♡Bagian 1♡

2098 Words
"Kak, kamu tetep mau masuk farmasi?" tanya Tia -bunda Maura- yang sedang menyiapkan sarapan untuk keluarga mereka. "Ngga tau Bun, aku bingung. Negeri udah ngga ada harapan." ujar Maura seraya mengaduk nasi goreng yang sedang dimasaknya. "Kenapa ngga nyoba jurusan lain Kak?" ayahnya ikut berkomentar. "Emang menurut Ayah jurusan apa? Kakak juga bingung." "Nyoba broadcast aja Kak." usul Dea -adik Maura- "Tuh Kak. Dicoba aja, Ayah sama Bunda ngga maksa kamu mau ambil jurusan apa." ujar Tio -ayah Maura- meyakinkan anaknya. Maura diam sejenak memikirkan apa yang dikatakan adiknya. Tapi disamping itu dia ingin sekali jurusan farmasi. Jika Allah belum berkehendak, dia bisa apa? "Yaudah Yah. Entar aku coba cari." pasrah Maura. Dia harus kuliah tahun ini, tidak mau menunda lagi. Setelah selesai sarapan, Maura izin ke kamarnya. Dia mau mencari tau tentang broadcasting yang di maksud Dea. Ternyata tidak terlalu buruk jurusan itu. Maura memutuskan untuk keluar dari kamarnya. Membicarakan masalah ini dengan sang bunda. "Bun," panggil Maura seraya mengedarkan pandangannya. Tapi tidak ada siapapun yang dia temukan di rumahnya. Memang hanya dirinya dan sang bunda yang ada di rumah. Adiknya sekolah, begitupun dengan ayahnya sedang bekerja di rumah sakit. Maura mencoba cari di kamar bundanya, "Bun," "Kenapa sayang?" tanya Tia yang sedang menonton televisi. "Bun," Maura masuk ke dalam kamar Tia. "Liat deh Bun." dirinya menunjukan layar ponsel yang tertera mengenai broadcasting. Tia menghentikan acara menontonnya, "Di kampus mana itu? Swasta?" "Bukan Bun. Jadi ada stasiun TV yang ngadain sekolah broadcast gitu. Eh bukan sekolah deh, kek kuliah gitu Bun." jelas Maura. "Bunda terserah kamu sayang. Mau kapan surveinya?" "Besok Bunda bisa temenin? Apa aku sendiri aja?" "Bisa. Besok Bunda free kok." "Oke, yaudah Ara ke kamar dulu ya Bun." "Oke Kak." **** Maura bersiap-siap, pagi ini dia dan bundanya akan mensurvei kampus yang kemarin dia temukan di google. Dea mengernyitkan dahinya, tumben sekali kakanya pagi-pagi sudah rapih, "Mau ke mana Kak?" tanya Dea yang baru keluar dari kamarnya. Maura langsung menolehkan kepalanya, "Mau survei kampus." "Ama Bunda?" "Heeh." Bunda Tia datang dari arah dapur, Maura dengan sigap membantu bundanya membawa makanan dari dapur. "Ayah ke mana Bun?" tanya Maura mencari keberadaan ayahnya. Biasanya sudah duduk di meja sambil membaca koran. "Tadi pagi ada panggilan operasi mendadak." ayah Maura memang seorang dokter bedah. Jadi harus siap jika ada pasien yang membutuhkannya. "Aku berangkat dulu ya Bun Kak, assalamu'alaikum." ujar Dea seraya menyalami punggung tangan kakak dan bundanya. "Wa'alaikumsalam," jawab Maura dan Tia serempak. Bunda Tia membereskan sisa sarapan dibantu dengan putri sulungnya. Setelah selesai merapikan semuanya, mereka berdua bersiap untuk pergi survei kampus. Maura selesai terlebih dahulu, "Bun, udah selesai belom?" tanya Maura agak meninggikan suaranya ketika memanggil bundanya. "Sebentar sayang." jawab bunda Tia dengan teriakan juga. "Yuk, Kak." bunda Tia sudah siap dengan pakaian santainya, bahkan bisa dibilang bunda Tia ini tipikal ibu-ibu yang styles. "Mau pake motor atau mobil Bun?" tanya Maura seraya bangkit dari sofa. "Mobil aja kali ya Kak?" "Ish aku males ngeluarinnya Bun. Motor aja ya?" tawar Maura. Bunda Tia hanya bisa memutar bola matanya saja. Tadi menawarkan, ujung-ujungnya dia menentukan sendiri. "Ngga usah nawarin deh Kak mending." sindir bunda Tia. Yang merasa disindir hanya bisa menunjukan deretan giginya. Maura memang dekat dengan bundanya. Di antara dirinya dan Dea, memang dirinya lah yang lebih dekat dengan bunda Tia. "Kak, jangan lupa bawa SIM sama STNK-nya." ujar bunda Tia mengingatkan putrinya yang terkadang lupa dengan benda-benda penting. Maura mengeluarkan dompetnya dari dalam sligbag, "Nih, komplit Bu bos." ujar Maura sambil memperlihatkan isi dompetnya. "Wih merah merah itu duit kamu. Malakin siapa?" "Enak aja aku dibilang malak. Bukan malak Bun, cuman ngadahin tangan hahaha sama Ayah kemarin." begitu lah Maura. Tipikal orang yang humoris dan ceria. "Ck, kerja dong Kak." "Aku kan juga kerja Bun, itu online shop." Maura memang memiliki usaha sampingan, bukan dia yang terjun langsung. Ada pegawainya yang mengurus, sesekali dirinya memang mengecek ke tokonya. Bisnis kecil-kecilan pashmina dan teman-temannya. "Pegangan ya Bun, Ara mau ngebut." gurau Maura, lihat saja pasti setelah mengatakan itu bunda Tia langsung memarahinya. "Ngebut-ngebut, Bunda masih mau idup tau. Awas aja sampe ngebut, Bunda turun pulang. Kamu sendiri aja ke sananya." omel bunda Tia. Dia paling tidak suka naik motor ya seperti ini, anak-anaknya tidak berperi kemanusiaan ketika mengendarai motor. Baik itu putri sulungnya atau putri bungsunya. "Ampun Ibu negara." Maura langsung memelankan motornya. Jangan sampai bundanya itu sampai balik pulang. Dia tidak mau sendiri survei ke sana. Maura mengendarai motornya dengan kecepatan sedang. Jarak ke tempat mereka survei memang lumayan jauh, sekitar satu jam lebih sedikit. Tapi jika mengendarai mobil bisa sampai dua jam. Akhirnya mereka sampai di depan gedung yang Maura lihat sama persis seperti apa yang dilihatnya di google. "Ini Kak gedungnya?" tanya bunda Tia seraya matanya mengedarkan pandangan sekitar gedung. "Iya, ini yang aku liat di google Bun. Ayo Bun," Keduanya pun masuk ke dalam gedung. Awalnya Maura takut bertanya langsung, tapi bunda Tia memaksanya untuk bertanya. Jika tidak di mulai sekarang, kapan lagi anaknya itu mau memberanikan diri. "Selamat pagi, Ada yang bisa dibantu Dek?" tanya seroang wanita yang berpakaian baju hitam dengan logo salah satu stasiun televisi. "Selamat pagi Kak. Saya mau menanyakan tentang pendaftaran mahasiswa baru, di mana ya?" tanya Maura. "Oh, Adeknya mau daftar ya?" "Iya Kak." "Mari ikut saya." wanita tadi berjalan lebih dulu dari Maura. "Bunda mau nunggu di sini apa ikut?" "Ikut aja. Bunda mau tau juga." Maura mencari wanita yang tadi menyuruh untuk mengikutinya, ternyata wanita itu ada di sebuah ruangan. "Permisi Kak," salam Maura ke dalam ruangan. Di dalam ruangan tersebut ada 3 orang lainnya selain wanita tadi. "Sini masuk Dek," Wanita tadi ikut menyalimi punggung tangan bunda Tia. Bagaimana pun etika itu sangat penting. "Ini brosurnya ya, kalau ada yang kurang jelas nanti bisa ditanyakan lagi. Pendaftaran di tutup tanggal 20 ya." jelas wanita tersebut. Maura membaca sekilas brosurnya lalu memberikan kepada bundanya. "Nanti dia bisa langsung kerja di stasiun televisinya ya Kak?" "Iya lebih tepatnya langsung kerja lapangan di stasiun televisi Dek." jelas wanita itu. "Gimana Bun?" tanya Maura seraya menolehkan kepala ke bundanya. "Nanti kita rundingin dulu sama Ayah." "Baik Kak, nanti kalau saya jadi mendaftar harus ke sini atau bisa melalui online?" "Bisa online Dek. Di sana sudah tertera linknya atau bisa langsung masuk ke websitenya Dek." "Oh baik Kak, terima kasih atas panduannya Kak." ujar Maura seraya berpamitan. "Baik Dek sama-sama." Keduanya berjalan berdampingan menuju parkiran motor. "Bagus sih Kak tempatnya. Harganya juga terjangkau." ujar bunda Tia, tatapannya masih fokus ke brosur di tangannya. "Bunda setuju?" "Bunda sih yes. Ngga tau nanti Ayah kamu." "Alhamdulillah, semoga Ayah sama kayak Bunda ya." Maura mengeluarkan motornya dan memberikan helm kepada bundanya. "Langsung pulang Bun?" "Mau ke mana lagi?" bukannya menjawab, bunda Tia menanyakan balik. "Nongki yuk Bun. Udah lama keknya kita ngga nongki cantik." "Boleh lah, cus. Ke yang deket rumah aja ya, biar pulangnya ngga terlalu jauh." Mereka berdua memang sering keluar bersama. Bahkan Maura tidak mempunyai teman yang bisa diajak keluar bareng. Hanya bundanya lah yang dia ajak untuk minum kopi di kafe. **** "Bagus ya, berduaan keluar rumah. Ayah pulang rumah kosong." sindir ayah Tio yang sudah duduk manis di ruang keluarga. "Eh, suami tercinta ku sudah pulang. Kok ngga ngabarin sih Mas kalo mau pulang." bunda Tia langsung menghampiri sang suami. Maura setelah menyalimi ayahnya, dia langsung pergi ke kamarnya. Yang dia lakukan di kamar hanya glipak-glipek di atas kasur. Keluar masuk aplikasi yang ada di ponselnya. Maura teringat sesuatu, dia ada jadwal pengecekan pengeluaran bulanan tokonya. Dia langsung mengambil ponselnya untuk menghubungi salah satu orang terpercayanya yang selalu standby di sana. "Halo, assalamu'alaikum Mira." "Wa'alaikumsalam Mbak," "Kirimin file pengeluaran bulan ini ya. Mau saya rekap sama bulan lalu." "Oh baik Mbak, saya kirim lewat e-mail atau lewat w******p?" "Lewat e-mail aja yaa, takutnya kalo lewat WA lama Mir." "Siap Mbak." "Ya udah, saya matiin ya. Kamu langsung kirim wassalamu'alaikum." "Okey Mbak wa'alaikumsalam." Tut, Maura langsung membuka laptopnya. Ternyata pegawainya itu benar-benar langsung mengirimkan filenya. Terbukti data yang diminta sudah ada di e-mailnya. "Gercep juga ya si Mira." Maura dengan sigap langsung menggarap pengeluaran tokonya. Dia merekap dari bulan lalu, karena bulan lalu juga dia belum sempat rekap. Maura memang memiliki usaha sendiri. Usahanya sudah berjalan kurang lebih 2 tahun dari dia sewaktu pengabdian. Maura memang lulusan pondok pesantren. Setelah lulus pengabdian, dia memang mulai memikirkan untuk memulai bisnis. Awalnya dia mencoba untuk berbisnis masker wajah dari sisa uang tabungannya di pondok, tidak meminta sama sekali kepada orang tuanya. Ternyata masker sudah banyak yang mengelola. Akhirnya dia nekat meminta dana, tapi tidak semua. Hanya setengahnya saja dan setengahnya lagi memakai uang yang dia punya. Dia mulai berbisnis pashmina. Awalnya dia ragu, berbekal tekad dan keberanian tercapailah apa yang dia mau. Di pertengahan jalan bisnisnya, dia sempat putus asa. Tapi ayahnya selalu memberi dukungan begitu pun dengan bundanya. Awalnya dia mencari bahan sendiri kadang dibantu adiknya atau bundanya. Tapi sekarang sudah ada bagian yang mencari bahan. Dia juga suka ikut mencari, tapi jarang. Tok..Tok.. Tok.. "Kak," panggil bunda Tia dari depan pintu kamar Maura. "Iya Bun," jawab Maura dari dalam kamar. Untungnya kamar Maura tidak kedap suara. "Kata Ayah disuruh keluar Kak." "Iya Bun, sebentar Ara lagi buat data pengeluaran toko." "Yaudah, kalo udah selesai langsung keluar ya." "Iya Bun," Maura buru-buru menyelesaikan pekerjaannya. Tidak sampai tuntas, dia tidak enak membuat kedua orang tuanya menunggu. Biarkan dia mengerjakan sisa pekerjaannya nanti. Maura keluar dari kamarnya, dia melihat ayahnya dan bundanya sedang asik menonton televisi. "Ngga lama kan Yah nunggu Ara?" tanya Maura seraya duduk di sofa tunggal. "Ngga kok. Udah selesai ngerekapnya?" "Belum Yah, nanti aja Ara lanjutin lagi. Ayah kenapa manggil Ara?" "Tadi Bunda udah ngasih tau tentang kampus yang kamu pilih. Ayah juga tadi sempet nyari tau, akreditasnya bagus A. Ayah terserah kamu, yang mau menimba ilmu kamu bukan Ayah. Ayah sama Bunda cuman bisa mensuport apa yang kamu mau." ujar ayah Tio. Dia memang tidak pernah sama sekali yang namanya memaksa anak-anaknya untuk memilih sesuai kehendaknya. Tapi dia membebaskan apapun yang mereka pilih. Karena baginya yang menjalani anaknya, bukan dirinya. Bahkan dirinya tidak pernah sama sekali yang namanya menyarankan anak-anaknya untuk masuk kuliah kedokteran. Maura sendiri sudah paham bagaimana ayahnya. Jadi dia tidak pernah yang namanya terbebani dalam menjalani kehidupannya. Tidak pernah sesuatu apapun, dirinya merasa dipaksa. "Ya Ara sih udah yakin banget Yah kuliah di sana. Ara udah minta yang terbaik sama Allah, dan jawabannya lewat keyakinan Ara." "Bagus. Besok langsung daftar aja kalo kamu udah yakin. Masalah biaya biar Ayah yang tanggung. Uang kamu disimpen aja, sekolah kamu masih tanggungan Ayah." ayah Tio sangat paham sifat putri tunggalnya itu. Selalu merasa mandiri. "Tapi Yah.." baru saja Maura ingin menyangkal permintaan ayahnya, tapi sudah dicegah terlebih dahulu oleh ayahnya. "No debat. Udah Ayah mau mandi dulu," cegah ayah Tio, dia yakin pasti putrinya mau mendebatkan perihal biaya. "Udah deh Kak dengerin aja apa yang Ayah bilang. Tabung uang kamu." ujar bunda Tia yang ikut bangkit juga dari sofa. Maura menghembuskan nafasnya secara kasar. Heran dia dengan ayahnya, niatnya mempunyai usahakan untuk membiayai hidupnya. Tapi malah dicegah, dia kan mau mandiri. Tidak mau selalu bergantung dengan orang tuanya. "Kak, beliin Bunda minyak di supermarket depan komplek dong." teriak bunda Tia dari arah dapur. Maura bangkit dari sofa, dia berjalan ke arah bundanya. "Abis Bun minyaknya?" "Iya abis. Bunda mau masak." keluh bunda Dira sambil mengangkat bekas minyak gorengnya. "Yaudah Ara ganti baju dulu." jawab Maura pasrah dengan perintah bundanya. Pasalnya dia jika disuruh ke supermarket atau ke warung paling malas. Jika ada adiknya, Maura akan melempar tugasnya kepada sang adik dengan iming-iming dibelikan kuota. "Ada lagi Bun selain minyak goreng?" tanya Maura, dia tidak mau disuruh bolak-balik ke sana. Bunda Tia mengedarkan pandangannya ke seluruh rak bahan masakan di dapur. Melihat apa saja yang sudah habis. "Oh ada, catet. Kamu pelupa orangnya." "Hm," Maura mengeluarkan ponselnya membuka aplikasi note dan mencatat apa yang bundanya pesan. Setelah selesai mencatat, Maura bersiap pergi, "Bunda mau titip makanan ngga?" tanyanya seraya meraih kunci motor. "Beliin Bunda bakso Mang Ujo ya Kak." pinta bunda Tia. "Okey, Ayah aku beliin ngga?" Ayah Tio yang baru keluar dari kamar mandi langsung manyauti pertanyaan anaknya, "Ayah mau dong. Bakso urat ya." "Okey, Bunda bakso mercon apa telor?" "Telor aja." Baru saja Maura mau keluar dari rumah, dia melihat adiknya sedang memarkirkan motornya. "Mau ke mana lu Kak?" tanya Dea. "Mau ke depan." jawab Maura dengan cuek. "Es krim dong satu." "Hm," jawab Maura dengan deheman. Setelah motornya keluar dari rumah, dia pun langsung menghidupkan dan melaju menuju supermarket tujuan utamanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD