♡Bagian 2♡

2182 Words
Tok...Tok...Tok... "Bang... Bangun dong, katanya mau survei kampus." teriak seorang wanita seraya menggedor pintu kamar putra sulungnya. Merasa tidurnya terganggu, bukannya bangun Attar memutup kepalanya dengan bantal. "Oh ngga mau bangun? Yaudah gak papa." wanita itu diam sejenak, dia berfikir pasti kali ini caranya akan berhasil membangunkan putranya. "Pah, Attar ngga mau bangun." Seketika Attar langsung bangkit dari kasurnya, "Iyaaa Mah. Attar udah bangun kok." teriak Attar dengan nada kesalnya. Mamahnya itu tau sekali jika dirinya akan langsung bangkit jika mengenai papahnya. Tidak membutuhkan waktu yang lama untuk Attar di kamar mandi. Bisa dibilang dia mandi hanya membutuhkan waktu 5 menit dan selesai. Setelah persiapannya selesai, Attar melangkahkan kakinya menuju ruang makan yang ada di lantai bawah. "Pagi Mah Pah," sapa Attar langsung menciumi pipi orang tuanya satu persatu. "Pagi sayang. Kamu tuh susah banget kalo dibangunin." dumel mamah Oliv seraya membawa makanan dari arah dapur. "Kebo sih dia Mah kalo tidur." cetus adik kedua Attar, Rio Febrian namanya. Attar sama sekali tidak merasa tersinggung dengan apa yang adiknya katakan. Dia memang mengakui jima dirinya seperti itu. "Jangan diulangin ah Bang. Ngga bagus tau." "Ya kan mumpung belom mulai kuliah Mah, apa salahnya nyantui dikit." "Ya ngga gitu juga. Banyak yang bisa kamu kerjain di rumah ini. Itu motor kamu rusak dibiarin aja gitu?" Attar langsung diam jika papahnya sudah turun tangan berbicara. "Besok pokoknya Papah ngga mau liat motor kamu masih mati. Terserah kamu mau apain, yang penting jangan jadi rongsokan di garasi." "Iya Pah." jawab Attar dengan suara pelannya. Diam-diam Rio menahan tawanya. Dia paling senang jika melihat abangnya kalem seperti itu. Hanya papahnya lah yang bisa membuat seorang Attar Rayyan diam seribu bahasa. "Abang," panggil adik bungsu Attar, Tiara Kharisma. "Iya sayang?" Attar memang sangat dekat dengan adik bungsunya. Walaupun jarak umur mereka terpaut jauh, tapi tidak masalah. "Anterin Adek yaa nanti abis Abang survei kampus." pinta Tiara dengan sengaja memasang muka andalannya. Dia yakin, pasti abangnya itu langsung mengiyakan. "Mau ke mana Ra?" tanya mamahnya yang sudah duduk disamping suaminya. "Kan hari ini jadwal aku les balet Mah." "Iya nanti Abang anterin." "Tengkyuuu Abang." Rio mencibir adik bungsunya yang sangat manja dengan Attar, "Cih manja." Tiara tidak terima di bilang seperti itu langsung mengadu ke mamahnya, "Mah Kakak tuh. Masa aku dibilang manja." adu Tiara ke mamahnya. "Kak, makan. Demen banget buat Adeknya nangis." omel mamah Oliv. Tiara dengan Rio memang jarang sekali akur. Tidak seperti Tiara dengan Attar. Tapi disamping itu, Rio juga amat menyayangi adik bungsunya. Hanya saja caranya berbeda dengan Attar. "Kamu jadi survei kampus kan hari ini?" tanya papah Doni -papahnya Attar- Attar yang sedang mengunyah makanan menyelesaikan dulu, "Jadi Pah. Abis ini sama Rio." jawab Attar masih sedikit mengunyah sisa makanan di mulutnya. "Ampe jam berapa kita Bang di sana?" tanya Rio. "Ya selesainya. Kamu mau ada acara tah?" "Ngga sih Bang." Akhirnya mereka sekeluarga selesai sarapan dan pergi untuk urusan masing-masing. Hanya mamah Oliv yang ada di rumah. "Bang, lu yakin mau masuk broadcast?" tanya Rio ketika mereka sudah di dalam mobil menuju kampus yang mereka tuju. Attar mengernyitkan dahinya bingung, "Kenapa emangnya Yo?" Attar balik menanyai adiknya itu. "Ya gak papa sih Bang." "Aneh lu." ledek Attar dengan memicingkan matanya. "Ya kan lu mau nya masuk teknik. Kenapa jadi broadcast." jelas Rio, dia tahu jurusan apa yang diinginkan abangnya itu. Attar menghembuskan nafasnya sejenak, "Gue sendiri juga bingung. Awalnya kayak yang lu bilang, gue pengen masuk teknik mesin Tapi semenjak gue tuh kepo sama yang namanya dunia jurnalis, yaa gue nyari tau. Dan akhirnya gue mutusin buat masuk me kampus ini. Sekolah broadcast sih lebih tepatnya." jelas Attar panjang lebar kepada adiknya. "Semoga lu serius ya sama jurusan ini." Attar langsung menoyor kepala adiknya, "Anjir, emang kapan sih gue ngga serius ngelakuin sesuatu?" tanya Attar dengan nada gurauannya. "Yaelah sok mungkirin banget. Emang di pondok, lu beneran mondok? Orang kabur juga, bikin orang rumah hedon." sindir Rio yang langsung membuat Attar diam. "Ya.. Itu kan beda Yo." elak Attar tidak terima dengan apa yang dikatakan adiknya. "Apa bedanya malih? Awas aja ya Bang, gue serius ini ngomongnya." ancam Rio dengan raut wajah yang sangat serius. "Iyaa Adek ku tersayang." ujar Attar seraya mencubit pipi Rio. Dia tahu adiknya itu paling risih jika dicubit seperti itu. "Gue gebuk lu Bang nyubit lagi." ancam Rio. Attar tahu, adiknya itu hanya bercanda. Akhirnya mereka sampai di tempat yang mau mereka survei. "Lumayan si Bang tempatnya." ujar Rio mengomentari kampus yang kelak akan menjadi tempat menimba ilmu abangnya. "Gue juga ngga tau. Gue kira tempatnya B aja gitu." "Bentar, ini tuh kek gabung ama stasiun televisi bukam sih Bang?" tanya Rio seraya melangkahkan kakinya sejajar dengan Attar. "Iya." jawab Attar. Mereka menemui bagian receptionist, menanyakan perihal sekolah broadcast yang ada di sini. Mereka diberi arahan menuju suatu ruangan yang mana akan dijelaskan perihal sekolah ini. Attar mendengarkan dengan khidmat apa yang dijelaskan wanita di hadapannya. Sampai ada perempuan bersama dengan wanita yang sepertinya seumuran dengan ibunya masuk ke dalam ruangan tersebut. Sepertinya perempuan itu sama seperti dirinya yang sedang mencari informasi tentang sekolah broadcast ini. Attar akhirnya izin pamit terlebih dahulu dari perempuan itu. Dia keluar ruangan dengan tangan yang sudah memegang brosur. "Lumayan sih harganya Bang. Jadi lu mau di sana?" "Lumayan apanya Yo? Mahal? Menurut gue B aja sih, ya ngga heran. Kan lu tadi denger sendiri, sekolah ini emang di bawah naungan televisi. Dan kerjanya juga terjamin." Sebelum berbicara, Rio memasang seatbeltnya dulu, "Iya sih. Yaudah lah entar lu rundingin aja ama orang rumah." Attar menjalankan mobilnya membelah jalan raya yang padatnya merayap. Jakarta, tidak heran jika kemacetan di mana-mana. "Jam berapa Yo?" tanya Attar kepada adiknya yang dari tadi asik dengan ponsel. "Jam setengah 2 Bang. Kenapa?" "Si Tiara pulang jam berapa?" tanya Attar melanjutkan perjalanannya yang tadi sempat terhenti karena lampu merah. "Dia dikit lagi nyampe rumah paling. Bang mampir masjid dulu dong, kita kan belom solat dzuhur." ujar Rio. "Tanggung Yo. Dikit lagi juga nyampe rumah kan." Attar mencoba negoisasi dengan adiknya. Rio sangat malas jika abangnya kumat seperti ini. Dia heran, abangnya yang dulu tidak seperti ini. Bahkan Attar yang dulu Rio kenal sangat patuh dan selalu menjalankan solat 5 waktu tepat waktu. Bukan seperti ini, yang selalu mengelak. "Yaelah Bang. Tibang berhenti doang. Turunin gue deh, itu di depan ada masjid, lu jalan lagi juga gak papa." kesal Rio karena tingkab Attar. Attar menurut, memberhentikan mobilnya di pinggir jalan. Sebelum keluar mobil, Rio memberi pencerahan sedikit kepada abangnya, "Ajal ngga ada yang tau Bang." ujarnya lalu turun dari mobil. Attar tidak melajukan mobilnya, melainkan masuk ke dalam pekarangan masjid. Tapi hanya menunggu, tidak ikut turun. Rio yang sudahselesai solat bingung, kenapa abangnya tidak pulang? Tadi katanya mau langsung pulang? Dia menghampiri mobil abangnya. "Bang?" panggil Rio yang sudah duduk di samping kemudi. "Eh Yo. Udah selesai?" tanya Attar langsung mendongakkan kepalanya dari atas stir mobil. Rio mengernyitkan dahinya bingung, "Udah. Abang katanya tadi mau langsung pulang? Kok masih di sini?" Attar gelagapan, bingung ingin menjawab seperti apa. "Ngga tega ninggalin kamu." hanya itu yang bisa Attar jawab. "Terus Abang turun?" Bukannya menjawab, Attar langsung menjalankan mobilnya menuju rumah. "Tiara udah pulang. Dia nungguin mau gue anter les balet." Attar sengaja mengalihkan pembicaraan. Rio paham betul, abangnya ini sengaja mengalihkan pembicaraan. Dia berdoa, semoga abangnya yang dulu cepat balik. Dia merindukan abangnya yang selalu bawel mengingatkan orang di rumah untuk solat 5 waktu. "Bang, entar turunin gue aja di depan. Mau ke rumah temen." "Oh okey." Attar tahu, Rio kecewa dengan dirinya. Dia sendiri bingung, dia merasa kehilangan jati dirinya. Setelah menurunkan Rio, Attar melanjutkan perjalanannya. Adik bungsunya sudah menunggu kedatangannyan di rumah. Benar saja, Tiara sudah menunggu di halaman rumahnya. Attar membunyikan klakson mobil, dan Tiara langsung menghampiri mobil abangnya. "Langsung ya Bang." "Siap tuan putri." Attar melajukan mobilnya mengantar Tiara ke tempat les balet. Adiknya ini memang suka sekali meminta dirinya untuk mengantarkan les. Entah apa alasannya. Setelah mengantar adiknya, Attar langsung pulang ke rumah. Dia mau memberi tahu tentang brosur tadi ke mamahnya. "Udah nganter Tiara Bang?" tanya mamah Olive ketika melihat putra sulungnya masuk ke dalam rumah. Attar duduk di sebelah mamahnya, "Ini Mah." ujar Attar seraya menyerahkan selembar brosur tadi. Mamah Oliv menerima brosur tersebut dan membaca sejenak. Mamah Oliv menaruh brosurnha itu di atas meja. "Udah yakin Bang?" tanya mamah Oliv. Attar menengokan kepalanya ke arah mamahnya, "Yakin Mah. Yakin beribu-ribu persen." ujar Attar meyakinkan mamahnya. "Mamah terserah kamu aja. Nanti tanya Papah gimana enaknya ya." mamah Oliv bangkit dari sofa dan berjalan ke arah dapur. "Rio ke mana?" tanya mamah Oliv tidak melihat Batang hidung putranya. "Tadi dia minta turun ditengah jalan Mah. Katanya mau main sama temennya." "Oh yaudah." Attar menatap punggung mamahnya sampai dapur yang masih terlihat dari tempatnya duduk. "Mah masak apa?" ujar Attar setengah teriak. "Ini masak cumi tumis. Kamu mau makan? Dikit lagi matengnya." Attar bangkit dari kursinya, "Nanti aja Mah. Aku mau ke kamar dulu." Mamah Oliv mengedikkan bahunya, terserah lah anaknya itu mau bagaimana. Dirinya sudah biasa memasak sendiri, jika anak bungsunya itu pergi les dia akan masak sendiri. Mana mau anak-anak cowonya membantu dirinya berkutat di dapur. **** Keluarga Attar sedang melaksanakan makan malam bersama. Sudah menjadi rutinitas wajib mereka. Papah Doni lah yang mewajibkan, lalu setelah makan malam mereka di haruskan mengumpul di ruang keluarga sebelum melakukan aktifitas malam masing-masing. Menceritakan hal apa yang terjadi kegiatan harian mereka. "Pah, brosurnya Attar tadi Mamah taro di meja deket TV." ujar mamah Oliv seraya membereskan bekas mereka makan malam. Dibantu dengan Tiara. Tapi walaupun seperti itu, bekas makan piring masing-masing mamah Oliv selalu mewajibkan untuk mencuci piring. Tapi tidak dengan suaminya, hanya berlaku untuk anak-anaknya. "Tar, jangan ke kamar dulu." pinta papah Doni. "Iya Pah." jikapapahnya sudah berbicara, Attar tidak mungkin melawan. Attar menyusul papahnya yang sudah duduk di ruang tamu dengan brosur di tangannya. Tidak lama kemudian mamahnya ikut menyusul. "Gimana Pah?" tanya mamah Oliv yang sudah duduk disamping suaminya. Papah Doni melepaskan kaca mata bacanya, "Papah sih ngga mempermasalahkan masalah biayanya. Yang Papah mau tanya, kamu bener serius ngga?" tanya papah Doni ke Attar. Attar langsung mendongakan kepalanga yang tadinya dia tundukan. "Attar udah sreg banget Pah. Attar janji, ngga akan ngecewain kayak dulu." ujar Attar dengan suara pelannya. "Tadi kamu ikut survei Yo?" tanya papah ke Rio yang sedang asik bercanda dengan Tiara. Lebih tepatnya dia yang asik meledek adiknya. "Luas sih Pah tempatnya. Sekolah itu gabung sama stasiun televisi gitu Pah." jawab Rio. "Ya sudah, besok Papah kasih uang pendaftarannya. Langsung kamu daftarin." titah papah Doni. "Siap Pah." "Pah, aku mau cerita." ujar Tiara setelah dia rasa masalah abangnya sudah selesai. "Kenapa sayang?" Tiara mulai menceritakan harinya. Dia memang anak yang paling dekat dengan papahnya. Rio dan Attar tidak terlalu dekat dengan papahnya, mereka dekat dengan mamahnya. Adik bungsunya itu memang selalu ceria dan membawa kegembiraan di keluarganya. Jika Tiara sakit, rumah akan sunyi. Tidak ada suara yang cerewet seperti adik bungsu mereka. "Pah Mah, Attar izin ke kamar ya." izin Attar malas mendengarkan celotehan adiknya. Tiara yang asik bercerita langsung diam ketika melihat Attar mau ke kamarnya. "Abang kok pamit duluan? Kan biasanya Kak Rio yang duluan ke kamar. Abang bosen ya sama cerita aku?" ujar Tiara dengan raut wajah sedihnya. Attar mendekati adiknya itu, "Ngga sayang. Abang mau ngurusin tentang kuliah Abang." Tiara menatap abangnya, "Abang ngga bosen kan sama celotehan aku?" Belum sempat Attar berbicara, Rio sudah mencela terlebih dahulu. "Bosen dia tuh sama celotehan kamu." cetus Rio yang membuat Tiara langsung melemparkan bantal sofa ke arahnya. Attar hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat sikap kedua adiknya. Kedua orang tua mereka juga tidak merasa terganggu, malah bagi mereka menjadi hiburan sendiri ketika mereka sudah penat dengan apa yang mereka kerjakan seharian penuh. Memang benar, harta yang paling berharga itu keluarga. Dan kebahagiaan itu tidak bisa dibeli dengan uang. Attar mengusap kepala adiknya dengan sayang, "Ngga kok. Abang ngga bosen. Abang mau ngurusin persiapan masuk kampus. Mangkannya ke kamar duluan." jelas Attar. "Oh yaudah, gidah Abang selesain urusannya yaa. Semangat Abang kuu." Cup, Tiara mencium pipi Attar. Orang tua mereka hanya bisa menggelengkan kepala melihat tingkah ajaib putri bungsu mereka. "Kakak ngga kamu cium Dek?" tanya mamah Oliv sengaja memancing putrinya. "Ishh ogah ah Mah." jawab Tiara seraya mengedikkan bahunya. "Oh ogah? Yaudah kalo mau apa-apa jangan minta sama Kakak." Tiara yang tadinya duduk di atas sofa langsung turun ke bawah. Tepatnya di samping Rio. Cup, Tiara mencium pipi Rio seperti tadi dirinya mencium Attar. "Kakak ganteng deh, jangan ngambek dong." rayu Tiara. Dia memang sering meminta tolong bantuan kakaknya itu. Sekolah Rio dan Tiara memang tidak berjauhan. Tiara duduk di bangku 4 Sd, sedangkan Rio duduk di bangku 3 SMP. "Pah Mah, aku ke atas dulu ya." pamit Attar bosan melihat tingkah laku kedua adiknya. "Iya, nanti kamu minta aja uang pendaftaran ke Mamah ya Bang." ujar papah Doni. "Iya Pah." Attar langsung menuju kamarnya, guna mendaftarkan dirinya di sekolah yang tadi dia survei. Dia berjanji kepada dirinya sendiri, kali ini dia tidak mau membuat kedua orang tuanya kecewa. Cukul sekali seumur hidup bagi Attar mengecewakan orang tuanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD