Cemburu

2525 Words
BTARI: CEMBURU Aku masih marah sama Bang Hans, ya. Tapi bodohnya masih menunggu lelaki itu pulang padahal jam sudah hampir tengah malam. Aku baru aja selesai mengerjakan tugas kuliah dan bersiap akan pergi tidur. Tapi, aku baru ingat kalau Bang Hans belum pulang juga sampai sekarang. Dengan menahan rasa jengkel dan kesal sejak tiga hari lalu gara-gara kedatangan Kak Nora, sebenarnya aku malas banget kalau harus ngomong sama Bang Hans. Aku berusaha menghindari Bang Hans, bertatap muka, apa lagi diajak berbicara. Kalau biasanya aku selalu menempel sama lelaki itu, sekarang nggak lagi. Entah karena lagi kesal, atau sedang mempersiapkan diri kalau suatu hari nanti Bang Hans pada akhirnya balikan sama Kak Nora. Semua bisa aja terjadi, kan? Nggak menutup kemungkinan kalau Bang Hans akan pacaran lagi sama Kak Nora. Atau, bisa aja langsung menikah. Jodoh nggak ada yang tahu. Kak Nora cantik, Kak Nora baik, pintar dan pandai merawat diri. Bayangkan kalau suatu hari nanti Kak Nora menikah sama Bang Hans, aku yakin Abang nggak bakalan kesulitan. Segala sesuatunya bisa diurus dengan baik sama Kak Nora. "Nomor yang Anda tuju tidak dapat dihubungi." Belasan kali aku berusaha menghubungi nomor telepon Bang Hans, dan selama itu nggak ada satu panggilan pun yang direspons. Kalau memang Abang lagi lembur, memangnya nggak bisa mengirim pesan, ya? Lelaki mapan kayak Bang Hans nggak mampu beli pulsa? Aku melempar ponsel ke atas meja lalu duduk ke sofa, menyandarkan kepala ke punggung sofa dan memejamkan mata selama beberapa detik. Akhir-akhir ini aku jadi susah tidur, nggak berhenti memikirkan hubungan macam apa yang terjalin di antara Kak Nora dan Bang Hans. Semenjak putus sama perempuan itu, Abang nggak pernah pacaran lagi, belum ada perempuan yang berhasil menarik perhatian Bang Hans. Ibu selalu nanya, kapan Abang menikah? Kapan anak tertuanya akan membawa calon menantu untuk dikenalkan ke Ayah sama Ibu? Bang Hans nggak memberi jawaban yang jelas. Lelaki berusia tiga puluh tahun itu hanya mengatakan ingin fokus bekerja dan menjaga keuarganya, kami, untuk saat ini. Aku menaikkan kedua kaki ke atas sofa, merubah posisi duduk menjadi berbaring. Berkali-kali aku berusaha memejamkan mata, tapi nggak berhasil. Padahal aku ngantuk, banget. Cuma nggak bisa tidur. Mungkin karena aku punya kebiasaan selalu menunggu Bang Hans pulang, baru setelah itu aku pergi tidur. Nelangsa banget nggak, sih, suka sama seseorang yang susah digapai kayak Bang Hans? Apa lagi lelaki itu Abang kamu sendiri. Ah, nggak. Bukan Abang kandung. Tetapi lelaki yang sudah menjadi Abang angkat kamu bertahun-tahun lamanya. Aku sama Bang Hans tinggal dan diasuh oleh orangtua yang sama. Meskipun aku cuma anak angkat mereka, Ayah sama Ibu nggak pernah membeda-bedakan aku sama Kak Chua sebagai anak perempuan mereka. Malahan, menurut Nao, Ayah sama Ibu lebih memanjakan aku ketimbang Kak Chua. Seringkali aku memancing reaksi Bang Hans dengan menceritakan beberapa cowok yang naksir aku, bahkan hampir setiap hari selalu ada aja yang ngasih kado dan hadiah padahal aku udah menolak. Abang mengerutkan dahi, memandangi aku selama beberapa detik, kemudian kalimat yang meluncur adalah, "Cie! Banyak naksir Kakak Btari, nih." katanya, seketika sukses menghancurkan perasaan. Aku tuh maunya Bang Hans bilang nggak suka atau melarang aku buat nggak merespons cowokcowok itu. Bukannya malah meledek dan berakhir bikin mood aku anjlok. Ayolah, apa selama ini Abang nggak paham juga kalau orang yang aku suka, itu dia sendiri? Apa kurang jelas kata-kata aku selama ini? Ah, ya. Aku lupa. Bang Hans selalu menganggap kata-kataku sebagai bahan candaan. Iya. Bahan candaan. Aku mendengus, kemudian menertawakan diri sendiri. Memang benar, ya. Cinta bisa membuat orang bodoh. Dan aku salah satunya. Sudah tahu Bang Hans nggak mempunyai perasaan apa pun sama aku, tapi aku masih aja kekeuh bertahan. "Kok, masih di sini?" Seketika aku membuka mata lebar-lebar. Entah sejak kapan lelaki itu ada di belakang sofa dan memandangiku dengan kerutan di dahi. Aku mendongakkan kepala, balas menatap wajah ganteng Bang Hans. Oh! Tunggu. Ada apa? Kenapa sama wajah gantengnya? Spontan aku berdiri dan mendekati Bang Hans yang tampak terkejut lalu mundur beberapa langkah berusaha menghindari dengan memegangi setengah wajahnya. Aku berjinjit, sebelah tanganku menarik pipinya untuk memperjelas pandanganku. "Abang kenapa?" tanyaku sembari menggerakkan pipinya ke kanan dan ke kiri. Bang Hans menarik tanganku menjauhi wajahnya, pelan. "Abis jatuh." Aku melipat kedua tangan di d**a, lantas berseru. "Bohong!" Memangnya aku buta sampai nggak bisa membedakan bekas jatuh dan berkelahi? Luka di sudut bibir dan tulang pipi Bang Hans jelas bukan luka karena jatuh. Itu jelas luka karena berkelahi. "Kak Chua udah pulang belum?" tanyanya, berusaha menghindar. "Abang berantem sama siapa?" tanyaku, tanpa basa-basi. "Abang nggak berantem," jawabnya. "Terus? Ini apa?" aku menunjuk sudut bibir dan tulang pipinya. "Aku bukan Nao yang bisa Abang bohongin ya." Kalian harus tahu, aku bukan tipe perempuan yang tangguh kayak Kak Chua. Yang apa-apa selalu dikerjakan sendiri, jago memendam perasaan apa lagi menahan diri supaya nggak menangis. Aku berbanding balik sama Kak Chua, aku cengeng. Kalian harus tahu itu. "Loh, kok nangis?" Bang Hans setengah membungkukkan badannya dan mendekap kedua bahuku. Rasa kesal bercampur jengkel yang sejak beberapa hari lalu aku pendam akhirnya tumpah juga. Aku nggak bisa terlalu lama memendam perasaan. Apa pun itu. Apa lagi sedang kesal. Kalau nggak dilampiaskan dengan menangis, dadaku sesak. Seperti ada yang mengganjal di dalam d**a. "Kamu kenapa, Ri? Hei," tanya Bang Hans, cemas. Aku menangis keras-keras dan mengangkat kedua tangan menutupi wajahku. Sebenarnya, aku malu setiap kali menangis layaknya anak kecil, padahal usiaku hampir menginjak dua puluh tahun. Tapi bagaimana lagi, aku nggak bisa menahannya. Dadaku terlalu sesak. "Ada masalah?" Bang Hans bertanya lagi. Aku menarik sebelah tangan dan menjauhi wajahku. Aku menatap Bang Hans selama beberapa detik, kemudian berseru. "Ya. Abang masalahnya!" "Kok, jadi Abang?" Harus ngapain lagi supaya Bang Hans paham? Kalau aku sayang sama Bang Hans. Ah, nggak. Bukan sayang. Tapi lebih. Cinta? Mungkin. "Abang punya salah sama kamu?" tanya Bang Hans, tatapannya berubah serius. "Kalau Abang punya salah, harusnya kamu bilang, Ri. Bukannya menghindari Abang, apa lagi sampai nggak mau ngomong sama Abang." Ternyata, dia sadar kalau aku menghindarinya akhir-akhir ini. Aku menyambar tangannya, menggandeng Bang Hans lalu membawanya duduk ke sofa. Bang Hans menahan lenganku. Dari raut wajahnya, Abang kelihatan menunggu jawabanku. "Aku obatin dulu lukanya." aku mendorong tangan Abang yang memegangi lenganku. Abang menggeleng, menarikku hingga duduk di sampingnya. "Abang nggak tenang sebelum kamu bilang sesuatu." "Bilang sesuatu yang kayak gimana?" aku hendak berdiri, tapi lagi-lagi ditarik lelaki itu. "Sebenarnya, kamu kenapa?" Aku memilih diam, menahan diri lebih tepatnya. Bang Hans menghela napas, Ibu jarinya mengusap punggung tanganku. "Apa... ini ada hubungannya sama Nora kemarin?" Mataku mengerjap. Kepalaku mendongak dan menatap Bang Hans terkejut. Bagaimana dia bisa tahu? "Bener karena Nora?" Bang Hans bertanya sekali lagi. Aku menggigit bibir bawahku, dan mulai bimbang untuk mengatakan ya, atau tidak. *** Aku jauh lebih lega setelah berhasil mengatakan perasaanku yang sesungguhnya ke Abang. Dengan seyakin-yakinnya dan dalam keadaan sadar, nggak mabuk apa lagi sedang mengigau, aku mengatakan kalau aku menyukainya sejak lama. Bagaimana reaksi Bang Hans? Lelaki itu tidak terlalu terkejut. Aku memandanginya heran dan bertanya dalam hati. Kenapa Bang Hans bersikap biasa saja padahal barusan aku menyatakan perasaanku kepada lelaki itu? Aku nggak terlalu peduli mau Abang terkejut atau nggak. Yang terpenting Abang tahu bagaimana perasaanku sekarang. Mulai detik itu, aku nggak akan menahan diri lagi, nggak akan menyembunyikan perasaanku lagi. Ada banyak pertimbangan yang harus dipikirkan menurut Bang Hans. Pertama, soal usia kami. Menurutnya, jarak usiaku dan Abang cukup jauh. Sekitar sebelas tahun. Begitu mendengar Bang Hans menanyaiku soal perbedaan usia, dengan yakin aku mengatakan tidak masalah. Bang Hans bertanya lagi setelah itu. Apa aku siap menghadapi Ayah sama Ibu nantinya? Sekali lagi aku menjawab, dua kali lebih yakin. "Nggak masalah. Selama kita menghadapinya sama-sama." Jujur saja aku memikirkan pertanyaan terakhir Abang. Soal usia, aku sudah mengatakan tidak masalah. Aku menyayangi lelaki itu karena memang dirinya. Cinta bukan soal usia. Asal saling menyayangi itu lebih penting. Yang menjadi masalah sekarang adalah dua hal; pertama, bagaimana reaksi Ayah dan Ibu nantinya kalau tahu aku memiliki perasaan terhadap anak kebanggaan mereka? Apa, nantinya mereka akan setuju atau sebaliknya? Dan, satu lagi yang hingga kini menjadi pertanyaanku. Bagaimana perasaan Bang Hans sesungguhnya? Bang Hans baik padaku, perhatian, bahkan seringkali melakukan sesuatu hingga akhirnya membuatku luluh dan berakhir menyukainya. Tapi, kalau diingatkan sekali lagi, Bang Hans nggak cuma baik padaku, tapi ke semua orang. Entah itu orang lain, apa lagi pada adik-adiknya. Kalau dipikir lagi, Bang Hans nggak cuma perhatian sama aku, tapi juga Kak Chua sebagai adik tertuanya. "Ri, gue lihat ke sana ya. Lo tunggu di sini aja dulu." Aku mengangguk, lesu. "Iya." Laliana segera meninggalkanku ke rak di belakang. Sedangkan aku masih sibuk memikirkan banyak hal. Bukan cuma Bang Hans dan perasaannya. Kalau Bang Hans nggak mempunyai perasaan apa pun sama aku, harusnya dia langsung menolak, kan? Kenapa malah meminta diberi waktu? Aku menggelengkan kepala, berusaha mengusir pertanyaan yang malah membuatku menjadi gila nantinya. Memikirkan perasaan seseorang nggak akan ada habisnya. "Laliana mana, sih?" aku menggerutu, mencari keberadaan Laliana yang tiba-tiba saja menghilang. Katanya, tadi mau pergi ke rak belakang, tapi waktu aku susul ke sana, cewek jangkung itu sudah nggak ada. Aku mengeluarkan ponsel untuk menghubungi Laliana. Ini sudah hampir jam tujuh malam dan aku masih ada di luar menemaninya membeli kado ulang tahun untuk sepupunya yang masih duduk di sekolah dasar. Aku mengelilingi setiap rak, sesekali melongokkan kepala agar dengan mudah menemukan cewek itu. Panggilannya nggak diangkat. Mungkin Laliana nggak mendengar suara ponselnya karena yang aku tahu, cewek itu sering memasang mode silent. Aku mendesah, menurunkan kedua bahu karena terlalu lelah diajak berkeliling hanya untuk membeli mainan anak-anak. Aku ingin segera pulang dan bertemu dengan kasur juga bantal di kamar. Setengah menahan kantuk, aku berjalan ke rak selanjutnya. Siapa tahu Laliana ada di sana. Baru dua kali melangkah, aku menemukan seseorang yang sangat kuhapal. Aku tidak pernah salah mengenali sosoknya. Biarpun yang aku lihat hanya punggungnya yang lebar, tapi aku sangat mengenalinya. Bang Hans. Sedang apa lelaki itu ada di sini? Di toko mainan anak-anak? Dahiku mengernyit. Rasa-rasanya Abang nggak punya alasan kenapa harus bisa ada di sini. Dia mau membelikan mainan untuk siapa memangngnya? Nao? Yang benar saja, Nao bukan anakanak lagi!  "Mas Hans," Segera aku bersembunyi di samping rak, seorang cewek berambut panjang berwarna cokelat terang menghampiri Bang Hans sembari memegangi kotak mainan di tangannya. Cewek itu memerlihatkan dua boneka Barbie kepada Abang, seolah meminta saran mana yang akan dipilihnya. "Yang ini aja," Bang Hans menunjuk salah satunya. Cewek itu mengangkat pilihan Bang Hans, dan bergumam. "Yang ini ya? Beneran?" "Iya." Bang Hans mengangguk. Cewek itu tersenyum sumringah. "Ya udah, aku ambil yang ini aja." Mereka asyik mengobrol sembari berjalan menuju meja kasir. Aku mengekor di belakang mereka berdua, dan mengeluarkan ponsel dari saku celana. "Halo, Abang," Iya. Yang aku telepon Bang Hans. Dari tempatku berdiri, aku bisa melihat Bang Hans menempelkan ponselnya ke telinga kanannya. "Abang di mana?" tanyaku, masih memerhatikan punggung Bang Hans. Suara Bang Hans sempat menghilang selama beberapa detik, atau ragu-ragu untuk mengatakan di mana dia sekarang? "Abang masih di kantor." Refleks, aku mendengus. "Kenapa telepon Abang?" "Ah, nggak. Tadinya aku mau minta jemput Abang. Tapi kayaknya nggak bisa ya." sindirku. "Ya udah, aku pulang sendiri aja. Selamat senang-senang Abang." Setelahnya, aku mengakhiri panggilan tanpa menunggu respons lelaki itu. Untuk apa? Kan, Bang Hans sedang jalan sama cewek. Kenapa aku harus mengganggu? *** Tadinya aku nggak berhenti merengek untuk diantar pulang ke rumah sama Laliana. Iya. Tadinya begitu. Tapi, setelah memergoki Bang Hans jalan sama cewek lain di toko mainan tadi seketika membuatku malas pulang ke rumah buru-buru. Kalau aku pulang, otomatis aku akan bertemu dengan Bang Hans. Bertatap muka dengan lelaki itu, mendengar suaranya yang memanggilku lembut. Aku terlalu malas melihatnya sekarang. "Bukannya mau ngusir lo, Ri. Tapi ini udah malam. Gue takut dimarahin Kakak lo ntar." Laliana mengantarku sampai ke depan pintu rumahnya. "Kapan-kapan lo boleh nginep di sini asal Kakak lo ngizinin." Aku mengangguk, mengiakan. Apa yang dibilang Laliana memang benar. Kalau aku terlalu lama di sini dan nggak meminta izin sama Kak Chua atau Bang Hans, Laliana yang bakal kena. Aku juga. Mereka nggak akan memberi izin pergi lagi setelah ini. "Lo pulang sama Abang gue ya, Ri." Laliana masuk ke dalam dan memanggil abangnya. "Nggak apa-apa kok. Abang gue baik." Cewek itu mengedipkan sebelah matanya jenaka. Akhirnya aku diantar pulang sama abangnya Laliana. Sepanjang perjalanan kita nggak ngomong apa-apa. Selain karena Bang Yusha nggak banyak bicara, aku juga lagi nggak mood ngapangapain selain diam dan memandangi jalanan yang mulai sepi. Sekarang jam berapa, sih? "Jam sebelas." Bang Yusha memberitahu sebelum aku melirik jam di tangan. "Udah malam ya." gumamku, canggung. Bang Yusha menolehkan kepalanya padaku. "Jam segini masih di luar. Emang kamu nggak dicariin sama Kakak kamu, ya?" Ya iyalah. Jangan kan pulang di jam selarut ini. Aku telat pulang kuliah cuma lima belas menit aja pasti pada sibuk telepon. Nanya lagi di mana, kenapa belum pulang? Mereka pasti heboh banget. Cuma, sekarang ini ponsel aku nonaktifkan. Sengaja. Biar Bang Hans nggak bisa hubungin aku. Pede banget kamu, Ri. Emangnya, Hans peduli? Aku cemberut, membuang pandangan ke jalanan. "HP aku mati." jawabku sembari mengangkat ponsel malas-malasan. "Mau telepon orang rumah pake HP aku?" Bang Yusha menawarkan. Aku menggeleng. "Nggak usah." Bang Yusha nggak bertanya lagi setelah itu. Cowok berusia dua puluh satu tahun itu lebih fokus menyetir sekarang. Mobil hitam Bang Yusha berhenti tepat di depan rumah. Setelah mengatakan terima kasih ke Bang Yusha, aku masuk ke dalam rumah dengan perasaan malas. Semoga saja Bang Hans udah tidur, atau, malah belum pulang karena terlalu asyik sama cewek yang aku temui di toko mainan tadi. Baru membuka pintu rumah, aku sudah disuguhi wajah Bang Hans. Lelaki itu melipat kedua tangan di depan d**a, memandangiku tanpa ekspresi. Tanpa mempedulikan Bang Hans yang menghalangi langkahku di depan pintu, dengan sengaja aku menabrak bahunya hendak menaiki anak tangga. Bang Hans mengekor di belakang punggungku, bertanya berulangkali kenapa aku pulang selarut ini. "Abis main." jawabku seraya menaiki anak tangga. Terdengar suara langkah Bang Hans tepat di belakang. "Sama siapa? Cowok?" "Iya." aku membalikkan badan dan balas menatapnya sok berani. Bang Hans mengusap wajahnya kasar. "Sejak kapan kamu berani keluar sama cowok selain Abang sama Nao?" Aku mendengus keras, sengaja. "Kenapa? Nggak boleh? Abang aja bisa jalan sama cewek lain, sedangkan aku nggak? Memangnya aku siapanya Abang?" Bang Hans menaiki anak dua anak tangga, dan berdiri tepat di depanku. Bang Hans menarik tanganku hingga menempel ke dadanya. "Kamu tanya, kamu siapanya aku?" Aku menelan ludah susah payah. Barusan Bang Hans menyebut dirinya 'aku'? "Lepasin, Bang!" kataku berusaha melepaskan pegangan tangannya yang semakin erat memegangi lenganku. "Nanti Kak Chua bisa lihat!" "Bukannya kamu nggak peduli? Bahkan kamu bilang, kamu bersedia menghadapi Ayah sama Ibu? Kenapa sekarang malah takut Chua tahu?" "Bang," aku merengek, mulai takut. "Kamu mau minta izin Ayah sama Ibu, kan?" tanya Bang Hans menatapku tajam. "Ya udah. Aku turutin. Nggak perlu kamu yang minta izin ke mereka, biar aku yang minta izin ke Ayah buat nikahin kamu." Tubuhku membeku. Lidahku kelu. Aku kesulitan mengeluarkan suara. Bang Hans adalah tipe lelaki yang suka bercanda, tapi nggak pernah main-main dengan katakatanya. Apa lagi dalam keadaan serius begini. "Besok," Bang Hans bergumam, menarikku lebih dekat lalu berbisik. "Kita pulang ke Surabaya. Aku nggak mau menunda-nunda terlalu lama buat mengikat kamu." 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD