Permintaan biasa

1372 Words
Pertemuan tidak mengenakkan dengan Rendi membuat Kiara susah tidur. Niatnya untuk memasak makan malam jadi sedikit lambat karena memikirkan obrolan mereka tadi siang. Kiara tidak begitu suka saat harus menceritakan segala masalahnya. Tapi karena didesak oleh Arga, mau tidak mau semua ceritanya dengan Marten dibuka semua. Dari awal perkenalan hingga pendekatan secara personal. Kiara heran kenapa Arga tidak malu dengan semua itu. Pria tinggi itu begitu bebas dan masa bodoh dengan pandangan Rendi. Sepertinya fokusnya lebih ke menemukan Marten daripada pendapat orang lain. Tapi, Rendi sendiri tidak bertanya lebih jauh tentang masalah pribadi mereka. Setiap keterangan yang ia inginkan selalu berhubungan dengan penyelidikan. "Di lemari pendingin hanya ada ini," kata Kiara meletakkan sepiring cah kangkung ke atas meja. Kebetulan Arga baru saja duduk dan meletakkan ponselnya ke sudut. Daripada makanan instan, masakan Kiara jauh lebih baik. Tenyata cukup menyenangkan melihat dapur yang semula bersih dan tanpa kehidupan akhirnya digunakan. Bau bumbu dapur begitu semerbak, mengingatkan Arga pada wangi tumisan neneknya. Inilah yang Arga mau dari pernikahannya dengan Kiara. Ia ingin menghabiskan waktu bersama dengan nyaman, tanpa pertengkaran. Kiara tertegun saat melihat seulas senyum tipis menghiasi bibir Arga. Ia tidak menyangka kalau moment sederhana itu akan dianggap menyenangkan oleh orang lain. Tanpa sadar, Kiara mengurungkan niatnya untuk bicara. Tidak menyenangkan kalau Arga sampai meninggalkan meja makan karena kesal seperti terakhir kali. Meski dua puluh tahun telah berlalu, di mata Kiara perangai kekanak-kanakkan Arga masih tetap sama. Pria itu suka melarikan diri dari pembicaraan yang tidak disukai. "Katanya tadi ada yang mau dibicarakan, apa itu?" tanya Arga memancing sebuah pembicaraan di saat mulutnya masih mengunyah. Kiara kontan menggeleng, memberi isyarat agar mereka menikmati makananannya dulu. Sikap kaku itu malah membuat Arga tidak enak hati. Ia sengaja tidak menambah porsi nasinya agar cepat selesai. Tak kurang dari setengah jam, keduanya memutuskan untuk menyudahi makan malam.Kiara memasukkan sisa lauk ke dalam lemari pendingin. Sedang Arga mencuci piring kotor dan peralatan masak. Diam-diam Kiara menatap sosok Arga dari kejauhan. Cara pria itu membereskan pekerjaan, sangat menganggu. Kalau dibandingkan dengan cara mencuci Kiara, waktu yang dihabiskan Arga hampir dua kali lipat. Namun, usaha tidak pernah mengkhianati hasil. Kiara harus mengakui kalau Arga melakukan pembersihan 100 kali lebih baik. Bukankah pria harus punya kelemahan dalam mengurus rumah tangga? Batin Kiara menghembuskan napas panjang. Arga lebih seperti makhluk individual yang bisa apapun, tidak butuh kekasih atau seorang benalu. Ya, Kiara merasa dirinya adalah seorang benalu. Sebenarnya apa manfaat Arga menikahinya? "Ga? Kita perlu bicara." Kiara menegur Arga yang akan masuk kamar tanpa pamitan padanya. Jelas-jelas tadi mereka sepakat untuk duduk setelah makan. Tapi kenapa Arga terkesan menghindar? "Tidak bisa besok, kah?" tanya Arga enggan. Kiara dengan tegas menggeleng. Ia meletakkan dua gelas teh hangat ke atas meja ruang tamu. Pembicaraan serius itu harus segera dilakukan agar di kemudian hari,pernikahan mereka bisa diselesaikan baik-baik. Arga terpaksa menurut, kembali duduk dengan wajah yang sedikit masam. Kiara tidak bisa mengenyahkan segala prasangkanya pada Arga. Sudah sewajarnya mereka membuat perjanjian setelah pernikahan, toh hubungan mereka tidak didasari rasa emosional. Tapi kenapa Arga begitu? "Katakan, apa ini ada hubungannya dengan pernikahan kita?" tanya Arga terdengar tidak suka. Jujur, sebagai laki-laki ia tidak mau mengungkit semua uang yang sudah ia keluarkan. Tapi? Kiara bersikap seolah itu hanya kebaikan semata. Bukankah terlalu naif? "Kenapa kamu tidak mau membuat perjanjian pernikahan? Kalau bukan ingin membantu, apa tujuanmu menikahiku?" Kiara membuka suara, melontarkan pertanyaan yang paling menganggunya. Ia sendiri tidak mau hubungan mereka dijalani dengan ketidakpastian. "Aku hanya tidak ingin menceraikanmu. Menyandang status duda sangat memalukan, jadi jangan coba-coba membahas tentang perpisahan." Mata Arga tiba-tiba menyorot tajam, mengisyaratkan kalau ia tidak suka dibantah. Wajah datar yang selalu ia perlihatkan,perlahan lenyap. Berganti emosi asing yang membuat nyali Kiara menciut. "Jadi kamu ingin menjalani sisa hidup bersamaku? Maksudku—bagaimana kalau suatu hari kamu jatuh hati dengan seseorang? Bukankah status kita akan menghambat hubungan kalian?" Kiara belum menyerah, mencari alasan agar bisa merubah keputusan Arga. Sayangnya, pria itu tidak peduli. Ia tidak pernah ingin mendekati gadis manapun. Selama ini, wanita hanya dianggapnya sebagai makhluk paling merepotkan. Menguras waktu, uang juga emosi. Tapi menikahi Kiara bukan tentang janjinya pada Ibu Kiara saja, tapi Arga sendiri yakin kalau memilih Kiara adalah pilihan paling tepat. Gadis itu tipe pendiam, naif dan tidak suka menuntut. Seperti sekarang,meski bersikeras ingin membuat sebuah perjanjian, tapi itu hanyalah perjuangan yang tipis. Perasaan tidak enakan juga terlalu baik, lebih mendominasi. Benar saja, begitu Arga memutuskan untuk beranjak ke kamar, Kiara tidak memaksanya lagi. Gadis itu pasrah dan hanya bisa menggeleng berkali-kali. Pertanyaannya sama sekali tidak digublis. Meski sudah beranjak dewasa, isi pikiran Arga tidak setua umurnya. Ia ingin mengekang Kiara dalam mahligai pernikahan, tapi di saat yang sama tidak punya alasan kuat. Kiara terpaksa membawa rasa kecewanya ke atas ranjang. Ia merebah, menatap langit-langit kamar lalu memikirkan bagaimana mengambil keputusan terbaik untuk situasinya. Namun, lambat laun, gadis itu malah tertidur. Menyerah dengan rasa kantuk yang menyerang matanya. * Keesokan harinya, Bibi Susi tiba-tiba menelepon dan menyuruh Kiara agar pulang sebentar ke rumah. Berkat itu, Kiara tidak perlu lagi memikirkan cara untuk menghindari Arga. Ia punya alasan yang lebih alami, tanpa kebohongan sama sekali. "Kamu tidak punya rencana menginap di luar, kan?"tanya Arga pelan. Mata arangnya memberi tatapan tajam secara terang-terangan. Seolah, ia adalah orang yang punya kendali penuh atas Kiara. Bahu gadis itu bergerak kikuk, berusaha tetap tenang meski hatinya tidak nyaman. Bukan tentang sikapnya saja, tapi penampilan Arga di pagi hari membuat mata perawan Kiara ternodai. Celana super pendek dan baju tanpa lengan itu memancing istigfar dari dalam hatinya berkali-kali. Kenapa? apa dia sedang pamer karena punya tubuh yang fit? Batin Kiara menggigit bibirnya kesal. Kalau saja berteriak dianggap hal biasa, ia sudah lakukan itu dari tadi. Ataukah hanya dia yang menanggapinya berlebihan? Buktinya Arga tidak peduli dengan hal semacam itu. "Aku akan meneleponmu nanti," ucap Kiara buru-buru berbalik untuk mengambil tasnya di kamar. Ia meninggalkan Arga dengan gerutuan kecil, menganggap sikap Arga benar-benar tidak pantas. Masa iya, Kiara harus menutup mata? Bukannya sadar dengan ketidaknyamanan Kiara, Arga justru mengekor istrinya itu hingga ke mulut pintu. "Jadi kamu mau menginap atau tidak?" Arga kembali mendesak, menuntut kejelasan. Kiara sejenak membisu, pura-pura sibuk dengan bawaannya. "Entah,kalau Bibi memintaku menginap, mungkin aku akan menginap. Lagipula aku sebenarnya ada urusan juga terkait rumah itu," jawab Kiara lugas. Ia tidak suka dikejar dengan pertanyaan yang serasa seperti kekangan. "Baiklah, nanti telepon saja. Hari ini aku juga sedang menunggu kabar dari Rendi. Harusnya ia sudah menghubungiku, tapi belum." Arga mengeluh, menatap layar ponselnya yang membisu. "Secepat itu? Aku pikir harus menunggu lebih lama lagi," ucap Kiara terkejut. Padahal, ia tidak memberi foto atau petunjuk jelas tentang Marten. Hebat juga kalau kabar yang didapat mereka bisa instan. Arga mengangguk pelan kemudian menyuruh Kiara agar cepat bergegas karena sudah siang. Ia tidak mau diberi alasan klise tentang kurangnya waktu untuk menyelesaikan urusan di rumah. "Ga?" Kiara tiba-tiba menoleh, tepat di depan pintu keluar. "Apa?" sahut Arga menggaruk rambut berantakannya asal. "Bisa kabulkan satu keinginanku?" Kiara menghembuskan napas panjang, seakan butuh banyak keberanian untuk mengatakannya. "Katakan saja. Ah, apa kamu butuh uang lagi?" tebak Arga berpikir paling sederhana. Bukan maksudnya merendahkan, tapi sejak kemarin, pria itu punya keinginan untuk memberi Kiara sedikit tunjangan finansial. Hitung-hitung nafkah lahir. Kiara menggeleng, menatap boxer pendek yang dipakai Arga dengan tatapan yang menggelikan. "Bisa tidak? Pakai celana panjang dan kaus? Minimal, jangan lakukan itu di depanku. Kamu tahu kan,Ga? Itu tidak nyaman." Kiara menunjuk tubuh bagian bawah Arga dengan ekspresi kecut. Entah bagaimana benda itu terlihat menonjol, seolah ingin melesak keluar. Jiwanya dipaksa mengotori diri dengan pikiran-pikiran vulgar. Ya,Kiara benci dengan isi otaknya itu. Bagaimanapun, pemandangan bagus ada di depan mata, meski menolak, ia tetap melirik-lirik juga. Bukankah itu menjengkelkan? Namun, tanggapan Arga jauh lebih mengejutkan. Bukannya malu, pria tinggi itu malah berkacak pinggang. "Kenapa? Aku nyaman-nyaman saja, dan lagipula ini rumahku. Jadi kamu tidak berhak mengatur gaya pakaianku," ucap Arga membuang muka. Kiara speechless, tidak tahu kalau tingkah Arga segila itu. apa urat malunya sudah putus? "Dan lagi, kalau kamu merasa tidak adil, lakukan hal yang sama. Bukankah kita suami istri? Tidak akan ada yang protes dengan ini." Arga kembali berujar, kali ini begitu lantang dan terus terang. Rasanya Kiara ingin mengumpat Arga dengan sebutan sinting. Namun, tenggorokannya keburu kering. Ia hanya ingin melarikan diri dari sana secepat mungkin.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD