Bab 3

1144 Words
Setelah lari ke sana lari ke sini, masuk toko sana masuk toko sini tetep aja Mas Natan gak ketemu. Aku benar-benar sedih. Rasanya aku ingin menangis. Dengan lemas aku berjalan menuju toko buku di mal ini. Aku harap Mas Natan di sini. Setelah menyusuri ke semua sudut toko buku ini ternyata aku tidak menemukan sosoknya. Dan sekarang air mata sudah berada di pelupuk mata. Sedih, marah, jengkel, kecewa semua emosi jadi satu. Hanya butuh satu kedipan untuk menumpahkan air mata yang mengggenang. Bruk.. Tanpa sadar ternyata aku menabrak tubuh seseorang dan sebelum aku terjatuh seseorang yang kutabrak tadi memegangiku. “Sorry,” katanya. Aku kenal suara ini. Seketika aku langsung mengangkat kepalaku untuk melihat wajah orang tersebut dan di sana aku melihat wajah kaget Mas Natan. “Mas Natan,” kataku mulai menangis. Rasanya sangat lega bisa bertemu dengan Mas Natan setelah sekian lama aku mencarinya. Tuhan memang sebaik ini.  “Loh, kok nangis? Eh udah dong jangan nangis,” katanya panik. Aku yang sudah sesenggukkan mencoba untuk bicara, “Tau gak sih aku tuh sudah keliling buat cari Mas Natan sejak tadi. Dari lantai satu sampe lantai teratas udah aku kelilingi! Dan hampir semua toko udah aku masuki buat nyari Mas Natan! Aku sempat ngira kalau Mas Natan udah pulang dan aku nggak bakal bisa ketemu lagi sama Mas Natan. Kalau gitu ceritanya terus aku gimana nasibnya? Aku tuh—“ Perlahan Mas Natan menarikku ke dalam pelukannya. Kurasakan tepukan lembut di punggungku. “Sorry,” katanya dengan nada menyesal. “Habisnya kamu nyebelin sih. ngikutin orang kayak gitu. Aku juga nggak maksud buat ninggalin atau gimana, aku cuman—” Aku mengangguk mengerti seraya melepaskan diri dari pelukannya. “Iya, maaf. Aku tahu aku yang salah. Tapi kan aku cuma pengen nonton.” Aku mendongakkan kepala untuk melihat wajah Mas Natan. Di sana aku melihat senyuman yang sangat manis. Mas Natan tersenyum kepadaku! Dia tersenyum dan itu sangat manis. Dan entah kenapa aku jadi ikut tersenyum. Dia memang memiliki senyum yang menular. “Kan kalau senyum manis,” katanya tersenyum semakin lebar. Aku merasa sedang digombalin. Duh, aku meleleh. “Mas Natan juga kalau senyum manis,” balasku sambil tersenyum lebar. “Jadi, tiketnya boleh buat aku?” Setelah pertanyaanku terlontar hilanglah senyuman manis itu dan sekarang berganti dengan muka bete yang sama seperti tadi banget sebelum aku kehilangan dia. “Mas...,” rengekku padanya yang sekarang mulai berjalan kepintu keluar. Aku mohon, jangan hilang atau kabur lagi. Aku sudah capek buat mencarinya. Aku tak sanggup lagi jika harus kembali berkeliling mal. Ketika kami berada di luar toko buku, mataku langsung tertuju pada tas belanjaan Mas Natan  yang sedari tadi ditentengnya. Nah, target! “Aku bawain belanjaannya, ya,” kataku sambil menyambar plastik putih yang sepertinya berisi buku yang tadi dibelinya. Aku akan menggunakan ini sebagai sandera. “Oke. Silakan,” katanya sambil tersenyum santai. Aku memandang Mas Natan dengan tatapan bingung. Tumben dia menyerah begitu saja. Tiba-tiba Mas Natan malah berbalik dan meninggalkanku yang masih bengong. Sebelum aku protes, dia sudah berbalik sambil menunjukku dan memberi kode untuk mengikutinya. Alhasil, aku kembali mengekorinya seperti tadi. Tapi bedanya, kali ini aku mengekorinya sambil membawakan belanjaannya. Kalau dilihat, memang mirip seperti babu dan majikan. Tapi demi tiket nonton itu, aku rela. Amat sangat rela. Aku mengikuti Mas Natan ke mana pun kakinya melangkah. Beberapa kali aku bertanya tujuan kami ke mana, tapi dia hanya diam, tak menjawabku. Dia memang rese. Ketika sedang asik mengamati punggung Mas Natan yang tampak tegap, tiba-tiba saja aku melihat sosok yang begitu kukenal berjalan ke arah kami. Sosok itu tampak tampan seperti biasa. Itu adalah Galang, pacarku. Aku sempat tersenyum lebar ketika melihat Galang. Tapi senyumku berubah menjadi ringisan panik ketika menyadari bahwa saat ini aku sedang mengekori cowok tampan lainnya yang kebetulan punya tiket nonton untukku dan Galang. Bisa mati di tempat jika Galang tahu kalau aku sedang berjalan bersama cowok lain. Sebelum Galang menyadariku keberadaanku di sini, aku langsung saja menarik tangan Mas Natan untuk  berlari menghindar dari Galang. Semoga tadi Galangtidak melihat aku. “Hei, kenapa, sih?” tanya mas Natan bingung. Aku mengabaikan pertanyaan Mas Natan dan memilih untuk mengamati sekitar, mencoba mencari tempat aman untuk bersembunyi. Tapi s**l, ketika aku menoleh ke belakang, aku melihat Galang berada persis di belakangku. Untungnya dia sedang sibuk dengan ponselnya. Dan setelah menabrak beberapa orang, akhirnya aku memutuskan untuk masuk ke salah satu toko baju. Namun s**l, ternyata si Galang malah berhenti tepat di depan toko ini. Aduh, bagaimana ini? “Kenapa sih, lari-lari segala? Terus kita ngapain di sini?” tanya Mas Natan dengan ekspresi bingung. Tiba-tiba saja Mas Natan hendak berjalan keluar dari toko ini yang langsung membuatku menarik tangannya untuk menghentikannya. “Aku mohon, jangan keluar,” kataku panik. Mas Natan mengernyit bingung. “Emang kenapa nggak boleh keluar?” “Ada Galang di depan! Bayangin deh, apa yang bakal Galang omongin kalau dia lihat aku di sini berduaan sama cowok lain.” “Galang? Pacar kamu?” tanyanya. Aku hanya mengangguk seraya tersenyum kecil. “Terus ngapain sembunyi? Emang kamu nggak janjian sama cowokmu di sini?” tanyanya yang kujawab dengan gelengan kepala. “Terus dia ngapain di sini?” tanyanya lagi.             Mendengar pertanyaannya itu membuatku menelengkan kepala dan berpikir. Iya, ya. Galang ngapain di sini? Sendirian lagi. Setahuku dia nggak bakal mau main ke mal kalau sendirian, deh. Apa dia janjian saama orang lain, ya? Tapi sama siapa? Dan ngapain di sini? Dia juga tadi nggak pamitan mau main ke mana gitu, dia kan tadi bilangnya mau nganterin mamanya ke dokter. Masak Galang bohong sama aku? Eh, tapi ini kan hari jadian kami. Mungkin Galang ke sini buat nyari kado buat aku. Iya, pasti itu alasannya. Aku hanya mengangkat kedua bahuku tanpa mengatakan apa-apa ke Mas Natan. Dan setelah itu mas Natan seenaknya aja pergi dari tempat itu. Sebelum aku sempat protes dan menariknya kembali dia sudah duluan ngomong kalau Galang udah pergi. Dan ternyata benar, Galang udah nggak ada di depan. Sekarang Galang sudah berjalan ke arah di mana Game Fantasia berada. Sejak kapan Galang suka sama tempat itu? “Hei, mau ikut dia atau tiketku?” tanya mas Natan yang sekarang sedang bersandar pada etalase toko. Keren juga posenya. Lebih keren ketimbang manekin yang terpampang di dalam etalase. “Ikut tiket,” kataku sambil tersenyum kepadanya. Sekerang kan tiket lebih penting ketimbang membuntuti Galang. “Ya udah ayo cepet, udah ditungguin Radit,” katanya sambil mengulurkan tangannya ke arahku. Kemudian aku dengan senang hati menerima uluran tangannya. Jarang-jarang juga dia baik seperti ini. “Apa, sih?” tanyanya melihat tanganku mendarat pada telapak tangannya yang terulur. “Aku minta belanjaanku bukan tangan kamu, Adek,” lanjutnya sambil tertawa. “Udah punya cowok juga masih ganjen,” ledeknya. Astaga, Mas Natan nyebelin! Bikin malu aja! Kesaal! Aku hanya menunduk malu sambil masih mengikutinya dari belakang. Sedangkan Mas Natan masih saja tertawa ketika melihatku.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD