Hari pernikahan bag 2

1202 Words
Paman Asman adalah orang pertama yang curiga ada keanehan antara Kiara dan Arga. Banyak ketidakwajaran yang seharusnya tidak dilakukan oleh pengantin pria. Dari hal kecil seperti fitting sendiri-sendiri, hingga ketidak hadiran siapapun dari pihak Arga. Namun, siapa yang peduli? Paman Asman hanya ingin pernikahan itu cepat-cepat selesai. "Ayo duduk. Bapak penghulu sudah menunggumu dari tadi." Paman Asman lekas menarik Arga dan Kiara, mendudukkan mereka berdampingan. Sedang Kiara, masih tidak percaya kalau pria di dekatnya adalah teman masa kecilnya. Berulang kali, ia kepergok mencuri pandang, takut kalau salah orang. Namun, bekas luka di dekat pelipis Arga memupuskan kecurigaan Kiara. Ya, ia ingat pernah mendorong jatuh Arga hingga harus dibawa ke rumah sakit. "Puas mempermainkan aku?" gumam Kiara lirih. Ia sengaja mengulur waktu dengan meminta ijin untuk minum lebih dulu. Arga tidak menyahut, ia menyesap teh hangatnya sendiri dengan hembusan napas gugup. "Kita akan bicara nanti, setelah kamu jadi istriku." Arga mencoba mengosongkan pikirannya agar hapalan ijab tidak ternodai oleh permasalahan mereka. Kiara kemudian sadar kalau tingkahnya barusan sedikit kekanak-kanakan. Ia lupa tujuan mereka menikah hanyalah sebuah formalitas kosong. Jadi, tidak ada alasan untuk marah hanya karena sedikit kesalahpahaman. Lihat, Kiara harusnya senang karena mendapatkan jackpot. Jika dibandingkan dengan Marten, Arga jauh lebih baik. Dari segi fisik maupun uang, Arga kelihatannya cukup bisa diandalkan. "Kamu tidak menganggapku sebagai lelucon kan?" tanya Kiara pelan. Ditatapnya mata tajam Arga penuh harap. Alis tebal Arga terangkat sebentar, membalas pertanyaan Kiara dengan gelengan. "Bukankah sudah terlambat untuk mundur?" ucap Arga menatap orang-orang yang tengah mengelilingi mereka. Bahkan semutpun tidak akan lolos kalau dikepung seperti itu. Bukan seperti pengantin, keduanya lebih mirip penjahat yang akan dihukum. "Sudah bisa kita mulai?" Sang penghulu mengambil suara, melirik jam tangan dengan suara tidak sabar. Paman Asman dan Bibi Susi segera berdiri, menyelimuti pundak Arga dan Kiara dengan sehelai panjang kain putih. Jantung Kiara serasa melompat, sadar kalau sebentar lagi ia akan menjadi milik seseorang. Arga sendiri merasakan ujung jemarinya sedikit gemetar. Entah karena gugup saja, atau nervous. Yang jelas, ia tidak menyangka kalau nuansa sakral akan berhasil mempengaruhi mentalnya. "Silahkan jabat tangan saya," pinta sang penghulu meletakkan tangannya di atas meja. Arga menurut, menjabat tangan penghulu itu dengan perasaan yang berkecamuk. Untuk sesaat, ia merasakan dinginnya keringat dari telapak tangannya sendiri. Namun di luar dugaan, meski mengucapkan ijab kabul dengan sedikit terbata, di percobaan pertama, saksi langsung mengesahkannya. "Sah?" "Sah." "Sah." Entah bagaimana melukiskan perasaan Kiara dan Arga. Hati yang tadinya tidak peduli, tiba-tiba merasa bersalah. Mereka serasa membohongi Tuhan demi memperoleh pengakuan hukum yang tidak seberapa. "Cium tangannya," bisik Bibi Susi menyenggol bahu Kiara. Gadis itu sejak tadi hanya bengong dan tidak memperlihatkan ekspresi bahagia sedikitpun. Kiara dengan ogah-ogahan menurut. Sebelumnya, ia memberi isyarat pada Arga agar mau bekerja sama. Ini adalah sandiwara pertama mereka. Sebuah ciuman tipis di punggung tangan Arga mungkin salah satu moment kecil, tapi cukup membekas. Mungkin akan jadi ingatan manis saat mereka nantinya berpisah. Tak lama setelah menyelesaikan keperluan administratif, Arga dan Kiara dialihkan ke acara resepsi. Keduanya duduk di atas sofa panjang yang di apit oleh dua anak perempuan kecil berkebaya di kanan kiri. Salah satu hal yang paling dibenci Arga adalah sengaja ditempatkan untuk menjadi pusat perhatian. Entah sebentar atau lama, ia biasanya tidak betah. Tapi sekarang, situasi itu terlalu sulit untuk dihindari. Mana mungkin pengantin laki-laki pergi dari acara resepsi pernikahannya sendiri? Di sisi lain, ia juga tidak begitu nyaman karena Kiara terus menatapnya sejak tadi. Sebuah pandangan menusuk yang penuh pertanyaan. Sayangnya belum Kiara bicara, Bibi Susi kembali menghampiri mereka. "Kalian belum sarapan, kan? Ini, isi perut kalian sebelum tamu berdatangan." Wanita paruh baya itu menyodorkan baki kecil berisi makanan dan dua gelas teh hangat. "Kok cuma satu?" Kiara mengeryit, memberi isyarat kalau ia minta dibawakan lagi. "Dasar aneh, pengantin mana yang makan di piring terpisah. Suapi saja suamimu." Bibi Susi kemudian pergi tanpa memperdulikan wajah memelas Kiara. Jangankan saling suap, bicara saja rasanya masih canggung dan berat. Sadar akan hal itu, Arga memilih untuk mengambil minumannya saja. "Kamu saja yang makan, aku tidak biasa sarapan," katanya beralasan. Padahal Arga tidak mau kalau Kiara sampai kelaparan hanya karena tidak enak padanya. "Bukannya kamu punya maag? Makan saja sedikit, kita bisa berbagi," tolak Kiara menatap isi piring mereka. Porsinya terlalu banyak untuk dihabiskan satu orang. Arga tertegun, tidak menyangka kalau Kiara masih ingat tentang penyakitnya. Ia memang tidak boleh sampai melewatkan jam makan."Bagi saja jadi dua, aku akan makan setelah kamu." Kiara mengangguk, membaginya di kiri dan kanan. Tapi berhubung sendok hanya diberikan satu, mereka akhirnya berbagi juga. Arga yang awalnya menggeleng, pelan-pelan membuka mulut. Perutnya mulai perih. Ia tidak ingin kondisi kesehatannya terganggu. Deadline untuk novelnya belum sepenuhnya selesai. Ada beberapa bagian yang harus sirevisi sebelum diserahkan paa mda editor. "Terima kasih," ucap Arga canggung. Kalau dipikir-pikir, ia tanpa sadar sudah makan paling banyak. Melihat piring kosong itu, rasa malu tiba-tiba hinggap. Rasanya, seharian ini ia sudah mengisi tenaganya untuk berdiri menyambut para tamu hajatan. Tak jauh dari sana, Bibi Susi menghembuskan napas lega karena Kiara mulai berdamai dengan keadaannya. Orang awam sekalipun tahu kalau pernikahan itu tidak membahagiakan. Tapi, paling tidak, masalah tentang sisa pembayaran katering dan lain-lain, selesai dengan baik. Jujur, Bibi Susi penasaran, kenapa orang sebaik Arga mau mengorbankan hidupnya hanya untuk teman masa kecilnya? "Tidak perlu berterima kasih, aku yang berhutang banyak padamu," sahut Kiara menyingkirkan piring kosong itu ke meja sudut. Menyuapi bukanlah hal besar, ia bisa melakukannya seumur hidup. Tapi untuk itu, ia butuh perasaan percaya lebih dulu. Bagaimana mereka bisa menjalin sebuah hubungan nyaman adalah salah satu yang terpenting. Tapi, sayangnya Arga sudah menghancurkan hati Kiara lebih dulu. Apa susahnya mereka bertemu sebelum pernikahan? Kejutan Arga justru menyinggungnya. "Tentang tadi, aku mau minta maaf padamu," kata Arga pelan. Ia sadar raut wajah Kiara masih terlihat masam dan gelap. Aura pengantin tidak seharusnya begitu. Akan ada banyak tamu nanti, bagaimana kalau mereka akan curiga dan mulai bergosip? Arga menikah bukan untuk mendengar celotehan orang tentang hidupnya. Melainkan ingin menjalani hari dengan tenang dan teratur. Daripada dengan orang lain, Arga lebih memilih Kiara yang sudah mengenalnya sejak kecil. Selain tidak merepotkan, kelihatannya, mereka akan saling mengerti. "Apa aku ini sebuah lelucon? Aku tidak akan mundur meski tidak suka dengan fisikmu. Maksudku...,"kata Kiara kebingungan sendiri dengan alasannya kesal. Mungkin terdengar tidak masuk akal, tapi Kiara memang tidak terlalu suka pria dengan fisik sempurna. Pasti Arga berpikir kalau hal itu akan menghambat rencana pernikahan mereka. Tapi, tetap saja menghindar bukan keputusan adil untuk Kiara. Ia berhak tahu wajah sebenarnya Arga sebelum mereka menikah kemarin. Namun, tidak ada gunanya juga berdebat untuk hal yang sudah berlalu. Mereka hanya harus menerima keadaan agar nantinya tidak menyulitkan diri sendiri. "Sudahlah, aku tidak akan membahasnya lagi," gumam Kiara memalingkan wajahnya ke arah lain. Arga yang diam dan tidak kunjung menjawab pertanyaannya, sudah cukup membuktikan kalau pembicaraan itu akan sia-sia belaka. Perbuatan Arga tidak jahat, tapi hanya menimbulkan rasa kecewa. Kiara hanya harus memulihkan hatinya untuk memaafkan. "Kii, setelah acara ini selesai, kita langsung pulang saja, ya? Maksudku, aku akan membawamu ke apartemenku." Arga tiba-tiba membuat ajakan yang membuat telinga Kiara memerah. Maksudnya apa? bukankah itu sebuah pertanyaan sensitif? Meski mereka sudah menikah, pertanyaan itu terasa vulgar karena dikatakan dengan terus terang. Terlebih, Arga cukup lantang hingga anak di kanan kiri mereka menoleh penasaran.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD