Penyamaran!

1636 Words
“Kasus narkoba makin hari makin marak terjadi di masyarakat. Kita bahkan menerima puluhan aduan yang sama terkait kasus tersebut.” Fadi menatap ponselnya sesaat lalu kembali fokus pada pembahasaan yang sedang dibicarakan oleh komandanya diiringi helaan nafas berat. “Target mereka kini bukan lagi para artis muda, mahasiswa dan anak remaja. Para bajjingan itu kini menyerang anak-anak dibawah usia lima belas tahun.” Pria berambut kelabu itu mengadakan rapat darurat di jam yang menunjukkan pukul dua lewat dan sepagi ini komandanya meminta menghadap. Matanya masih mengantuk mendadak segar dan itu bukan karena segelas kopi yang mengepul yang baru aja dia buat, melainkan berkas tebal dan barang bukti di hadapannya. Sembari menyesap kopi, Fadi mengamati satu persatu foto para korban. Dari banyaknya foto yang berada di depan matanya, semua korban kebanyakan anak laki-laki dan korban seusia bocah tampan tetangganya yang sudah beberapa hari ini tak pernah dilihat lagi. “Tim lain yang menangani kasus ini berhasil menemukan obat jenis baru yang sengaja diselundupkan pada mainan dan jajanan anak-anak.” “Kenapa Komandan berbicara yang bukan jobdesk kita?” tanya Fadi, ekspresinya bingung karena yang dibahas komandannya kasus di luar jobdesknya. Pria berambut kelabu itu mendengus pelan, satu tanganya menarik kursi lalu duduk saling berhadapan dengan anak buah kesayangannya itu. “Lo benar, Fad. Ini memang bukan jobdesk kita. Tapi ini darurat,” katanya, mimik wajahnya menunjukkan keseriusan. Gurat-gurat hitam dan lingkaran di bawah matanya menandakan pria itu lelah dan kurang tidur. “Banyaknya aduan masyarakat yang membludak membuat para petinggi mengadakan rapat darurat tadi malam.” Bahkan dia sama sekali belum tidur apalagi pulang ke rumah. “Selagi tim yang bersangkutan mengejar para pengedar lainnya. Petinggi meminta semua jajaran untuk bergabung bersama menuntaskan kasus ini,” ungkapnya memberitahukan hasil rapat. “Dan, kita yang mendapatkan kasus ini?” tebak Fadi. Pria itu manggut-manggut membenarkan. “Anda nggak sedang mengejar promosi jabatan kah, Ndan?” Fadi hanya menebak lagi tapi komandannya justru membalasnya dengan pelototan. “Ini murni tugas yang diberikan oleh atasan kita, Fad. Mereka menunjuk kita.” Tidak ada kebohongan sama sekali, bahkan dia sendiri sampai mencari informasi terkait kasus narkoba ini agar timnya lebih cepat menyelesaikan. “Kenapa lo mau protes gara-gara gue panggil lo kesini pagi buta buat bahas kasus di luar job desk kita, hah?” “Apa saya bisa?” “Bisa,” balasnya cepat. “Bicara aja langsung sama pak Irjen kalo lo nolak kasus ini!” Komandan Sondja bangun dari duduknya tanpa mengurangi pandanganya pada Fadi. “Beliau tahu reputasi lo menangani kasus-kasus besar dan cepat maka dari itu, pak Irjen menunjuk lo dan tim lo untuk menangani kasus yang sudah lama tak kunjung ada hasil ini.” Bukan tak kunjung ada hasil yang Fadi tahu, tapi si pelaku memiliki kebal hukum yang tak mudah dijatuhkan oleh orang lain dengan cara apapun. Dan Fadi sendiri merasa ragu bisa menangani kasus ini sampai selesai sampai membawa si pelaku utama untuk mendekam di penjara dengan hukuman berat. “Lo bersedia atau enggak?” Fadi diam masih dengan pikirannya. “Kalau lo nggak bersedia. Kasus ini akan diserahkan pada tim Axander,” sambungnya. Tim yang sama-sama memiliki reputasi terbaik dalam menangani kasus-kasus besar seperti tim yang dimilikinya. “Saya belum mengatakan tidak, kenapa anda pesimis saya akan menolak kasus ini?” “Karena gue mengenal lo cukup lama, Fadilah! Lo akan menolak kasus besar ini sebelum kasus yang sedang lo tangani saat ini selesai!” Benar, Fadi sedang menangani kasus kematian artis ternama yang meninggal secara misterius biasanya dia akan menolak kasus apapun jika kasus yang ditangani belum selesai apalagi kasus kali ini diluar job desk nya. “Fokuslah pada kasus besar ini, biar kasus itu gue yang tangani. Kita nggak punya banyak waktu lagi karena petinggi ingin kasus ini segera selesai.” Meski nyatanya menangkap si pelaku tak semudah dengan kata-kata, usaha keras yang sudah-sudah pun mereka gagal dan tim lain yang tidak berhasil meringkus si pelaku itu. “Carilah barang bukti sebanyak-banyaknya agar si bajjingan itu tak berkilah lagi dan tangkap orang-orang dibelakang pria itu yang selama ini melindunginya,” perintahnya, si pelaku tidak akan berkutik lagi jika satu kartu as-nya kebongkar. “Astaga, ini foto ketua gembong narkoba yang kebal hukum itu?” Fadi menunjukkan foto tersangka dengan ekspresi tak percaya, matanya membelalak kaget dengan foto yang terlampir di berkas tebal. Si pelaku yang sering keluar masuk penjara. Komandan Sondja mendengus menatap Fadi dengan ekspresi jijik. “Dia Lucas Wardana itu?” sambungnya. Pria manggut-manggut membenarkan. “Wajah lo sangat menjijikan Fadilah seolah lo belum pernah melihat penjahat berwajah rupawan dengan segudang prestasi dalam dunia bisnis.” Bukan belum pernah, hanya saja wajah si pelaku yang menyerupai bajjingan penggila wanita tidak cocok di gembor-gembor sebagai ketua gembong narkoba. “Anda yakin pria ini ketuanya?” Ada banyak keraguan saat melihat foto si pelaku begitu juga dengan kejahatannya. “Dia memang masih muda. Ya, mungkin seusiamu. Tapi jangan menilai orang dari covernya, Fadilah.” Komandan Sondja mengingatkan hal itu, “Karena kita tidak tahu seburuk apa pria itu di luaran sana sekalipun memiliki wajah yang rupawan.” “Berapa lama waktunya?” “Sebulan dari sekarang.” Fadi bangun dari duduknya merapikan semua berkas di atas mejanya waktunya tidak banyak dan dia harus segera menindak lanjuti kasus besar ini. Namun, sebelum Fadi pergi dari ruangan komandan Sondja dia berkata, “Hubungi number itu, dia akan membantumu menemukan keberadaan Lucas Wardana.” “Anda memiliki informan, Ndan?” Komandan Sondja berikan senyuman lebar sebagai jawaban dia pergi meninggalkan Fadi dengan tanya besar begitu juga dengan posisi si pelaku yang kini sedang berada di Bali. “Bagaimana menurutmu, Kak Lisa?” Gadis berambut pirang itu bertanya sambil menunjuk gaun berwarna biru tua yang memikat matanya. Di depan cermin besar dia berputar lalu berbalik ke arah dimana calon kakak iparnya berada. “Apa gaun ini terlalu mencolok untukku?” Gadis itu bertanya kembali dengan wajah yang berseri ceria. Wanita yang duduk dengan anggun di single sofa berikan senyuman. “Gaun itu cantik, potongnya sangat sempurna di tubuhmu, Bella.” Sontak gadis bernama Bella itu berjalan cepat menghampiri wanita tersebut untuk dipeluk diiringi ucapan terima kasih dengan pendapatnya yang sangat membantu. “Warnanya, Kak,” Bella mengeluh, ekspresinya terlihat manja. “Sedikit mencolok di pesta nanti tapi itu bukannya lebih bagus—menarik perhatian yang tepat?” ujarnya diiringi tawa kecil. Bella kembali memeluk Lalisa, dia paham maksud calon kakak iparnya. “Aku akan membelinya.” Bella melepaskan pelukannya dan bangun setelah wanita cantik itu memberikan kartu kreditnya. “Ini untuk apa?” “Membayar gaunmu?” Bella mencebikkan bibirnya matanya berkaca-kaca menatap kakak iparnya, dia kembali memeluk Lalisanya. Sumpah demi apa baru kali ini Bella sangat beruntung mendapatkan calon kakak ipar yang begitu perhatian dan tulus padanya. Namun, dibalik semua kebaikan Lalisa jelas gadis itu tak pernah tahu arti dari senyumannya yang selama ini ditunjukan oleh Lalisa begitu juga pikiranya yang tak pernah berhenti berpikir. Lalisa adalah Gistha yang sedang menjalankan misi penyamaran, seperti inilah missionShith yang diberikan oleh Antony, tak hanya si target yang Gistha luluhkan tapi juga semua keluarganya termasuk adik kesayangannya ini. “Kakakku sudah mentransfer uang untuk belanja.” “Simpanlah, oke,” pinta Gistha yang dianggukan Bella siap. Gadis itu terlihat senang, berjalan menuju kasir untuk membayar apa yang dibelinya dengan kartu debit bertuliskan nama Lalisa Miller. Gistha tersenyum menawan permainan ini semakin menarik meski—ya Gistha harus berhati-hati karena gerak geriknya selalu diawasi oleh para bodyguardnya termasuk seseorang yang sudah beberapa menit lalu berdiri di sudut butik. Seorang pria yang tak lepas mengamati—mendengarkan obrolan nya bersama adik kesayangan. “Apa kalian sudah menemukan gaun yang cocok untuk pesta nanti malam?” Sang kekasih akhirnya muncul berjalan mendekati Gistha. Dia tak bisa lama-lama mengamati wanitanya yang telah membuat hidupnya bahagia. Gistha bangun menyambut sang kekasih dengan pelukan dan kecupan lembut di pipinya sementara si pria menarik pinggang rampingnya dan membalasnya mengecup keningnya. “Aku sudah menemukannya, tapi Kak Lisa belum,” tunjuk Bella pada Gistha. Pria itu menatap Gistha seolah bertanya, kenapa kau tidak membeli gaun untuk pesta nanti malam. “Kak Lisa bilang gaun ini sangat sempurna untukku apa pendapatmu, Kak?” “Kalau Lalisaku yang bilang, aku juga sama,” tatapannya pada sang kekasih terlihat penuh cinta. “Aku yakin gaun itu akan terlihat sempurna untukmu.” “Pendapat kalian luar biasa, aku jadi tak sabar ingin segera menghadiri pesta malam nanti. Kalian terbaik,” ucap Bella diiringi senyuman bahagia. “Kenapa kamu tidak membeli gaun untuk pesta sahabatku nanti, hm?” Dia merengkuh tubuh Gistha. “Kamu membelikanku banyak gaun bagaimana aku membeli lagi sementara gaun yang kamu belikan belum aku pakai semua?” Pria tak lain Lucas Wardana membalikan tubuh sang kekasih untuk ditatap dari jarak yang dekat. “Aku sudah mentransfer uang untuk dia belanja kenapa kamu yang membayar tagihannya, hm?” “Dari mana kamu tahu aku membayar belanjaan, Bella?” Lucas menyipitkan mata jelas dia tahu wanitanya memberikan kartu debitnya pada sang adik. “Aku akan menggantikan uangmu, sayang.” “Tidak usah,” tolak Gistha. Lucas menggenggam erat tangan Gistha lalu mengecup punggung tangannya. “Meski kamu menolak aku akan tetap mengganti uangmu.” Lucas mengambil dompetnya dari saku jasnya. Dia memberikan black card ke tangan Gistha. “Nanti lagi kalo kalian mau shoping pake kartuku, oke?” Ditatap memuja seperti itu membuat ujung hati Gistha tercubit. Gistha bisa merasakan tatapan Lucas yang tulus. Pria itu sangat berbeda dari target misi-misinya terdahulu padahal Gistha sudah membaca profil tentang Lucas Wardana yang digembor-gembor ketua bandar narkoba se-asia yang tak mudah jatuh cinta. Lucas membenci cinta karena masa lalunya yang menyakitkan tapi sekarang.... Lucas terlihat tulus mencintainya. Selama dekat dengan Bella, Gistha jadi tahu tentang pria itu secara nyata. Lucas tak mudah mencinta wanita dan Lalisa adalah sumber kebahagian pria itu. “Lapor, Ndan. Saya punya informasi penting.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD