bc

Berawal dari Kesalahan

book_age18+
5.1K
FOLLOW
28.4K
READ
billionaire
revenge
possessive
scandal
goodgirl
powerful
dare to love and hate
icy
cruel
stubborn
like
intro-logo
Blurb

*SEDANG REVISI DIALOG*

Aliza Arabella, mahasiswi cantik yang selalu menghabiskan waktunya di dalam rumah, tidak bergaul seperti kebanyakan wanita lajang. Namun, terjadi sesuatu hingga dirinya menjadi korban salah tangkap. Hal itu karena wajahnya sangat mirip dengan target incaran Ethan Immanuel dan orang-orang suruhannya.

Namun, bagaimana jadinya jika Ethan tetap menyandera Aliza karena alasan lain? Meski Ethan tahu Aliza bukanlah wanita yang dicarinya, ia tetap memperlakukannya seperti seorang penjahat, putri dari pelaku pembunuhan kedua orang tuanya.

“Dengar, kau akan tetap di sini sebagai sanderaku sampai gadis yang sedang kucari sudah ditemukan.” Ethan berdiri di tempatnya, mengamati wanita tak berdaya di hadapannya.

“Siapa yang kamu cari? Apa hubungannya denganku? Kamu mencari wanita yang bernama Sania? Kamu kira aku Sania? Kamu buta? Aku bukan Sania!” teriak Aliza frustasi.

Bagaimana kisah yang diawali sebuah kesalahan ini akan berakhir bahagia dan melengkapi satu sama lain? Ethan yang semula bersikap kasar, berubah menjadi seorang penyelamat untuk Aliza.

Cover by canva pro

chap-preview
Free preview
Berawal Dari Kebohongan
Di dalam sebuah kamar yang tidak terlalu luas, tampak dua wanita sedang merencanakan sesuatu untuk mereka lakukan malam ini. Selesai mengatur rencana, salah satu dari mereka memberanikan diri untuk menghubungi kakaknya. “Kak, nanti aku gak pulang. Ada tugas kuliah yang harus aku kerjain di rumah Rina,” kata Aliza saat Andra menjawab panggilan teleponnya. “Kenapa gak Rina aja yang nginap di rumah kita?” Andra terkesan berat hati untuk memberikan izin. “Papa Rina gak ada di rumah, cuma ada ibunya. Rina gak mungkin tega ninggalin ibunya sendirian.” Aliza berkilah, sudah mempersiapkan kata-kata apa yang harus ia ucapkan untuk berbohong. “Udah bilang ke Papa?” Andra masih ragu. Jika Aliza sudah meminta izin pada sang ayah, artinya tinggal ia yang harus memberi izin. “Papa pasti suruh aku buat minta izin ke Kakak. Jadi langsung aja ngomongnya ke Kak Andra.” Aliza mengeluh, karena memang itu yang akan ayahnya katakan, meminta izin dari kakaknya. Andra terdengar mengembuskan napas lelah sebelum akhirnya berkata, “Ya, udah. Tapi besok pulang kuliah, langsung pulang ke rumah. Jangan ke mana-mana. Awas aja.” “Iya, Kak.” Aliza menyahuti pelan. “Nanti biar Kakak yang bilang sama Papa, kalau kamu ada tugas.” Andra memberi izin dan bertanggung jawab atas Aliza yang tidak akan pulang. “Terima kasih, Kak.” Aliza tersenyum senang sambil mengakhiri sambungan teleponnya. “Yeeee.” Irina langsung bersorak, meloncat-loncat di dalam kamarnya. Senyum yang semula mengembang, kini menghilang dari wajah cantik Aliza. “Rin, tapi aku masih takut. Aku gak pernah datang ke tempat kayak gitu.” Aliza kembali bingung, enggan untuk ikut dengan temannya ke kelab. “Percaya aja. Aku juga gak pernah. Tapi ada Roby di sana.” Irina tak bosan menyakinkan dengan cara menyemangatinya. “Janji, jangan tinggalin aku sendiri. Kalian jangan berduaan.” Aliza memperingati sebelum itu terjadi. “Iya, iya. Yuk, kita siap-siap.” Irina manggut-manggut lalu mengajak Aliza untuk bersiap-siap. Selesai mempersiapkan diri, memakai riasan ringan, Aliza dan Irina keluar dari kamar itu. Mereka berjalan ke arah ruang keluarga, menghampiri kedua orang tua Irina, Syarif dan Desi. Seperti yang dikatakan Aliza kepada Andra, Irina juga mengatakan akan menginap di rumah Aliza kepada orang tuanya. Bukan hanya satu atau dua kali, tetapi Irina memang sering menginap di rumah Aliza dan mereka tidak pernah melarangnya. Hal itu karena Abinaya, ayah Aliza, yang meminta Irina untuk menginap di rumahnya daripada Aliza yang menginap di rumah Irina. Tidak mungkin melarang, Syarif dan Desi mengizinkan Irina untuk pergi. Aliza Arabella adalah putri bungsu di rumah Abinaya Mahardika, seorang pebisnis besar yang namanya sudah tidak asing di kalangan pebisnis tanah air. Terlahir sebagai putri konglomerat di keluarga Mahardika, Aliza tidak seperti kebanyakan gadis seusianya, yaitu 20 tahun. Baik ayahnya ataupun kakaknya, sangat mengekang kegiatan Aliza. Mereka tidak pernah mengizinkannya untuk keluar malam, baik itu bersama wanita ataupun pria. Bahkan, Andra yang sangat mengekang Aliza tidak segan untuk memberi pelajaran kepada pria mana pun yang mendekati adiknya itu. Ibu Aliza sudah meninggal saat Aliza masih kecil, sedangkan ayahnya tidak menikah lagi setelah itu. Tak heran, semua perhatian ayah dan kakaknya hanya tertuju padanya. Namun, Aliza sendiri tidak keberatan akan apa yang dilakukan keluarganya. Ia tidak pernah mengeluh, apalagi berani membantah. Irina yang dibesarkan di keluarga sederhana, tidak membuat Aliza memandang rendah. Begitu pun dengan keluarga Mahardika yang lainnya. Berteman dengan keluarga baik-baik seperti keluarga Irina adalah yang terbaik daripada berteman dengan kasta yang setara tetapi terjerumus ke dalam pergaulan bebas. Ini adalah pertama kalinya Aliza berbohong kepada keluarganya. Sebenarnya ia tidak sedikit pun memiliki keinginan untuk bergaul seperti kebanyakan teman kampusnya, tetapi karena Irina yang memaksa, Aliza pun tidak dapat menolaknya karena Irina sendiri takut datang ke kelab tanpa ditemani. Baru saja memasuki kelab, Aliza sudah tidak kuat karena udara yang dipenuhi asap rokok dari para pengunjung. Penerangan yang dibuat kelap-kelip, membuat kurangnya penangkapan mata. Juga, musik yang berdentum serasa menusuk indera pendengarannya. Bahkan, jantungnya berpacu lebih cepat akibat musik yang memekakkan telinga. Banyak pengunjung yang berjoget tak beraturan, ada pula yang hanya duduk dengan tenang sambil menikmati minuman mereka. Ternyata, bukan hanya Roby yang ada di sana, tetapi teman-temannya juga dan semuanya pria. Aliza makin tidak nyaman, terlebih ia hanya diam sejak datang. Sedangkan Irina, asyik berbincang dengan kekasih juga teman-temannya. Bukan mereka tidak ingin mengajak Aliza untuk mengobrol, tapi justru Aliza yang sejak tadi hanya diam dan menyahuti pertanyaan demi pertanyaan dengan singkat. “Za, kamu tunggu di sini. Bentar aja,” kata Irina setelah cukup lama berbincang. Jelas, Aliza langsung panik, terpancar dari raut wajahnya. “Kalian mau ke mana?” tanyanya sambil melirik ke arah Irina juga Roby. “Bentar aja. Jangan ke mana-mana. Aku cuma bentar,” jawab Irina tak jelas yang malah membuat Aliza semakin panik. “Tapi ke mana? Katanya gak bakal ninggalin aku.” Aliza ikut berdiri, menggandeng tangan Irina seolah tidak mengizinkannya untuk pergi. “Bentar saja, Za. Pokoknya, kamu jangan ke mana-mana.” Kali ini Roby yang bicara, melepaskan tangan Aliza dari lengan kekasihnya dengan kasar. “Jangan lama!” Aliza berteriak saat temannya mulai menjauh. Hal itu tidak luput dari pandangan teman-teman Roby. Sebagian menganggapnya seperti anak kecil karena 'noraknya'. Namun, ada pula yang semakin tertarik untuk menggoda Aliza. Bagaimana tidak? Aliza memiliki wajahnya yang sempurna, cantik di wajahnya bukan karena riasan, tetapi alami. Dari wajahnya saja, semua orang bisa menilai bagaimana gadis itu sangat polos dan malu-malu. Di tempat yang sama, tampak beberapa pria dewasa yang tengah berkumpul, menatap waspada ke arah Aliza. Mereka berbisik-bisik, saling mengawasi gerak-gerik Aliza tanpa Aliza ketahui. Bukan tatapan lapar yang mereka lemparkan, tetapi tatapan mengintimidasi. Salah satu dari mereka berdiri, lalu berjalan menjauhi meja yang diisi teman-temannya. Ia melewati meja yang diisi Aliza dengan tak acuh, tetapi matanya yang tajam seolah ingin memastikan siapa wanita itu. “Pak, saya bertemu perempuan yang selama ini kita cari.” Pria itu berbicara dengan seseorang di ujung telepon. “Yakin?” Lawan bicaranya ingin memastikan informasi yang diterimanya. “Saya yakin. Penampilannya sedikit berubah, tapi itu gak bakal berhasil buat kelabui kami,” jawab pria itu dengan mantap. “Bawa dia ke hadapan saya!” teriak pria yang sedang dihubunginya, terdengar tak sabaran. “Tentu.” Pria yang sangat tinggi bertubuh kekar itu terlihat tunduk kepada pria di sebrang sana. Telepon terputus. Pria itu segera kembali ke meja teman-temannya, kembali melewati Aliza yang sedang menundukkan wajahnya. Duduk di antara teman-temannya, pria itu mengatur rencana agar dapat membawa wanita itu—Aliza dari tempat tersebut untuk mereka serahkan kepada majikannya. Di sisi lain, beberapa teman Roby terus menggoda Aliza. Semakin Aliza merasa risih oleh celotehan yang ada, mereka makin tertarik. Sepertinya gosip yang tersebar tidaklah salah, Aliza memang wanita baik-baik. Ya, Aliza memang dikenal tidak pernah bergaul. Bahkan, Roby yang sudah menjadi kekasih Irina pun tahu akan hal itu. Sedangkan Irina dan Roby sendiri, belum kembali setelah meninggalkan meja beberapa jam yang lalu. Aliza benar-benar tidak mengerti. Apa yang Irina lakukan bersama Roby selama itu? Ke mana mereka pergi? Kenapa meninggalkannya seorang diri? Hanya ada satu wanita di meja yang ditempati teman-teman Roby, yaitu Aliza. Tanpa Aliza sadari, temannya yang bernama Irina kini bukan Irina yang dulu, yang ia kenal wanita baik-baik. Roby yang menjadi kekasihnya telah memberikan pengaruh yang buruk. Roby tidak tampan, atau bisa dikatakan sebanding dengan Irina yang juga biasa saja. Namun, Roby bergabung bersama teman-temannya yang memiliki popularitas tinggi di kampusnya. Tentu, mahasiswi seperti Irina yang tidak memiliki hal yang menarik sangat memuja seorang Roby. Akibatnya, Roby yang sering bermain wanita tidak ingin menyia-nyiakan Irina. Masa bodoh dengan wajahnya yang tidak menarik! Roby sudah cukup senang membuat wanita itu menyerahkan mahkotanya dengan suka rela. Ya, Irina sudah berbeda dari yang Aliza kenal. Seperti saat ini, Irina dan Roby sedang melakukan sesuatu yang tidak seharusnya di dalam kamar yang masih bertempat di kelab itu. Irina hanya tak tahu, bagaimana perasaan Aliza sejak ia meninggalkannya tadi. Rasa tidak nyaman dirasakannya dari berbagai sisi. Tidak nyaman karena udara pengap asap rokok, tidak nyaman karena suara musik yang sangat memekakkan telinga, tidak nyaman dengan tatapan para pria lapar di sana. “Za, minum satu gelas aja gak bakal bikin kamu mabuk. Aku yang jamin, kamu gak bakal nyesel. Sebaliknya, kamu pasti mau lagi dan lagi,” bujuk salah satu teman Roby, menyodorkan gelas berisi minuman beralkohol. Aliza tidak menjawab. Sebuah gelengan di kepalanya sudah cukup baginya untuk merespons. Kepalanya yang tertunduk, tidak dapat melihat reaksi teman-teman Roby yang mentertawakannya dalam diam. “Anak mami, mana kenal minuman keras,” cibir teman Roby yang lainnya. “Ayo, coba aja dulu.” Pria yang tadi menawarkan minuman, tidak henti membujuk Aliza. “Aku mau ke toilet.” Aliza memutuskan untuk pergi akibat makin tak nyaman. Masuk ke dalam toilet, Aliza langsung menghubungi nomor Irina. Sayangnya, temannya itu tak kunjung menjawab meski Aliza sudah berulang kali menghubunginya. Setengah jam di dalam toilet tanpa melakukan apa pun, Irina masih saja tidak menjawab telepon dari Aliza. Tak ingin kembali ke meja yang ditempati teman-teman Roby, Aliza sudah membulatkan niatnya untuk pulang. Bukannya kesal kepada Irina, Aliza malah merasa khawatir, khawatir temannya itu mendapat masalah dan tidak bisa menjawab teleponnya. Ia khawatir Roby melakukan sesuatu pada Irina. Oleh karena itu, Aliza ingin pulang secepatnya dan memberitahu kedua orang tua Irina perihal Irina yang sulit dihubungi. Tanpa berpamitan kepada teman-teman Roby, Aliza langsung keluar dari kelab itu setelah keluar dari toilet. Melihat jam di ponselnya yang menunjukkan pukul satu dini hari, Aliza tidak berani menghubungi kakaknya untuk menjemput. Selain tidak ingin mengganggu istirahat sang kakak yang sudah dipastikan sudah tertidur, Aliza juga tidak ingin dicecari pertanyaan perihal dirinya yang mengunjungi kelab. Oleh karena itu, ia memesan taksi dan kini tinggal menunggu taksi datang. Namun sebelum taksi yang dipesan datang, empat orang pria tiba-tiba muncul dari arah belakang. Salah satunya menutup mulut Aliza dengan gerakan sangat cepat. Tak lama dari itu, Aliza tak sadarkan diri. Keempat pria itu lantas membawa Aliza ke dalam mobil. Mobil bergerak sangat cepat, melaju kencang tanpa hambatan karena hari sudah sangat malam. Satu setengah jam di perjalanan, mobil itu berhenti tepat di depan rumah bercat putih. Mereka semua keluar dari mobil, dan salah satunya menggendong Aliza ke dalam rumah berlantai tiga itu.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

My Secret Little Wife

read
97.9K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
205.8K
bc

Siap, Mas Bos!

read
13.3K
bc

Tentang Cinta Kita

read
190.2K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.6K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.4K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook