-MYSTERIOUS-

1524 Words
Ada yang aneh denganku sejak bertemu dengan laki-laki penjaga perpustakaan itu. Wajahnya selalu menerorku. Setiap laki-laki yang aku lihat wajahnya berubah menjadi seperti laki-laki itu. Tapi setelah aku aku pejamkan mataku dan membukanya kembali, ternyata orang yang aku lihat bukan laki-laki itu. Laki-laki yang aku maksud adalah Viro. Ada yang aneh dengannya. Tiga hari yang lalu aku ke perpustakaan untuk mengembalikan buku yang aku pinjam dan memperpanjang masa peminjaman buku 'Siren' yang belum sempat aku baca. Kemudian aku bertanya pada petugas yang sedang berjaga. "Apa hari ini Viro menjaga perpustakaan?" tanyaku. "Tidak," jawabnya acuh sambil mengecap buku yang aku pinjam. "Lalu kapan dia ada jadwal untuk menjaga perpustakaan lagi?" Laki-laki penjaga perpustakaan itu menghentikan pekerjaannya dan menatapku kesal. "Dengar nona, aku sudah menjadi penjaga perpustakaan ini selama lima tahun dan aku tidak mengenal siapa Viro yang kamu bicarakan." "Mungkin dia penjaga baru dan kalian belum saling mengenal. Umm ... Namanya Xavier Brooke." "Tidak ada yang bernama Xavier di sini, aku yang melatih pegawai baru dan memperkenalkannya pada perpustakaan ini. Kau bisa lihat sendiri jadwal yang di tempel di papan depan perpustakaan," jawabnya. "Tapi waktu itu-" ucapanku terputus. "Sudah Nona, silahkan keluar dari perpustakaan karena kami akan segera tutup," kata penjaga perpustakaan dengan sinis sambil memberikan buku yang kupinjam. Aku berjalan keluar dengan kesal.  Dia sinis sekali, bagaimana bisa dia menjadi penjaga perpustakaan selama lima tahun jika sikapnya seperti itu. Sebelum meninggalkan perpustakaan aku menyempatkan diri untuk memotret jadwal jaga perpustakaan.  Hari ini moodku sedang tidak baik, sebelum pulang ke rumah aku memutuskan untuk berjalan-jalan ke taman kota dan mungkin mampir sebentar ke toko buku untuk mengembalikan suasana hatiku. Di taman kota aku memilih untuk duduk menyendiri di bangku ujung taman sambil mengamati orang-orang yang berada di sana. Sore ini cuacanya cukup cerah, sehingga banyak orang datang ke sini. Banyak anak kecil berlarian, sedangkan orang tua mereka mengawasi sambil membicarakan sesuatu dengan orang tua lainnya. Selain itu ada beberapa pasangan yang sedang duduk santai dan beberapa orang yang sedang jogging. Suasana disini sangat menyenangkan. Ketika aku sedang asik mengamati sekelilingku, ada sekelompok laki-laki yang menurutku usianya tidak jauh denganku lewat di depanku sambil tertawa. Tanpa kusadari air mataku meleleh di pipiku. Aku mulai menangis. Kemudian salah satu dari mereka mendekatiku. "Apa kau tidak apa-apa nona?" tanya laki-laki itu "Ya, aku baik-baik saja," jawabku sambil menyeka air mata yang tak kunjung berhenti. "Tapi kau tidak terlihat baik-baik saja. Mungkin kau bisa menelpon seseorang untuk menjemputmu," jawab orang itu. "Aku akan segera melakukannya. Jangan khawatir." Setelah aku menjawab orang itu berjalan menjauhiku dengan ragu-ragu ke tempat teman-temannya berada. Sejujurnya aku tidak tau mengapa aku menangis. Tapi mungkin ini ada hubungannya dengan seseorang yang pernah aku anggap sebagai teman. Dulu sebelum aku menjadi seorang penyendiri seperti saat ini, aku memiliki seorang teman dekat atau kami bisa disebut sahabat. Tapi saat mulai memasuki bangku SMA dia mulai bersikap aneh kepadaku setelah berkenalan dengan beberapa orang baru di sekolah. Dia mulai meminta barang-barang dengan harga mahal dan bahkan meminta uang padaku. Sejujurnya aku tidak mempermasalahkan itu tapi sifatnya yang begini bukan dia yang aku kenal. Selama kami berteman dia tidak pernah meminta apapun ke aku dengan cara yang seperti ini. Aku curiga dia mulai terpengaruh oleh orang-orang itu. Tapi saat aku memberinya peringatan dengan menolak apa yang dia minta, dia malah memprovokasi orang-orang itu untuk mem-bully aku.  Hal ini terjadi beberapa kali sampai aku muak dengan semua tingkahnya. Akhirnya aku menceritakan semua kejadian yang aku alami kepada Daniel. Setelah itu orang tuaku memindahkan aku ke sekolah lain dan dia tidak pernah menghubungiku lagi. Aku tidak tau bagaimana kabarnya sekarang. Ya, itu semua hanya masa laluku yang buruk. Terkadang orang yang berada di dekat kita bisa jauh lebih menyakiti daripada yang dilakukan oleh orang lain. Sejak saat itu aku tidak mudah percaya dengan orang lain. Semua ingatan buruk ini membuatku kehilangan semangat. Aku akhirnya memutuskan untuk pulang ke rumah. Sesampainya di rumah aku langsung masuk kamar dan melemparkan tubuhku ke kasur. Hari ini terasa sangat melelahkan. Aku memejamkan mata untuk merasakan kenyamanan kasurku. Ting... Suara ponsel mengagetkanku. Aku buru-buru mengambilnya. Ternyata ada sebuah pesan dari Daniel. Setelah kubuka ternyata Daniel hanya mengirimkan foto dirinya yang sedang berada di Namsan Tower. Dia hanya mau pamer ternyata. Kemudian aku teringat foto jadwal jaga perpustakaan tadi. Aku membuka foto itu dan mengamatinya untuk memastikan ada nama Xavier Brooke. Dan ternyata memang tidak ada nama Xavier Brooke di sana. Lalu siapa Viro itu? Aku melihat foto itu berulang kali sambil memperbesar foto itu, berharap ada sebuah petunjuk di sana, tapi sampai sekarang aku benar-benar tidak melihat nama Xavier Brooke atau pun Viro di sana. Oke aku menyerah. Lalu apa yang harus aku lakukan sekarang? Ini masih pukul sembilan malam dan terlalu dini untuk tidur.  “Siren,” ucapku spontan. Buku yang aku pinjam. Aku akan membacanya dalam satu malam. Aku mulai membuka halaman pertama, lalu halaman kedua, kemudian halaman ketiga. Ada apa dengan buku ini? Kenapa tiga halaman pertamanya kosong? Aku kembali membuka buku itu sampai halaman yang ketujuh. Aku mulai berpikir bahwa buku ini tidak memiliki tulisan untuk dibaca. Kemudian aku membuka halaman kedelapan. "Buku ini dibuat oleh Siren dari Siren untuk Siren." Hmm ... Menarik. Dibawah tulisan itu terdapat tiga lembar sisik. Bentuknya mirip sisik ikan tapi lebih besar. Bahkan terlalu besar jika disebut sisik ikan. Diameternya sekitar satu setengah inci dan bagusnya lagi sisik itu berwarna kebiruan. Aku suka warna biru. Apakah ini sisik yang dimiliki oleh siren? Sepertinya aku pernah melihatnya di SNS milik Viro tentang konspirasi keberadaan Bangsa Siren. Tapi aku rasa itu tidak mungkin. Aku kembali melanjutkan membuka halaman selanjutnya dan membiarkan sisik itu pada tempatnya.     "Aku adalah masa lalumu dan masa depanmu     Masa yang tidak akan pernah kamu duga     Darah ku mengalir di dalam darahmu      Jiwamu berada dalam genggamanku     Di antara birunya laut dan birunya langit, di dalam merahnya pasir dan karang     Mereka berdiri di sana menunggu Siren, sang Ratu." Tulisan ini membuatku merinding. Mungkin karena namaku Siren dan aku takut ada orang lain yang ingin membunuhku. Tapi kata-kata itu seperti tidak asing. Mungkin hanya perasaanku saja. Aku membuka halaman demi halaman pada buku itu dan isinya membuatku ingin menangis. Aku sama sekali tidak bisa membacanya. Huruf yang digunakan begitu asing. Tapi di sana terdapat gambar-gambar yang mungkin berhubungan dengan isinya.      Di tengah buku itu terdapat gambar sisik seperti yang berada di halaman depan tadi. Kemudian terdapat gambar pantai. Di pantai itu terdapat tebing-tebing dan karang yang sangat besar dan hampir menutupi semua jalan menuju ke daratan. Ada sesuatu yang menarik perhatianku. Di salah satu ujung tebing itu terdapat sebuah pintu kecil.  Tunggu, sebuah pintu?  Bagaimana bisa terdapat sebuah pintu di sebuah karang? Aneh.  Mungkin buku ini adalah novel fiksi yang ditulis oleh seseorang. Aku tidak tahu. Tok tok tok... "Siren." Seseorang memanggilku dari depan pintu kamar. Aku bergegas menaruh buku itu di meja dan membuka pintu kamar. Betapa terkejutnya aku, ternyata itu adalah ... Daniel! "Kakak? Kenapa baru pulang sekarang?" kataku sambil menghambur ke pelukan Daniel. "Aku baru bisa pulang sekarang Siren, besok kalau kamu udah lulus kuliah kamu bisa ikut kakak mengurus perusahaan," kata Daniel sambil mengelus kepalaku. Aku mendongakkan kepalaku dan tersenyum, "Oleh-olehnya?" tanyaku. "Hah, dasar bocah satu ini! Aku baru pulang bukannya tanya kabar malah tanya oleh-oleh" Daniel langsung melepas pelukan kami dan berjalan pergi meninggalkanku menuju lantai bawah. Aku menyusul Daniel ke lantai bawah. Ternyata di ruang tamu sudah terdapat tiga buah koper yang berukuran besar, bahkan aku muat masuk ke dalam koper itu. "Kakak sampai kapan di rumah?" tanyaku. "Lama," jawabnya singkat sambil mengambil jaketnya yang tergeletak di lantai. "Ya sampai kapan?" tanyaku lagi. Daniel menghentikan langkahnya dan melihatku, "Selama yang kamu inginkan." "Iihh, serius Daniel." "Sampai bulan depan." "Nah bagus. Antar jemput aku ya kak." "No no, aku kesini mau liburan bukan mau jadi tukang ojek." "Menyebalkan. Jadi yang mana oleh-olehku?" "Tuh, aku jadi beli koper baru karena oleh-oleh buatmu terlalu banyak," ucapnya sambil menunjuk ke arah sebuah koper yang berwarna biru. "Aku kan tidak minta oleh-oleh sebanyak itu. Tapi, terimakasih Daniel!" Dengan semangat aku membuka koper itu. "Baju, makanan, boneka, dan ... kosmetik. Tunggu, Camellia Flame? Bukankah ini nama perusahaan kita?" "Kejutan! Aku baru mengembangkan bisnis keluarga kita ke bidang kosmetik. Dan perusahaan ini aku dirikan untukmu Siren." "Serius? Wow, hebat sekali. Terimakasih Daniel! Aku tidak menyangka kau akan membuat sebuah perusahaan untukku. Kau harus membawaku kesana," ucapku antusias. "Panggil aku kakak, sopan lah sedikit. Liburan besok kita ke sana." "Oke. Terimakasih Kak Daniel. Aku akan merapikan ini. Bawalah kopermu ke atas kak, aku tidak ingin membereskannya." "Baiklah," jawabnya dengan suara lesu. Aku tidak menyangka kakak memperhatikan aku sampai seperti itu. Bahkan aku saja tidak memikirkan masa depanku sendiri. Beruntungnya aku memiliki kakak seperti Daniel. Setelah membongkar koper, aku membawa barang-barang itu masuk ke kamarku. Harus aku apakan barang-barang ini? Kakak terlalu berlebihan. Aku mengambil bedak padat dari tumpukan kosmetik yang diberikan kakak. Aku membaca nama kotak kosmetik itu. "Camellia Flame." Tiba-tiba ada sebuah cahaya menyilaukan muncul dari meja di sudut kamarku. Kemudian cahaya itu hilang setelah beberapa detik. Aku mencari sumber cahaya tadi. Tapi aku tidak menemukan apa pun di meja selain buku perpustakaan yang aku pinjam dan sebuah vas bunga. Apakah cahaya tadi itu nyata? Mungkin tidak.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD