♡Bagian 3♡

2113 Words
Kring... Kring... Kring.. Bukannya mematikan alarm yang berbunyi, Maura mengambil bantal dan menyembunyikan kepalanya di bawah bantal. "Raaa... Itu alarm kamu bunyi," terika bunda Tia seraya menggedor pintu kamar anaknya. Suara pintu digedor bercampur dengan bunyi alarmnya, sungguh membuat Maura kesal setengah mati. Dengan terpaksa, Maura bangkit dari tidurnya dan melihat ke arah jam yang dari tadi berbunyi. "Mampus, udah jam setengah 7." Maura bangun dari tempat tidurnya seraya mengambil handuk dengan tergesa-gesa. Dia lupa jika hari ini jadwal masuk pertama kali dirinya kuliah. Semalam dirinya marathon drama korea, jadi lah sekarang telat bangun. Untung semalam dirinya sudah menyiapkan perlengkapan apa saja yang akan dia bawa, jika tidak tamat lah riwayatnya. Sudah telat, di tambah lagi menyiapkan barang. Dengan buru-buru, Maura keluar dari kamarnya. Dan melihat ayah dan bundanya sudah ada di meja makan. Kurang adiknya saja. Maura langsung mengambil roti yang sudah bundanya siapkan. Dan meminum susunya. "Bun, Ara angsung angkat aja ya. Uah telat," pamit Maura dengan mulut yang penuh dengan rotinya. Bunda Tka menggelengkan kepalanya, "Telen dulu itu rotinya baru ngomong." Maura menelan roti yang sudah halus dikunyahnya. "Ara langsung ya, ngga sarapan. Udah telat." ujar Maura dengan jelas karena kunyahannya di mulut sudah habis. Ayah Tio yang sedang membaca koran, langsung melepit koran di tangannya. "Mangkannya udah tau paginya mau kuliah. Pake acara begadang." tegur ayah Tio. Dia sangat paham kebiasaan jelek putrinya. "Maaf Yah." hanya itu yang bisa Maura ucapkan. Bunda Tia datang dari arah dapur dengan membawa semangkum besar nasi goreng. Sarapan keluarga ini memang biasa nasi goreng, tapi selalu berganti toping ketika disajikan. "Naik apa Ra?" tanya bunda Tia. Maura menghabiskan s**u ditangannya baru menjawab, " Naik motor aja Bun. Ngga mungkin Ara naik mobil." "Yaudah, nanti mobilnya Bunda pake ya. Mau ke rumah temen." "Iya Bun." ujar Maura sambil mengenakan tasnya. Maura bangkit dari kursinya berjalan ke arah ayahnya terlebih dahulu untuk salim baru ke bundanya. "Ara berangkat dulu ya. Assalamu'alaikum." pamit Maura seraya melangkahkan kakinya keluar rumah. "Kakkkk tungguuuu...." Tanpa membalikan badannya, Maura tau itu suara siapa. Pasti ujung-ujungnya minta tumpangan ke sekolahnya. Motor adiknya itu sedang di bengkel, karena ulahnya sendiri yang menabrak pagar taman di dekat sekolahnya. Entah apa yang adiknya itu lakukan sampai bisa menabrak pagar taman. Dea ikut mengenakan sepatunya, "Ikut yaa Kak. Ampe depan gerbang aja, ngga usah masuk ke dalam." rayu Dea sengaja memasang wajah yang dia imut-imutkan. Maura memutar bola matanya jengah, "Sama aja dodol. Itu gue anterin elu ke sekolah." dumel Maura. Dirinya sudah selesai mengenakan sepatu. Dia tidak mungkin mengantarkan Dea ke sekolahnya, jarak dari sekolah adiknya itu ke kampusnya sangat berbeda arah. Bisa-bisa dia sampai kampus jam 8. Maura mengeluarkan dompetnya, memberikan selembar uang berwarna biru kepada adiknya. "Nih, lu naek ojol aja ya. Gue ngga mungkin anterin ke sekolah." Dengan senang hati Dea menanggapi uang yang Maura berikan. "Tencuuu sayangnya akoh." ujar Dea seraya memonyongkan mulutnya memberikan ciuman untuk kakanya dari jarak jauh. Tanpa memperdulikan adiknya itu, Maura mengeluarkan motornya dari garasi. Dan langsung melajukan motornya. Sepertinya dia harus menggunakan jurus pembalapnya. Tidak ada waktu melambat-lambatkan kali ini. Maura benar-benar mengeluarkan jurus pembalapnya. Dia sampai di kampusnya hanya dalam waktu setengah jam. Apapun dia salip di jalanan tadi. Untungnya malaikat maut belum mau mengambil nyawanya. Setelah memarkirkan motornya, Maura berjalan ke arah autdor. Di mana banyak mahasiswa yang menggunakan baju sama seperti dirinya. Hari senin memang ada seragam yang mereka gunakan khusu. Selain hari senin menggunakan baju bebas. Seorang pria berdiri di atas kursi dengan toak di tangannya. Pria itu mengatur barisan para mahasiswa baru sebelum mereka memasuki kelas masing-masing. Tidak banyak mahasiswa baru yang Maura lihat. "Hay," sapa seorang perempuan yang berada di sebelahnya. Maura menolehkan kepalanya seraya menyunggingkan senyumnya juga. "Hay." balas Maura. Sepertinya orang yang tadi menegurnga bernasib sama seperti dirinya. Perempuan itu mengulurkan tangannya, "Kiara Novita." ujarnya. Maura membalas uluran tangan itu, "Maura Majidah." "Hey itu yang di belakang. Siapa suruh ngobrol." teriak pria yang ada di depan menggunakan toa yang dipegangnya. Maura langsung diam, begitupun dengan Kiara. Mereka tidak mau terkena masalah di hari pertama masuk kuliah. Tidak terlalu lama mereka melakukan hal semacam upacara. Dan mereka berpencar mencari kelas masing-masing. Tibalah Maura di depan kelasnya yang sesuai dengan kelas yang dia dapat. Tertera nomor ruangan di depan pintu. Maura duduk di bangku paling belakang, dia merasa asing belum mengenal siapapun. Akhirnya Maura tenggelam dengan ponselnya sampai ada suara yang mengagetkan dirinya. "Mauraaaaaa..." teriak perempuan yang baru saja masuk ke dalam kelas. Merasa namanya terpanggil, Maura mendongakkan kepalanya. Dia merasa tidak asing dengan perempuan itu. Oh benar, dia yang tadi berkenalan dengan dirinya di lapangan. "Hay Ki." sapa Maura. Setidaknya dia mengenal satu manusia di kelas ini. Kiara langsung duduk disamping Maura, "Panggil gue Kia aja." "Oke Kia." "Gue panggil lu apaan? Mau, Maura, Ura? Atau apa?" tanya Kiara dengan nada riangnya. Walaupun dia baru mengenal Kiara, sepertinya anak ini tipikal orang yang ceria. "Bebas gue, kalo orang rumah manggilnya Ara." "Okey, gue manggil Ara aja. Biar keliatan deket gitu hahaha." Maura ikut tertawa. Tidak lama kemudian dosen yang mengampu mereka di jam pertama sudah datang. Ternyata mereka hanya perkenalan diri saja. Belum memulai pembelajaran. Dan itu tidak berlangsung lama, kurang lebih setengah jam dosen itu masuk. Kiara merenggangkan badannya sejenak, "Ra, kantin yuk." ajak Kiara. Maura menurut, toh dia juga belum mengetahui di mana kantin. Sekalian dirinya berkeliling kampus. "Yuk." keduanya melangkahkan kaki dan membawa tas yang tadi mereka bawa. "Rumah lu di mana Ra?" tanya Kiara memulai pembicaraan. "Hhmm, lumayan jauh sih. Susah ngejelasinnya." jawab Maura. Memang susah menjelaskan letak rumahnya. "Okey, kapan-kapan gue main yaa." "Siapp." Ternyata kantin yang mereka tuju tidak terlalu jauh dari kelas mereka. Lumayan lengkap, ada berbagai macam makanan. Maura mengedarkan pandangannya, sepertinya kantin ini menjadi satu dengan kantin karyawan televisi. "Ra, ini gabung jadi satu ya sama kantin karyawan?" tanya Kiara dengan bisik-bisik. Maura balas membisikan ke telinga Kiara, "Kayaknya iya Ki." ternyata pemikiran dirinya sama dengan apa yang temannya itu fikirkan. "Yaudah sih, yuk." karena tipikal orang yang sangat percaya diri, Kiara berjalan terlebih dahulu di depan Maura. Maura sendiri berjalan seraya menundukan kepala tidak seperti Kiara. Pasalnya hanya mereka berdua yang memakai seragam mahasiswa. Yang lainnya berseragam kantor. "Ki," panggil Maura pelan sambil menarik baju belakang Kiara. Kiara yang asik memilih makanan apa yang mau dibelinya hanya menolehkan kepala, "Apa?" tanyanya. "Gue dong pesenin." gumam Maura. "Apaan? Batagor kek gue?" tanya Kiara. Maura menjawab dengan anggukan kepalanya. "Bang batagornya dua porsi ya." pesan Kiara ke tukang batagor. Kiara menolehkan kepalanya ke belakang, "Minum apaan Ra?" Maura mulai berani mendongakkan kepalanya, "Es teh manis aja deh." "Bang minumnya es teh manis 1 sama es jeruk satu." "Okey neng." Maura mengajak Kiara untuk duduk di salah satu kursi yang kosong. "Abis ini ada mata kuliah lagi ngga Ki?" tanya Maura, matanya masih mengedarkan pandangannya. Ternyata ada juga mahasiswa yang ke sini. Dia dan Kiara berarti tidak salah masuk kantin. "Kayaknya ngga ada deh. Tapi tunggu berita aja dulu." Tidak lama kemudian pesanan mereka datang. Maura dan Kiara langsung menyantap makanan masing-masing. Dari kejauhan, Maura melihat wajah orang yang tidak asing di pandangannya. Orang itu juga mengenakan seragam sama seperti dirinya. Seragam di sini memang tidak membedakan mana perempuan mana laki-laki. Semua serentak mengenakan celana panjang dan baju lengan pendek, jika berhijab bajunya lengan panjang. Sama seperti yang Maura gunakan. "Ra, lu liatin siapa sih?" Kiara ikut melihat apa yang Maura lihat. Ternyata temannya itu melihat dua orang laki-laki. "Lu kenal mereka Ra?" tanya Kiara. Maura diam sejenak, "Kayak kenal salah satu dari mereka. Bukan kenal sih, lebih tepatnya kek pernah liat gitu. Ngga asing mukanya." jelas Maura masih memandang ke arah laki-laki itu. Setelah sadar dengan apa yang diperbuatnya salah, Maura menggelengkan kepalanya. "Napa lu?" tanya Kiara sambil memakan sisa batagornya. Maura sendiri sudah selesai makan, "Gak papa." jawab Maura menundukan kepalanya. "Udah ngga ada jadwl tau Ra. Mau balik lu?" tanya Kiara. Maura mendongakan kepalanya, "Iya. Ayo main ke rumah gue." ajak Maura. Kiara berfikir sejenak, "Hmm, boleh deh. Gue juga lagi free kok." "Lu bawa motor atau mobil Ra?" tanya Kiara setelah mereka sampai di parkiran. "Gue naek motor. Emang lu naek apaan?" "Naek kaki." Maura mengernyitkan dahinya, "Naek kaki? Maksud lu?" dia heran dengan jawaban temannya itu. "Naek angkot elah. Motor gue di pinjem sama sodara gue. Dari pada gue telat nungguin dia balik, mending gue naek angkot." jelas Kiara. Maura mengangguk paham. Akhirnya Kiara dibonceng Maura. Selama perjalanan, ada saja ulah yang temannya itu perbuat. Dari yang menyanyi sepanjang jalan sampai menegur orang yang tidak dikenalnya. Untungnya mereka berdua mengenakan masker. Jadi orang yang melihat mereka tidak akan mengenali. "Lumayan jauh ya rumah lu." teriak Kiara. Dia memang harus berteriak, jika tidak Maura tidak akan mendengar apa yang dia katakan. "Kan udah gue bilang." Maura memberhentikan motornha sejenak di tempat kafe yang memang tempat favoritenya ketika membeli kopi. "Mau beli lu?" tanya Kiara ikut turun dari motor. "Mau ngemis." jawab Maura asal seraya meninggalkan Kiara yang masih diam ditempatnya. Kiara ikut memasuki kafe tersebut, "Woy tungguin gue." "Mau apaan lu?" tanya Maura setelah melihat Kiara sudah disampingnya. "Mau red velvet aja deh." "Mas, red velvetnya satu sama ice taronya satu ya." ujar Maura kepada pelayan kafe. "Baik, saya ulangi pesanannya. Red velvetnya satu dan ice taronya satu ya." Maura menganggukan kepalanya sebagai jawaban. "Semua totalnya lima puluh delapan ribu. Mau dibayar pakai uang tunai atau debit Kak?" "Pake debit aja Mas." Maura menyerahkan kartu debitnya. Pelayan tersebut dengan sigap menerima kartu yang diberikan custuomernya. "Ra, berapa punya gue?" tanya Kiara seraya mengeluarkan uangnya dari dompet. Ketika Kiara menyerahkan uangnya, Maura menolaknya, "Udah ngga usah." tolak Maura. "Serius nih?" tanya Kiara tidak percaya. "Emang muka gue keliatan nipu ya?" Kiara menujukan deretan giginya, "Hehe, ngga Ra." Pesanan mereka pun jadi. Setelah sampai di parkiran motor, Maura teringat sesuatu. "Ki, lu ngga terlalu sibuk kan ya hari ini?" "Ngga. Kenapa emang?" "Temenin gue yuk. Bentar aja." "Kuy." Maura senang, Kiara mau menemaninya. Maklum, dirinya belum pernah mendapatkan teman yang sangat dekat. "Mau ke mana sih Ra?" tanya Kiara. Dia masih bingung mau dibawa ke mana. "Udah nurut aja. Ngga gue bawa maksiat kok." gurau Maura. Kiara reflek memukul punggung Maura, "k*****t lu." Akhirnya mereka tiba di tempat tujuan. Kiara masih bingung, kenapa dibawa ke sini? Fikirnya mungkin temannya ini mau membeli hijab. Tapj dia heran, ketika mereka memasuki toko, pegawai yang ada menyapa Maura dengan menundukan kepalanya. Maura membalas dengan hal yang sama. "Woi jangan bengong. Entar ke sambet." canda Maura seraya tertawa melihat tatapan terkejut dari temannya. "Ra, kok mereka kek ngormatin lu gitu?" tanya Kiara dengan suara pelannya. Maura menggelengkan kepala lucu, "Duduk dulu. Minum aja itu red velvet lu. Gue tinggal bentar ya." tanpa menunggu jawaban Kiara, Maura sudah meninggalkan dirinya. Kiara masih dibuat bingung dengan apa yang dilihatnya. "Mbaknya temen Mbak Maura ya?" Kiara langsung menolehkan kepalanya. "Mbaknya kenal sama Muara?" "Dia owner toko ini Mbak." Kiara di buat tercengang dengan apa yang dikatakan pegawai di depannya ini. Baru pertama kali dirinya di pertemukan dengan seorang wanita bisnis. Bahkan usia Maura tergolong masih sangat muda tapi sudah memiliki penghasilan sendiri. Pantas saja, tadi dirinya di traktir minuman yang harganya buat uang jajan sehari-hari mahasiswa yang lain. "Oh makasih ya Mbak." Kiara bangkit mengelilingi toko itu. Baginya lumayan banyak apa yang dijual temannya itu. Bisa dibilang lengkap. Dari mulai rok, atasan dan yang lainnya. Hijab pun lengkap, dari yang model biasa sampai yang lagi trending sekarang. "Ki," panggil Maura. Kiara yang sedang melihat-lihat tersentak kaget. "Astagfirullah. Lu jangan ngagetin apa Ra." dumel Kiara seraya memegang dadanya kaget. "Hehe sorry. Lagian serius amat sih lu." "Wih gila sih Ra, ini punya lu semua yang di sini?" tanya Kiara dengan nada takjubnya. "Iya. Mau?" Kiara melihat ke arah Maura, "Mau?" beo Kiara tidak paham apa yang Maura maksud. "Lu mau itu pashmina?" tanya Maura melihat temannya itu sedang melihat-lihat jejeran pashmina. "Ohh ngga. Gue liat-liat aja. Wih gue demen nih ama cewe pembisnis. Ajarin gue dong bisnis Ra." "Ajarin apaan? Gue bukan guru." Kiara memutar bola matanya, dia yakin Maura mengerti apa yang dia maksud. "Ra," ujar Kiara diiringi dengan tekanan kata. Maura tertawa melihat temannya itu yang sedang kesal, "Lu mau bisnis apaan?" "Snicker sih niatnya." "Wah boleh tuh. Ada sepupu gue yang kerja di pabrik sepatu gitu." Kiara langsung menunjukan wajah senangnya, "Ih serius lu? Huuaaa mauu dong dikenalin." pinta Kiara sengaja memakai nada manjanya. "Iya nanti. Gampang, yuk ke rumah gue." Mereka akhirnya keluar dari tokonya Maura. Tadi Maura memang mampir untuk mengambil hardisk yang mana isinya tentang data pengeluaran dari awal berdiri toko tersebut. Dia harus menggabungkan antara file yang dibuatnya dengan file yang lainnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD