Zhaira!

1073 Words
Fairel menghempaskan tubuhnya ke ranjang, hari terakhir di Pantai Ora. Ia dan kedua temannya melakukan snorkeling, melihat keindahan bawah laut yang begitu mempesona. Fairel melirik ke arah Adli dan Gibran yang tengah berenang di bawah kamar. Fairel bangkit dari ranjang, dan bersandar di ambang pintu. "Sini join, Rel," ajak Gibran. "Males. Gue mau ke depan dulu," ucap Fairel lantas berjalan keluar resort. Fairel duduk di sofa yang tersedia di depan resort. Mengedarkan pandangannya seperti tengah mencari seseorang. Ia menyisir rambut ke belakang, lalu menghela napas. "Ekhmmm.... lagi nyariin siapa tuh?" Suara Adli terdengar, membuat Fairel sontak menoleh ke belakang. "Udah berenangnya?" "Nggak usah ngalihin pembicaraan. Jujur deh sama gue, lo lagi nyari siapa sih?" tanya Adli sembari menggosok rambutnya yang basah dengan handuk kecil. "Nggak. Gue cuma lagi mengagumi keindahan aja," elak Fairel kembali menatap ke depan. Adli menghela napas panjang. "Emang ya, mulut itu pinter banget ngelesnya." Fairel cengengesan sembari menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Lantas bangun dari duduknya. "Udah ah, gue mau masuk." Adli menghembuskan napas pasrah, menatap punggung Fairel yang semakin menjauh. Detik berikutnya, ia menyusul langkah Fairel masuk ke dalam. ***** Zhaira berdiri kaku diantara pelayat lainnya di pemakaman umum. Rintik hujan serta mendungnya awan seolah ikut merasakan kepiluan Zhaira. Kedua kaki Zhaira lemas, tak mampu menahan tubuhnya sendiri. Air mata sudah membanjiri pipi bercampur dengan hujan yang mengguyurnya. Tangan Zhaira bergetar saat hendak menyentuk patok kuburan. Bahunya naik turun menghalau isakan yang semakin menjadi. Satu persatu pelayat mulai silir pergi meninggalkan pemakaman. Zhaira masih tidak percaya dengan sesuatu yang menimpanya. Masih teringat jelas momen kebersamaan dengan keluarga kecilnya. Ah, mungkin Zhaira hanya sedang bermimpi karena capek setelah perjalanan jauh dari Maluku. Zhaira menampar pipinya sendiri, berusaha bangun dari kenyataan pahit yang dirasakan olehnya. Ia harus bangun dari mimpi buruk ini dan begitu terbangun semua akan baik-baik saja. "Zha, udah! Istighfar...." Salsa memeluk tubuh Zhaira agar gadis itu berhenti menyakiti dirinya sendiri. Tubuh Zhaira ambruk dipelukan Salsa, tangisnya semakin menjadi bersama hujan yang turun. "Sal, ini cuma mimpikan? Mami nggak apa-apa kan? Bangunin gue dari mimpi buruk ini, Sal! Bangunin!" Zhaira menggoncangkan bahu temannya. Salsa menghela napasnya dengan panjang, berusaha memeluk Zhaira kembali. Ia hanya mampu memeluk temannya dengan lebih erat, mencoba memberi kekuatan pada Zhaira yang sedang histeris. Kepergian maminya begitu tiba-tiba. Salsa tidak berani menasehati Zhaira saat ini, karena yang Zhaira butuhkan hanya pelukan penenang dan menguatkan. Ia masih sangat shock. "Istighfar, Zha. Istighfar...." hanya itu yang mampu Salsa ucapkan sembari memeluk Zhaira. Aroma bunga dan hujan bercampur menjadi satu membuat d**a Zhaira sesak. Zhaira dan Salsa menoleh secara bersamaan ke arah mobil yang baru saja terhenti tak jauh dari jarak mereka. Tangan Zhaira terkepal kuat saat melihat siapa yang turun dari sana. Matanya menyorotkan kilap api kemarahan. Zhaira langsung berlari dan menyerbunya. "Ini semua gara-gara, Papi! Mami jadi pergi ninggalin aku! Papi jahat! Aku benci Papi!" seru Zhaira sembari melayangkan pukulan bertubi-tubi pada pria yang ia sebut 'papi' itu. Sampai polisi saja kewalahan dengan kebrutalan Zhaira. Dengan sekuat tenaga, Salsa membantu menarik tubuh Zhaira agar menjauh dari papinya. Zhaira meronta tidak mau. "Papi jahat! Pembunuh! Nggak punya hati! Aku benci!" teriak Zhaira melupakan amarahnya. "Maaf, Nak. Maaf," lirih papinya. Kemudian polisi membawa papinya kembali masuk ke dalam mobil. Zhaira benar-benar hancur sekarang. Ia benci kenyataan kalau sosok yang begitu ia banggakan, bisa tega menghancurkan keluarganya sendiri. Zhaira langsung berontak melepaskan diri dari pelukan Salsa. Ia berlari sekencang mungkin, tak peduli dengan teriakan Salsa yang memintanya agar berhenti. "Zha! Lo mau kemana? Jangan pergi, Zha! Stop!" teriak Salsa sembari berusaha mengejar latihan Zhaira. Tiga orang laki-laki bertubuh kekar pun ikut mengejar Zhaira. Zhaira tidak peduli. Ia benar-benar hancur. Berlari sekencang mungkin dibawah guyuran air hujan yang semakin deras. Tubuh Zhaira terduduk di atas aspal. "Arrrgghhhh!!!" teriak Zhaira frustasi. "Ya Allah! Kemana engkau saat aku berdoa memintamu agar tidak mengambil orang yang paling aku sayang? Kemana engkau ya Allah?! Kemana?! Kenapa engkau begitu tega melakukan ini padaku, ya Allah?!" Saat Zhaira hendak kembali melangkahkan. Seseorang mencekal pergelangan tangannya dari belakang. Sontak Zhaira menoleh dan mendapati Sakha yang tengah mencekalnya. "Lepas!" teriak Zhaira sembari mencoba melepaskan tangan Sakha. "Sekarang kamu nggak punya siapa-siapa lagi, Zha. Jadi lebih baik, kamu ikut denganku dan menikah denganku." Zhaira menggeram marah. Di saat seperti ini, kenapa ia harus dipertemukan dengan sosok psikopat sepeti Sakha? Ia butuh ketenangan saat ini. "Lepas, Shak! Aku nggak akan pernah mau nikah sama kamu!" sentak Zhaira. Detik berikutnya ia merasa cengkeraman pada lengannya semakin kuat. Terbesit sebuah ide yang melintas dalam pikirannya, Zhaira langsung menggigit tangan Sakha hingga cekalan itu terlepas. "Argh! Sial!" umpat Sakha. Tidak ingin kehilangan kesempatan untuk kabur, Zhaira langsung berlari sekencang mungkin agar jauh dari Sakha, mantan kekasihnya. Langkah kaki Zhaira terhenti di atas jembatan. Menatap air sungai yang mengalir di bawahnya. Telaga bening kembali membanjiri kedua pelupuk matanya Zhaira, mengalir di kedua pipi gadis itu. Tidak ada hal lain yang Zhaira lakukan selain menangis. Bayang-bayang setiap kebersamaannya dengan keluarga teringat dalam ingatannya. Tak pernah menyangka sedikit pun kalau akhirnya akan jadi seperti ini. Hanyut dalam lamunannya, Zhaira sampai tak sadar kalau ia sudah Sakha temukan. Tanpa aba-aba, Sakha kembali mencekal tangan Zhaira membuat gadis itu terlonjat kaget. "Sakha, lepas!" "Kamu harus mau nikah sama aku. Percaya, Zha. Kamu akan hidup bahagia. Semua kepedihan dalam hidupmu akan aku hapus dengan kebahagiaan," ucap Sakha sembari menatap lekat kedua manik mata Zhaira. Zhaira terisak, mencoba melepaskan cekalan Sakha. "Kamu itu cuma obsesi, Sakh. Aku nggak mau. Lebih baik kamu cari gadis lain yang mau menikah denganmu." Penolakan Zhaira untuk kesekian kalinya berhasil membuat emosi Sakha menggebu-gebu. Satu tangannya mengeluarkan benda tajam, membuat Zhaira melotot tak menyangka melihat apa yang berada di tangan Sakha. "Kamu mau, Sakh? Jangan macam-macam," peringat Zhaira penuh rasa takut. Sakha tersenyum jahat. Tatapan matanya menyorot tajam. Cekalan pada lengan Zhaira semakin kencang. "Kalau aku nggak bisa miliki kamu. Maka tidak ada orang lain yang berhak buat miliki kamu!" "Tap--- aaaahhh!" Benda tajam yang semua Sakha pegang sudah beralih tempat berada di perut Zhaira. Kedua bola mata gadis itu melotot tajam menahan sesuatu yang menghujami perutnya. Darah segar mengalir dari perut Zhaira, bercampur dengan air hujan yang masih turun membasahi bumi. Sakha tersenyum puas melihat tubuh Zhaira yang ambruk di atas aspal. Perutnya terus mengeluarkan darah. Kedua mata Zhaira perlahan terpejam. "Zha!" teriak Salsa dari ujung jalan. Sakha menoleh ke belakang, ia tersenyum sinis lalu melangkah pergi meninggalkan Zhaira. Salsa dan ketiga pria itu berlari ke arah Zhaira. Salsa menutup mulutnya tak percaya dengan apa yang ia lihat di depannya. "ZHAIRA!!!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD