Bab 2

1508 Words
Ini adalah kali pertama aku mengejar mas-mas nggak jelas kayak orang gila begini. Sumpah, rasanya kehilangan Mas Tan itu kayak kehilangan separuh nyawaku. Memang terdengar lebay, tapi itulah yang kurasakan. Karena Mas Tan kan punya tiket yang ingin kutonton. Ke mana aku harus mencarinya? Apa aku harus pergi menemui security mal dan mengatakan bahwa aku kehilangan teman dan meminta bantuan untuk mencarinya? Tapi aku aja gak tau nama lengkapnya. Setelah dengan tidak sengaja menengok ke arah kananku aku melihat seseorang yang sedari tadi aku cari. Sekarang Mas Tan tadi sedang mengantre dikasir dengan tampang bosan karena antrean yang lumayan panjang. Seketika senyumku mengembang. Tuhann, terima kasih! “Mas!!” teriakku padanya yang sedang berada di tengah-tengah antrean. Sontak semua orang memandangku dengan tampang bingung dan bertanya-tanya. Mereka seperti sedang melihat tarzan di masuk mal. Termasuk si Mas Tan. Tapi bodo amat, yang penting tiketku di depan mata. Setelah itu aku berjalan menghampirinya dengan senyum lebar. Mas Tan tampak sedang menutupi mukanya karena malu dengan kelakuanku tadi.   “Mas!” kataku lagi sambil narik tangannya yang sedang menutup separuh mukanya. “Apaan sih,” bisiknya padaku dan berlagak tidak mengenalku. Sombong banget, sih! “Mas! Tiket!” kataku juga sambil berbisik. “Aku gak jualan tiket!” katanya dengan muka sedikit sebal. Dan setelah Mas Tan membayar barang blanjaannya dia langsung nylonong aja ninggalin aku yang tadi berdiri di sebelahnya. “Hei Mas!” panggilku. Namun dia pura-pura gak dengar sambil buru-buru pergi.             Memang dia kira kalau buru-buru pergi meninggalkanku, akunya tidak bisa ngejar? Jangan salah. Aku akan melakukan apa pun demi dua tiket nonton. Dan setelah beberapa lama Mas Tan lari dengan aku mengejar di belakangnya, akhirnya dia berhenti.   “Mas! Ud… aahh... jang...an lari... lagii.. ak...uu caa..peek...,” kataku sambil mencoba mengatur napas. Tanganku sudah bergerak cepat untuk memegangi tangannya, agar aku tidak kehilangan dia lagi. “Aku juga capek. Uda deh, jangan ngekorin aku lagi. Sana pergi!” katanya mengusirku. Kulihat Mas Tan juga terengah-engah. Sepertinya kami memang sama-sama capek. “Oke, aku akan pergi, nggak ngekorin Masnya lagi setelah Masnya ngasih aku tiket itu,” kataku masih megangin tangannya dengan kedua tanganku. Aku tak akan melepaskan tangannya sebelum dia memberiku tiket nonton tersebut. Aku tak ingin rencana nontonku bareng Galang gagal gitu aja. Cowok di hadapanku ini menggelengkan kepala lambat-lambat. “Aku gak akan menjual tiket ini ke kamu, Adek,” ucapnya seperti sedang berbicara dengan anak umur 5 tahun. “Kalau begitu jangan harap aku ninggalin kamu Masnya,” kataku pasti tersenyum lebar ke arahnya. Mataku menatapnya lekat-lekat, mencoba menampilkan keseriusan dalam ucapanku. Ya, memang aku tak berencana untuk meninggalkannya sebelum dia memberiku tiket nonton tersebut. “Ini siapa, Tan? Adik lo?” tanya suara dari arah samping kami. Dan di sebelahku kini sudah ada seorang cowok tinggi dengan model rambut agak berantakan. Dia adalah mas-mas yang tadi bertemu denganku. Kalau tidak salah dia itu teman Mas Tan. “Enggak lah, masak gue punya Adik kayak gini, sih,” kata mas Tan melirikku. Segera aku memukul lengannya. Maksudnya apa coba ‘masak gue punya Adik kayak gini’? memangnya ada yang salah denganku? “Udah deh, sana pergi,” ucapnya lagi mengusirku. Dia mencoba melepaskan genggaman tanganku dari lengannya. “Nggak mau!” Aku menggeleng sambil masih memegangin lengannya kenceng. “Nyebelin banget sih, kamu ini!” katanya jengkel. Tiba-tiba ada suara tawa yang mengganggu. Aku menoleh dan kudapati teman Mas Tan sudah tertawa bahagia sambil geleng-geleng. “Kalian berdua kenapa, sih?? Kok lucu banget,” kata temennya si mas Tan sambil tertawa. “Diem lo, Dit. Nggak usah ketawa,” kata mas Tan sebal. “Tan, serius deh. Ini cewek cantik imut unyu-unyu siapa? Cewek lo, ya?” tanya si Mas Dit tersebut. Dit? Ah... pasti namanya Adit. “Ngapain jua gue pacaran sama adek kecil kayak nih, bocah,” balas Mas Tan sambil melirik ke arahku. “Enak aja bocah! Aku udah gede tau. Udah 17 tahun ke atas! Lagian ngapain juga aku pacaran sama mas-mas kayak ini orang.” Aku balik melirik ke arahnya dengan tatapan sebal. Aku tidak suka dibilang kayak bocah! Eh, tunggu, apa jangan-jangan Mas Tan ini mau nonton bareng sama mas Adit, ya? Bagaiman kalau aku minta tiketnya sama Mas Adit aja ya? Kelihatannya Mas Adit lebih ramah dan murah hati ketimbang si Mas Tan apalah nggak jelas ini. “Mas Adit,” panggilku sambil tersenyum lebar ke arah teman Mas Tan “Ha? Lo manggil gue?” tanyanya bingung. Aku hanya mengangguk masih memamerkan senyum lebar kepadanya. “Nama gue Radit bukan Adit, dek,” katanya tertawa kecil. Ah, dipanggil Adek lagi. Sebegitu kayak anak kecilkah aku? “Ah, cuman kurang ‘R’ doing,” kataku gak mau disalahin. “Masnya mau nonton kan? Mas aku mohon, boleh ya tiketnya aku beli. Please..., please,” kataku memohon kepada mas Adit. “Nonton? Tiket? Apaan, sih?” tanyanya bingung. Kemudian aku menoleh ke arah Mas Tan yang terlihat gak perduli. Dia masih mencoba melepaskan tanganku dari lengannya. “Masnya mau nonton film Chasing Mr. Ticket sama Mas Tan ini kan?” tanyaku pada mas Radit sambil menunjuk ke arah Mas Tan. “Nonton apa sama sia—” “Heh kamu tadi panggil aku apa?” tanya mas Tan memotong pembicaraanku dengan mas Radit. “Mas ?” Aku memandangnya bingung. “Iya, tadi kamu bilang Mas apa gitu?” tanyanya lagi. “Mmm..., Mas Tan?” kataku ragu. Dan ketika kata tersebut keluar dari mulutku, kontan saja mereka berdua jadi tertawa terbahak-bahak. Memang apanya yang lucu, sih? Dasar mas-mas rese. “Kenapa sih?” kataku sewot. Masih dengan tawanya, Mas Tan bertanya,”Dapat dari mana sih, panggilan ‘Mas Tan ‘ tadi?” “Ya tadi Mas Radit manggil situ dengan sebutan ‘Tan’, ya udah aku menyimpulkan sendiri kalau namanya si masnya itu ‘TAN’. Kenapa sih?” tanyaku sebal karena ditertawakan. Mas Radit kembali tertawa. “Tan? Lo kira dia orang uTAN?” Mas Radit menunjuk ke arah Mas Tan, lalu menambahkan, “Dia Natan. Si Adeknya ini ada-ada aja.” Mas Radit dengan sisa tawanya menggeleng-gelengkan kepala. Ia menatapku dengan ekspresi geli. Aku berdecak sebal. “Ya aku mana tau kalau namanya Natan,” kataku melirik ke arah Mas Natan yang sedang terkekeh. “Bahkan aku sempat mempertimbangkan kalau Mas Natan itu  namanya seTAN, atau TANia,” cibirku. Mas Natan memelototiku setelah aku mengucapkan kalimat tersebut. “Udah deh, sana pulang. Anak kecil jangan pulang kesorean. Nanti dicariin sama orangtuamu,” ledeknya kembali mengusirku. “Nggak. Aku nggak bakal pulang sebelum Mas Natan ngasih tiketnya ke aku,” kataku keras kepala. “Aku beli deh, dengan harga dua kali lipat. Ya, Please.” “Nggak ada tiket-tiketan! Dadah!” kata Mas Natan sambil berlalu pergi. “Mas,” panggilku seraya menyusulnya. Mas Radit pun ikut pergi bersama dengan Mas Natan. “Aku mohon, Mas, aku bener-bener butuh tiket itu. Aku cuma pengen ngrayain hari jadianku yang pertama sama pacarku dengan nonton film itu. Mas plis, Mas,” kataku memelas masih ngekor di belakangnya.             Tiba-tiba saja Mas Natan berhenti dan berbalik. Ia menatapku tajam yang membuatku sedikit menciut. “Emang kamu doang apa, yang mau ngerayain hari spesial bareng sama pacar? Aku kan juga mau—” “Jadi Masnya juga mau ngerayain hari jadi bareng pacar? Dan pacar Mas Natan itu itu…,”  potongku seaya melirik ke arah Mas Radit. “Nggak usah mikir yang macem-macem. Aku masih normal,” tegur mas Natan melirik Mas Radit dengan tatapan jijik. Mas Radit sendiri hanya terkekeh. Dia benar-benar tampak terhibur dengan pertengkaran kecilku dan Mas Natan.             “Udah deh, Tan, kasih aja tiketnya. Lagian setahu gue, lo juga nggak punya cewek,” kata Mas Radit santai. Aku tersenyum senang mendengar perkataan Mas Radit. “Nah kan, kalau Mas Natan nggak punya cewek, jadi Mas Natan nggak perlu ngrayain apa-apa di bioskop. Berarti tiketnya boleh buat aku. Yesss!” kataku seneng sambil lompat-lompat. Akhirnya ada peluang untuk bisa menikmati film romantis itu bareng Galang! Asik. Hari jadi kami tak akan kehilangan momen istimewanya. Terima kasih, Tuhan. Aku benar-benar bahagia! Aku, Galan dan Chasing Mr. Ticket akan bersatu di bioskop! Dan karena aku terlalu sibuk merayakan kemenanganku ini, aku jadi kehilangan jejak Mas Natan lagi. Sekarang Mas Natan dan Mas Radit sudah tidak ada lagi di hadapanku. Dan aku tak tahu ke mana perginya kedua orang itu. Seharusnya aku tidak boleh lengah. Sebaiknya tadi aku meminta dulu tiket tersebut kemudian baru deh, merayakan kemenanganku. Kalau begini sih, jadi belum pasti aku bisa menonton film itu dengan Galang. Akhirnya aku mulai berjalan menyusuri lantai demi lantai, toko demi toko hanya untuk menemukan Mas Natan. Aku tidak boleh kehilangan Mas Natan dan tiketnya. Karena tiket itu sangat berharga untukku. Dan Mas Natan adalah harapanku satu-satunya karena aku tak tahu lagi siapa yang memiliki tiket itu. Memang aku terdengar egois karena berupaya merebut tiket dari orang lain. Tapi ini kan demi merayakan hari spesialku dengan Galang, pacarku. Aku sungguh tak ingin melewatkan film itu. Aku ingin menontonnya hari ini. Bersama Galang. Titik.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD