok, tuxedo juga setangkai bunga di selipan saku sudah menjelaskan kalau semua itu adalah atribut pengantin pria. Ditambah pomade juga minyak wangi. Biasanya para tetangga mengenalnya sebagai sosok kutu buku berhodie yang muram. Jika tiba-tiba berubah seperti itu, wajar saja kalau semua orang di lift penasaran. Terutama para ibu-ibu rumpi yang suka bersosialisi. Aparteman yang ditinggali Arga memang cukup mahal, tapi lebih humanis karena hampir semua saling kenal. Namun, Arga memilih untuk menjawab setiap pertanyaan dengan anggukan dan gelengan. Ia malas memberitahu masalah pribadinya. Mungkin bagi orang lain, ia orang yang tertutup. Tapi itu hanyalah sikap hati-hati. Jaman sekarang, sulit untuk mengenal niat baik seseorang hanya dengan keramah tamahan. Karena di balik punggung mereka, banyak yang diam-diam membicarakan hal buruk, alias bermuka dua. Setelah lift terbuka, Arga cepat-cepat keluar. Tanpa pamit atau sekedar mengatakan permisi. Daripada memikirkan pendapat orang tentang pribadinya, Arga lebih suka cuek dan mengurus urusannya sendiri. Begitu sosok tingginya menjauh, tiga di antara ibu-ibu itu menyeletuk kalau Arga tidak sopan. Padahal meski mengomel dan bicara buruk, tapi dalam hati, mereka mengakui kalau sosok Arga yang biasanya berpenampilan buruk, mendadak luar biasa. Dari postur tubuh hingga wajah, tidak ada satupun yang luput dari perhatian. "Kira-kira, dia mau menikahi siapa?" bisik salah satu wanita yang bersandar di dinding lift paling pojok.Ia adalah satu-satunya wanita yang masih lajang di sana. Melihat pria menarik, antenanya langsung terbangun. Finansialnya kuat dan menghidupi seorang brondong adalah keahliannya sejak lama. Jadi, ia merasa menyesal karena baru tahu ada pria muda gagah yang satu apartemen dengannya. "Fika! Jangan mulai lagi! Yang terakhir kemarin ke mana?" pekik temannya kesal. Fika, wanita 35 tahun itu hanya tertawa terpingkal, menyahut pertanyaan temannya dengan gelengan malas. Mungkin isi otaknya sudah penuh dengan mangsa baru yaitu Arga. * Waktu sudah cukup lama berlalu. Penghulu juga para saksi mulai bosan menunggu. Mereka punya alasan sendiri kenapa terus mendesak Kiara agar terus berusaha menghubungi Arga. Jadwal ijab kabul mereka bukan hanya disitu saja. Salah-salah acara pengantin lain bisa kacau gara-gara terus mengulur waktu. Kiara adalah orang yang paling gelisah. Ia tidak hentinya memeriksa ponsel. Mungkin saja pesannya sudah dibalas atau ada panggilan tidak terjawab. Tapi sayangnya, benda pipih itu tidak memberinya harapan apapun. Seperti kata Bibi Susi, nomor Arga tidak juga bisa dihubungi. Segala pertanyaan kemudian menyerang isi pikiran Kiara. Dari hal buruk seperti kecelakaan, hingga Arga tengah mempermainkannya. Namun, semakin dipikir, Kiara justru bertambah gelisah hingga tingkahnya itu mendapat perhatian dari sang Paman. Paman Asman, suami Bibi Susi, sejak tadi mengamati tingkah Kiara. Pria paruh baya itu memang duduk tenang, tapi ia sendiri sebenarnya khawatir kalau pernikahan Kiara nantinya akan bermasalah. Tentu saja, semua itu karena ia takut akan reputasi. Sekarang, firasatnya terbukti benar. Pengantin pria Kiara tidak kunjung menampakkan batang hidung. Jika itu memang sebuah penipuan, mau ditaruh mana mukanya? "Bu, bawa Kiara ke belakang dulu. Biar aku yang mengurus orang-orang yang ada di sini," bisik Paman Asman pada istrinya. Ia memberi isyarat kalau Kiara mungkin butuh perbaikan make up. Wajahnya penuh keringat dingin dan tidak ada tissu. Itu hanya alasan. Bibi Susi tahu apa yang ada dalam pikiran sang suami. Semua orang tahu kalau kekacauan besar tengah terjadi sekarang. Jika bukan Paman Asman, siapa lagi yang akan menanggung? Percuma menyalahkan Kiara. Gadis itu sangat naif dan gampang dibodohi. Di saat Kiara berdiri dan akan melangkahkan kakinya ke dalam, tiba-tiba saja terdengar suara motor dari kejauhan. Semua orang tidak terkecuali Kiara menoleh ke luar tenda. Di sana, sebuah motor besar datang lewat jalur gang, tempat di mana tamu akan disambut nanti. Posturnya cukup mengundang perhatian. Tinggi dengan kaki panjang melintang. Kiara sejenak tertegun, tidak ingat kalau mengundang teman di jam-jam sepagi itu. Terlebih penampilannya sangat berlebihan untuk acara hajatan kampung. Kiara kemudian tidak peduli, kembali mengalihkan tatapannya ke layar ponsel. Lagi-lagi ia belum mendapatkan balasan dari Arga. "Tunggu, mau ke mana kamu?" Bibi Susi seketika mencengkeram bahu Kiara, menahan gadis itu agar tetap ada di sana. Barulah Kiara sadar, kalau sikap semua orang berubah begitu pria tinggi bertuxedo itu berjalan mendekati mereka. Mata Kiara menyipit, bertanya-tanya siapa pria itu. "Siapa?" gumam Kiara melontarkan pertanyaan lirih pada dirinya sendiri. Sejak pria itu turun dari motor besarnya, Kiara berusaha mengingat, tapi gagal. Siapapun itu, kalau bukan Arga, ia tidak peduli. "Maaf, sudah membuatmu menunggu lama." Gumaman pelan dari wajah tenang itu menerbitkan kernyitan kuat di dahi Kiara. Semakin diingat, ia semakin penasaran. Tapi wajah tanpa cela sang pria tidak berhasil memancing kenangan apapun. Pria yang tidak lain adalah Arga itu, menghembuskan napas panjang kemudian mengatur rambutnya yang berantakan. Sikap santai juga soknya, seketika membuat Kiara sadar siapa yang ada di hadapannya sekarang. Haruskah ia bersyukur mendapat pengantin yang menakjubkan? Atau marah karena dipermainkan? Seringai sombong yang bersembunyi di balik bibir Arga serasa memuakkan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD