Segitiga Berenda!

1761 Words
“Lo dari mana aja anjjir ngilang gak jelas, mana ponsel lo nggak aktif lagi!” decak Rion diiringi lirikan tajam dimana Fadi baru saja masuk ke dalam kamar hotelnya. “Mentang-mentang semalem sama cewek lo lupa sama tugas lo dan kita-kita, Fadi. Ck! nggak profesional, lo!” Fadi menatap Rion dengan helaan nafas, dalam diamnya dia tidak terima dikatakan seperti itu. Kapan seorang Fadilah Isnandi tidak bersikap profesional sepanjang menjalankan misi-misinya? Belum pernah. Hanya kali ini saja dia lalai, semua itu karena wanita asing sialan itu yang mengajaknya bercintta. “Sorry. Gue salah,” akui Fadi, tak ingin memperpanjang masalah. “Simpan aja,” balas Rion seraya menarik kursi lalu duduk saling berhadapan dengan Fadi. “Gue ngomong kayak gini sama lo, karena gue takut lo dalam bahaya, Fad. Target kita kali ini bukan orang biasa. Ingat, tim sebelumnya yang gagal menangani misi ini, mereka kembali bukan dengan keberhasilan tetapi kegagalan membawa anggota timnya pulang dengan utuh.” Misi kali ini jelas sangat berbahaya, Rion tahu Fadi juga sudah mengetahui desas desus missi yang tak pernah selesai ini. “Yang gue kesalkan, lo mematikan alat pelacak.” Hilangnya Fadi semalam membuat Rion teringat dengan cerita ketua tim 4 yang menghilang setelah semalam bersama seorang wanita dan endingnya orang itu ditemukan meninggal. Fadi terdiam dengan pikirannya, malam itu sangat memalukan sepanjang hidupnya maka dari itu dia mematikan alat pelacak. Hatinya masih kesal karena wanita itu pergi meninggalkannya begitu saja. Sialnya lagi, wanita itu pergi meninggalkan kenang-kenangan yang tidak akan bisa Fadi lupakan. Ya, jejak merah disekujur dadanya, geramnya wanita itu pergi meninggalkan segitiga berenda dan benda berharga yang sedang digenggam di balik saku jas hitamnya. Cincin berlian asli. “Kita kehilangan Lucas, Fad.” Perkataan Rion sukses menarik paksa Fadi dari lamunan tentang wanita itu. “Dia sudah pergi meninggalkan Bali malam itu juga. Kabar buruknya kita kehilangan jejak dia sampai siang ini.” Tangan Fadi terkepal kuat seraya menyesali perbuatanya, sekalipun dia kehilangan jejak keberadaan si pelaku Fadi tahu pada siapa dia harus menghubungi untuk mencari keberadaannya. ‘Ya Tuhan. Hah, bagaimana ini,’ batin Gistha gelisah, Berulang kali berusaha melupakan kejadian itu sayangnya tidak semudah itu. ‘Oke, nggak usah diingat-ingat, Gish. Lupakanlah toh lo nggak akan bertemu lagi,’ kata hati Gistha mengingatkan. Melupakan kejadian menjijikan itu tak semudah itu, sedari tadi dia duduk di kursi santai sembari memandangi gedung tinggi pencakar langit dan awan yang membentang indah di langit yang biru nan cerah sayangnya secarah cuaca pagi ini tak mampu mengalahkan pikirannya yang kalut. Sudah dua hari ini Gistha stress dengan perbuatan bodohnya. ‘Ya Tuhan, apa yang sudah aku lakukan,’ batin Gistha menggeram keras. “Kak Lisa,” Bella memanggil diiringi lambaian tangan. “Ayolah gabung kita berenang bersama,” ajak Bella. “Kakak nggak bisa berenang, hehehe....” kata Gistha disertai cengiran. Bella tertawa di depan sana, lalu kembali berenang bersama kekasihnya sementara Gistha kembali diam. Kepalanya masih ramai, potongan kejadian malam yang terus berputar tiba-tiba berhenti dengan getaran ponselnya. ‘Aku kembali ke rumah.’ Mata Gistha sontak terbelalak membaca pesan masuk dari putranya. “Aku tak memintamu untuk kembali ke rumah sebelum aku pulang! Tetaplah bersama mami disana, Nak.” ‘Aku sudah meminta izin sama mami. Ada barangku yang tertinggal makanya aku pulang ke rumah untuk mengambilnya,’ balas Gavien. Gistha mendengus, otaknya yang tadi terisi banyak adegan menjijikan jadi terganti dengan perkataan Gavien. Kira-kira barang apa yang tertinggal setelah tiga minggu mereka pergi dan Gavien berada di tempat yang aman? ‘Apa Ibu ingin tahu bagaimana kondisi rumah kita?’ Gavien bertanya kembali ketika ibunya tak memberi respon meski status di ponselnya online. ‘Ternyata masih banyak orang-orang yang berdatangan ke rumah kita mencarimu, Bu. Bahkan aku menemukan beberapa kaca rumah kita yang pecah entah ulah siapa. Orang-orang disana pun menatapku dengan tatapan aneh padahal aku masuk ke rumahku sendiri,’ kata Gavien sedikit bercerita tentang kondisi rumahnya sekarang. Dadda Gistha bergemuruh keras, sampai kapan dia akan hidup seperti ini dikejar-kejar orang tiap harinya. ‘Aku harus segera menyelesaikan misi ini agar aku segera membayar hutang-hutang itu dan kembali hidup tenang bersama Gavien,’ batin Gistha. “Abaikan,” balas Gistha singkat dan tegas. “Cepat pulang ke rumah mami Yumi. Ibu tidak mau mami mu pusing mencari keberadaanmu, Gav!” kata Gistha mengingatkan Gavien. Ayumie sahabatnya memiliki dua anak dan pastinya sangat repot dititipkan Gavien yang sedikit pembangkang meski Ayumie senang dengan adanya Gavien di rumahnya tetap saja Gistha tidak enak hati menitipkan Gavien terlalu lama. ‘Kapan Ibu pulang, aku rindu.’ Kata Gavien lagi. “Ibu juga rindu, Nak,” balas Gistha dalam hati. Tersadar dengan posisinya yang selalu diawasi, Gistha harus segera mengakhiri bertukar pesan dengan putranya di sela matanya menyipit menyisir sekitar tempat tersebut. Orang-orang Lucas masih berdiri di posisinya meski jauh tetap saja Gistha harus waspada. ‘Aku harap setelah ini nggak ada misi-misi lagi, oke,’ kata Gavien ketika mendapati ibunya slow respon. ‘Nggak ada lagi debat. Ini misi sialan terakhir, Ibu.’ Gistha bukan tidak mau membalas tapi hatinya mulai tak tenang berkomunikasi dengan putranya di tempat terbuka seperti ini. ‘Lekaslah selesaikan misi sialanmu itu dan kembalilah dengan selamat tanpa terluka. Jika aku melihat ada seujung kuku saja luka di tubuhmu. Aku akan membunuh dua pria yang telah mengajakmu melakukan pekerjaan bahaya ini!’ Mata Gistha melotot, senyuman yang tadinya melengkung mendadak sirna seiring membaca ancaman Gavien. Kenapa kata-kata yang terdengar penuh emosi otak Gistha sudah memperlihatkan ekspresi ketika putranya sedang marah begitu juga semua yang ada di Gavien mengingatkan Gistha pada seseorang yang memiliki wajah yang serupa. Kepingan-kepingan kenangan di masa lalunya bermunculan membuat dadanya semakin sesak. ‘Apa ini hukuman untukku karena aku terlalu membencinya, Tuhan?’ Setetes demi setetes air mata membuat wajah Gistha basah. ‘Tolong hapuslah ingatanku tentang orang itu di otakku. Aku tak mampu lagi mendengarkan suara yang sama, ekspresi yang sama dan sifat posesifnya yang membuat aku semakin sakit. Tuhan, aku sudah memaafkannya. Mohon hapuslah wajah dia dari ingatanku,’ batin Gistha seraya menyeka ujung matanya yang basah. “Oh, my God!” Lamunan Gistha terputus, sepagi ini tak terhitung lagi matanya di kejutkan. “Gue nggak nyangka, ternyata lo menikmati masionShit ini,” sindiran keras itu membuat Gistha bingung apalagi lirikan mata pria itu seolah menunjukkan sesuatu yang tak Gistha paham apa. “Pantasan saja ya malam itu gue kesulitan cari lo. Eh, nggak taunya ini toh jawabanya.” Gistha menatap pria itu semakin bingung tapi pria itu geregetan sendiri. “Tuh cupang nggak kurang banyak? Berapa ronde sampai lo ngilang nggak jelas, hah?” Pria itu lelah berbasa-basi dengan lirikan mata pun dan sindiran pedas pun tak membuat Gistha cepat tanggap eh malah memasang wajah bloon. “Sumpah ya, Gish. Gue baru tahu kalau selama ini lo menikmati misi-misi kita sampai lo berbagai kehangatan sama target kita?” tuduh itu membuat Gistha buru-buru menutupi bagian dadanya yang terbuka. Sepanjang mereka bersama-sama menjalankan misi-misinya dia tahu Gistha tak semudah itu melemparkan tubuhnya pada pria manapun setelah dia tahu wanita itu mengeraskan hatinya karena perbuatan seseorang. Tapi yang dilihatnya ini... sungguh Gistha terlihat seperti w************n meski dia tak bisa menjudge langsung karena itu urusan pribadi temannya. “Malam itu gue mabuk.” “Gue tahu itu. Gue juga lihat lo mabuk sama Lucas,” timpalnya cepat. Gistha memalingkan wajahnya disertai tarikan nafas, Anthony menuntut penjelasannya. “Gue baru tahu kalau minuman itu dicampur obat perangsang.” Pengakuan Gistha sontak membuat Antony membulatkan mata. “Entah apa yang terjadi malam itu. Tapi gue tidak melakukannya sama Lucas.” Satu alis Antony terangkat, otaknya jadi ramai dengan banyaknya pertanyaan konyol. “Terus lo bercintta sama siapa sampai sebuas itu, hm?” Tapi Gistha hanya diam enggan menjawab pertanyaan Antony, selain malu Gistha sendiri tidak tahu siapa nama pria itu hanya saja wajah tampannya tanpa topeng itu masih membekas di ingatannya apalagi ciumannya itu... Gistha memejamkan matanya. Ah—bagaimana dia begitu murahan sekali memaksa pria asing untuk memuaskan nafsunya. Teringat sesuatu Gistha jadi takut meski—ya malam itu Gistha sedikit beruntung Lucas tidak mencari apalagi menanyakan keberadaannya malam itu. “Terus lo kenapa nangis?” Antony masih penasaran, takutnya penyamaran ini mudah dibaca oleh seseorang dimana selangkah lagi mereka akan berhasil menyelesaikan misi ini. “Lo berantem sama si babe atau lo lagi kangen sama Gavien?” Lagi, lagi mata Gistha membulat syok dia bangkit dari duduknya lalu membekap mulut Antony. Gistha menatap marah karena Antony membawa nama putranya di tempat terbuka seperti ini. “Ssst… tolong pelankan suara lo yang kayak toa masjid itu, Antony,” geram Gistha. “Gue nggak mau anak buah Lucas mendengarkan pembicaraan kita!” “Nggak usah cemas gitu kali.” Antony melepaskan tangan Gistha, anak matanya menunjukkan pada Gistha keberadaan Bella yang jauh dari posisinya. “Dia nggak akan denger obrolan kita apalagi lapor sama kakaknya.” Antony menepuk kursi sampingnya meminta Gistha kembali duduk. “Bodyguard laki lo juga posisinya jauh dan gue udah kroscek area ini. Nggak ada alat penyadap. Hanya saja ada beberapa pria di seberang sana sejak tadi memperhatikan lo. Kayaknya, mereka lagi ngomongin lo deh.” Raut wajahnya yang khawatir berubah bingung dengan perkataan Anthony, Gistha yang penasaran mengikuti arah yang diinstruksikan temannya itu. “Seyakin itu mereka ngomongin gue?” tanya Gistha ragu tapi Antony menjawab dengan anggukan dan ekspresi sangat yakin. “Tau darimana?” “Just feeling.” Gistha mendengus jengah, kadang—ya otak Antony tidak bisa ditebak tiga minggu berperan sebagai waria membuat teman prianya itu mendadak cenayang. “Nggak usah kepedean juga, barangkali aja mereka lagi ngomongin wanita cantik dan seksi di kolam ini yang pantas dilirik dan di goda?” Gistha benar, ada puluhan wanita cantik dan seksi di kolam renang ini. Tapi feelingnya berkata lain jika kelima pria itu sejak tadi memperhatikan temannya bukan wanita lain. “Gue sama sekali tidak menarik perhatian siapapun,” sambungnya. “Kata siapa?” protes Antony dengan mata melotot. Meski Gistha salah mengenakan outfit memakai pakaian pantai yang sopan dan tertutup di kolam renang ini. Tak dipungkiri sejak wanita itu duduk banyak pasang mata laki-laki yang tak berhenti melirik dan menatapnya. Siapa sih yang tidak mengenal Lalisa Milier termasuk kelima pria tampan di seberang sana. “Gue dari tadi memantau mereka kali. Entahlah kenapa feeling gue semakin kuat jika nanti salah satu mereka akan mendekati lo.” “Untuk apa?” tanya Gistha lebih bingung lagi. Sebelum menunggu jawaban pertanyaan Gistha, Antony hanya bisa diam menunggu Adam memberikan data diri kelima pria itu sementara Gistha kembali memandangi kelima pria tampan di seberang sana. Ketika matanya bersiborok dengan salah satu dari kelima pria tersebut, mata Gistha melotot. “D-dia...”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD