♡Bagian 9♡

2299 Words
"Hoam, Kakak kamu mana De?" tanya bunda Tia yang baru keluar dari kamar dengan muka bantalnya. Dea yang sedang asik menonton serial drama korea di TV, langsung menoleh ke arah bundanya. "Eh Bunda. Tidur Kakak." Bunda Tia melirik jam di dinding, "Jam 5 belom bangun? Tumben banget." gumam bunda Tia yang masih bisa didengar Dea. Dea langsung bangkit dari duduknya, dan menggedor pintu kamar kakaknya. Dia lupa, jika dirinya disuruh membangunkan kakaknya jam 4 tadi. Saking keasikan nonton drama korea itu, tamatlah riwayatnya. "Kak...Kak Ara..." teriak Dea seraya menggedor pintu kamar. Maura yang merasa tidurnya diganggu, melirik jam yang ada di ponselnya. Matanya seketika terbelalak ketika melihat angka yang tertera di layar ponselnya. "Deaaaaaaaaaaaa, awas yaa lu." geram Maura dengan berteriak. Dea yang merasa kakaknya sudah bangun dan sebentar lagi riwayatnya tamat, segera mencari perlindungan. Tidak lain dan tidak bukan perlindungan bundanya. Maura langsung bangun menuju kamar mandi. Mandi bebek saja cukup lah, dia sudah telat. Attar pasti sedikit lagi sudah ada di depan villanya. Tok..Tok..Tok.. "Kak," panggil Dea seraya mengetuk pintu kamar Maura. Maura yang sedang memakai lipmatenya hanya menyahuti dengan dehemannya. "Ada temen Kakak di depan." Kan panjang umur sekali. Baru saja Maura berfikir, Attar akan tiba. Setelah dirasa make-upnya tidak terlalu menor, Maura keluar dari kamarnya. Bunda Tia mengernyitkan dahinya, "Rapih banget kamu. Mau ke mana?" tanyanya. Maura menunjukan cengirnnya, "Hehe, mau jalan sama temen Bun." "Temen? Temen apaan?" setau bunda Tia putrinya itu tidak mempunyai kenalan di sekitar villa. "Bukan anak sini. Temen kuliah yang kebetulan lagi liburan di sini juga." jelas Maura dan langsung menyalimi punggung tangan bundanya. "Ara berangkat, assalamu'alaikum." pamit Maura. Dia juga langsung menyalimi ayahnya yang baru saja keluar dari kamar mandi. "Jangan malem-malem Kak pulangnya." peringat ayah Tio. Maura menganggukan kepala, "Iya Yah." Ketika dia membuka pintu villa, sudah ada pria yang menunggunya. Dengan pakaian yang terbilang sangat santai. Hanya celana pendek, kaos putih yang dilapisi dengan kemeja pantai. "Hay Tar. Udah lama?" sapa Maura. Attar yang mendengar suara yang dari tadi ditunggunya langsung membalikan badan, "Hay Ra. Ngga terlalu lama kok, yuk." Maura mengikuti langkah Attar. Sekilas Attar melihat kesampingnya tidak ada siapapun. "Ra, berasa apaan tau kalo lu jalan dibelakang gue. Sini apa disamping gue." ajak Attar, dia risih ketika Maura berjalan dibelakangnya. Tanpa menjawab apapun, Maura menyamakan langkahnya dengan Attar. Dia canggung sebenarnya jika berjalan seperti ini. Rara melihat didepan sana ada segorombolan wanita sepertinya seumuran dengan dirinya. Dia melirik kesampingnya, tatapan Attar tidak lepas dari gerombolan itu. "Cantik ya mereka." ujar Maura. Attar kaget, "E-eh iya." dia sendiri tidak mengerti kenapa Maura berkata demikian. "Semua perempuan pasti cantik Ra." lanjut Attar. Maura tersenyum masam, laki-laki jika ditanya pasti jawabnya seperti itu. "Lu juga cantik kok." Ucapan Attar membuat langkah Maura terhenti. Dia tidak salah dengar kan? "Ngapain berhenti? Ayo dikit lagi itu bebatuannya." Attar menarik pergelangan tangan Maura. Maura tanpa mengucapkan apapun menurut saja. Dia masih speechless dengan apa yang Attar ucapkan. Tapi dia berusaha untuk tidak memikirkan, takut terbawa perasaan. Maura sekilas melihat bebatuan itu, dia tidak yakin bisa sampai atas sana. Pasalnya dia memakai flatshoes. Takut licin dan ujungnya dia jatuh. Ketika dirinya memikirkan bagaimana cara menaiki bebatuan itu, dia melihat ada yang mengulurkan tangannya, "Ayo." ajak Attar. Maura ragu mau meraih tangan Attar. Karena tidak sabaran, Attar langsung meraih tangan Maura dan membantunya menaiki bebatuan. Attar menyuruh Maura untuk melepas flatshoesnya. Untungnya Attar sengaja mengenakan sandal gunungnya. Akhirnya mereka sampai diujung bebatuan. Dan Maura bisa menghirup nafas lega, dari tempatnya berdiri dia bisa melihat sebentar lagi matahari akan menenggelamkan diri dan digantikan dengan bulan. "Indah ya Ra." ujar Attar seraya menolehkan kepalanya ke arah Maura. Maura mengangguk antusias, "Indah bangettt Tar. Gue baru pertama kali liat sunset langsung begini." jawab Maura dengan tatapn berbinarnya. "Lu ngga pernah muncak?" Maura menggelengkan kepalanya, "Mamah selalu ngelarang keras. Ayah mah boleh-boleh aja yang penting gue bisa jaga diri." gumam Maura yang masih melihat pemandangan di depannya. Dia tidak mau menyia-nyiakan kesempatan ini. Attar paham posisi Maura. Adiknya saja, Rio sebelum punya KTP mana boleh kedua orang tuanya mengizinkan mendaki. Awal mendaki saja, harus dengan pengawasannya. "Tar, liattt ih bagus bangettttt." teriak Maura dengan wajah berbinar. Untung hanya ada mereka berdua di atas bebatuan ini. Attar bukannya melihat pemandangan sunset, baginya itu hal yang biasa. Dia asik menikmati wajah orang disebelahnya. Dia senang, bisa membuat Maura seantusias itu. Diam-diam Attar mengambil foto dengan kamera yang dibawanya. Tepat sekali Maura menolehkan kepala ketika Attar memfotonya. Maura mendelik sebal. "Attar ih. Lu motoin gue ya." dumel Maura berusaha mengambil kamera yang Attar pegang. Attar sengaja meninggikan kameranya agar Maura tidak bisa meraih. Maura berusaha melompat kecil untuk meraih kamera itu. Dia takut terjatuh. "Attarrr..." kesal Maura. Lagi lagi Attar dibuat tersenyum. Padahal Maura sedang kesal, tapi baginya sangat menggemaskan. "Cakep tau Ra. Kayak candid, liatin deh." Attar menunjukan hasil fotonya. "Cakep juga lu ambil gambarnya." puji Maura. "Iya lah, mangkannya gue masuk broadcast." Maura menganggukan kepalanya. "Lah elu sendiri kenapa ngga masuk tata busana gitu Ra? Atau dunia perbisnisan?" tanya Attar bingung. "Gue dulunya mau masuk farmasi. Tapi selalu gagal. Dan gue ngga ada niat buat nekunin dunia bisnis, itu gue itung sebagai kegiatan di luar akademik. Broadcast itu juga usul Adek gue." Attar mengernyitkan dahinya, "Terus lu mau?" "Ya apa salahnya nyoba. Gue suka sama hal yang berbau tantangan gitu." Mereka terus asik mengobrol sampai tidak menyadari jika bulan sudah muncul ke permukaan. "Lah udah malem aja ya." ujar Attar seraya bangkit dari duduknya. "Ke asikan ngobrol kita." Maura ikut berdiri membersihkan bokongnya. Maura sekilas melihat ke bawah, dia memikirkan bagaimana caranya turun. Tidak mungkin dia melompat, remuk badannya. Apa lagi merosot seperti di perosotan. "Ayok." tanpa meminta persetujuan Maura, Attar sudah menggenggam sebelah tanganya. Membimbingnya untuk menuruni bebatuan. "Tar," Maura takut menuruni bebatuan itu. "Ikutin kata gue." Attar mengarahkan Maura untuk memijak batuan mana saja. Dan mereka sampai dibawah dengan selamat tanpa kejadian yang kurang mengenakan. Maura melihat jam di pergelangan tangannya, ternyata sudah waktunya solat maghrib. "Tar, ke mushola yuk. Solat dulu," ajak Maura. Dia berjalan mendahului Attar, dirinya mengira Attar akan mengikutinya. Ternyata Attar masih diam ditempat. Maura balik ke tempat Attar berdiri, "Ayoooo..." dia langsung menggeret Attar menuju mushola terdekat. Attar pasrah saja. "Gue mau solat, lu solat juga kan? Lagi ngga halangankan?" canda Maura. Tapi Attar diam saja, tidak menanggapi apapun. Maura mengedipkan bahunya, pergi menuju ruang wudhu khusus wanita. Tidak membutuhkan lama untuk solat maghrib, hanya 10 menit. Dia kira, Attar belum selesai. Ternyata sudah ada di depan masjid. Sebentar, Maura memandang sejenak ke arah Attar yang menatap jalan raya. Jika orang sehabis solat, pasti akan terlihat rambutnya basah. Tapi ini tidak basah sama sekali. "Tar, udah solat?" tanya Maura ketika sudah duduk disamping Attar. Attar kaget ketika mendapati Maura sudah duduk disampingnya. Dia ragu ingin menjawab apa. "Tar," Maura menggoyangkan tanganya dihadapan Attar. Attar hanya memandang lurus kearahnya tanpa menjawab apa yang dia tanya. "Ah, udah Ra. Udah." Maura merasa aneh mendengar jawaban Attar seperti orang ketakutan. Dia membiarkan saja, toh dosa Attar yang menanggung. Tugasnya hanya mengingatkan sesama muslim. "Ra, makan sate bentar yuk." ajak Attar ketika melihat tukang sate didekat mushola. "Hhmm, boleh deh." "Pak, satenya dua porsi ya." pesan Attar kepada tukang sate itu. Sepi, hanya ada satu pembeli sebelum dirinya. "Siap Mas. Lontongnya berapa?" Attar menolehkan kepala kearah Maura, "Mau berapa?" "Gue tiga aja." ujar Maura santai. Baru kali ini Attar bertemu dengan perempuan yang tidak menutupi sifatnya sama sekali. Biasanya ketika dia sedang jalan dengan teman perempuannya, maka mereka akan sengaja memesan sedikit. Dia bingung, seperti itu apa gunanya? Jika ujung-ujungnya lapar lagi. "Lontongnya 5 Pak. satunya tiga, yang satu dua." "Siap Mas." Attar menatap Maura yang asik dengan ponselnya. Maura merasa orang dihadapannya sedang tertawa. Maura mengernyitkan dahinya heran, "Lu kenapa sih? Ngga keseurupan kan Tar?" tanya Maura seraya memegang dahi Attar. "Ngga kok. Lu mesen lontong banyak gitu ngga jaim sama gue Ra?" tanya Attar spontan. "Gue? Jaim sama lu?" Maura tertawa kencang sampai pembeli yang baru datang menetapnya dengan aneh. Attar mendengus, bukannya merasa malu atau apa ketika dirinya bertanya. Ini Maura malah menertawakannya. "Sorry Tar. Gue mah ya begini orangnya. Ngga kenal jaim." "Nah yang begini gue suka."Attar menyodorkan tangannya yang bergumpal. Maura yang paham, langsung membenturkan tanganya juga yang bergumpal ke arah Attar. "Emang kenapa sih? Kok lu nanya begitu?" "Ya ngga. Biasanya temen cewe gue tuh kalo makan sok malu-malu depan gue. Sampe gue ngucap, kenyang apa makan dikit." Attar mengucapkannya dengan menirukan gerakan. Maura dibuat puas tertawa oleh Attar. Tawanya terhenti saat penjual sate itu menyerahkan dua piring dihadapan. mereka. "Ra, itu ngga terlalu banyak?" tanya Attar melihat piring Maura yang penuh tidak seperti piringnya. "Gue belom makan. Dari gue nyampe di sini." jawab Maura lalu memasukan setusuk sate ke dalam mulutnya. "Lagian tadi disuruh makan sama Mamah, lu nolak." cibir Attar mengingat tadi siang ketika mereka bertemu, mamah Oliv menawari Maura untuk makan bersama tapi Maura menolaknya. "Ish, itu gue belom laper tau." dumel Maura. "Mangkannya jangan malu-malu." Attar tidak berhenti meledek Maura. Baginya pemandangan ketika Maura merajuk itu sangat menyejukkan. "Sekali lagi lu ledek gue, gue tabok lu." ancam Maura dengan mengangkat sendoknya. Attar menangkupkan kedua tangannya di depan d**a, "Ampunn kanjeng ratu." Maura memutar bola matanya malas. Percuma saja, memang sifatnya Attar begitu. Awalnga dia mengira Attar itu pendiam, ternyata sangat terbalik dengan perkiraanya. "Langsung balik Ra?" tanya Attar yang sudah selesai makan terlebih dahulu. Maura menganggukan kepalanya ketika sudah selesai menyusul Attar, menghabiskan satenya. "Iya, gue digorok ama Ayah kalo belom balik ampe malem." ujar Maura seraya melihat jam di pergelangan tangannya yang sudah menunjukan pukul 8 malam. Attar bangun dari duduknya, dia memesan dua bungkus sate lagi. Yang satu untuk keluarganya dan yang satu untuk dia bawakan keluarga Maura. Maura mengeluarkan uang selembar berwarna biru dari dalam dompetnya dan menyerahkan kepada Attar. "Nih," Attar menolak uang tersebut, "Apaan sih Ra. Udah simpen aja duitnya." Maura tetap memaksakan agar Attar mengambil uang itu. "Tar, ambil ih. Lu ngga ambil gue balik sendiri nih." ancam Maura yang sudah mau pergi dari sana. Dengan terpaksa, Attar menerima uang yang Maura serahkan. Sebenarnya pantang bagi dirinya ketika sedang jalan dengan wanita, wanita itu yang membayar walaupun untuk makanan yang dimakan si wanita. Tidak, dia seorang lelaki yang gentlemen jadi harus membayarkan wanita itu. "Yok." ajak Attar, tadi Maura menunggunya di bangku depan tukang sate. Maura melihat Attar membawa dua kantong plastik, dia tidak berfikir yang aneh-aneh. Mungkin Attar membelikan untuk keluarganya sendiri. "Lu anak pesanteren ya Ra?" tanya Attar ketika mereka berjalan ditepian pantai. Maura menganggukan kepalanya, "Iya, kenapa emang? begajulan ya gue?" "Begajulan? Apaan tuh?" tanya Attar tidak mengerti dengan apa yang Maura ucapkan. "Urakan maksud gue." "Ngga kok. Ya ngga keliatan aja." Maura menganggukan kepala paham. Benar ternyata apa yang dikatakan Kiara. Orang melihat anak pesantren itu hanya dengan image alim, pendiam. Maura diam-diam menyunggingkan senyumnya. Miris sekali. "Lu kenapa Ra?" tanya Attar ketika melihat Maura menyunggingkan senyum. "Hah, oh ngga. Gak papa kok." "Tar," "Hm?" Maura ragu ingin menanyakan ini, "Lu malu ngga kalo bertemen sama gue?" tanyanya dengan suara pelan. "Malu? Emang kenapa? Lu nyuri?" gurau Attar. Dengan reflek Maura memukul bahu, "Ish lu mah." "Lagian lu nanyanya begitu." "Udah lah, lupain." Maura berjalan meninggalkan Attar. Attar tersenyum sebelum mengejar langkah Maura. Dia paham maksud dari pertanyaan Maura. Attar langsung merangkul bahu Maura, "Gue bertemen itu ngga pernah milih-milih. Mau dia kayak gimana pun, selagi itu tulus bertemen sama kita, kenapa harus disingkirin?" Maura langsung melepaskan rengkuhan Attar, "Ishhhh bukam mahram tau. Maen rangkul-rangkul aja." dumel Maura. "Mahram?" "Mahram itu semua orang yang haram dinikahi karena ada hubungan tali kekeluargaan." jelas Maura. Attar mengernyitkan dahinya tidak mengerti, "Ngga paham." "Ya gini ya pake bahasa gue aja ngejelasinnya. Mahram itu orang yang ada hubungan darahnya sama kita." "Terus hubungannya gue sama ngerangkul lu apaan?" tanya Attar dengan heran. "Ya gitu deh. Coba lu entar pahamin sendiri aja di google ya," Maura pasrah menjelaskan kepada Attar. Attar langsung membuka ponselnya dan mencari apa yang Maura ucapknga. Dan ketemu. "Oalah mahram itu muhrim ya." "Muhrim sama mahram beda Attar." kesal Maura. Padahal anak itu sudah membuka google, di google pasti ada keterangan perbedaan mahram dan muhrim. "Bentar, tapi tadi kenapa lu mau waktu gue ulurin tangan di bebatuan?" Skakmat, Maura mendadak gugup menjawab itu. "Y-aa itu kan reflek Tar. Kalo gue jatoh gimana?" "Ya gelinding paling." jawab Attar enteng. "Ish tau ah." Maura segera berjalan ke villanya yang sudah terlihat. Attar kali ini berjalan dibelakang Maura. Tidak mensejajarkan dengan Maura. Dia mulai tertarik dengan wanita itu. "Tar, thanks ya." ujar Maura ketika keduanya sudah sampai di villa Maura. "Iya sama-sama. Jangan bosen ya jalan sama gue." Maura pura-pura memasang wajah gelinya, "Dih, siapa yang mau jalan sama lu lagi." "Jahat lu." Attar sengaja memasang wajah cemberutnya. "Oh iya, ini buat orang di dalem ya." ujar Attar seraya menyerahkan satu kantong plastik yang berisikan sate. "Loh apaan? Buat keluarga lu?" Attar menunjukan satu plastiknya lagi, "Ini." "Etsss, gue ngga nerima bayaran ya kali ini." larang Attar. "Okey, okey. Makasih ya, salamin buat Tante Oliv sama keluarga lu yang laen." pesan Maura. "Iya nanti gue sampein. Yaudah gue balik ya," pamit Attar yang sudah berjalan menjauh dari Maura. "Ati-ati Tar." teriak Maura yang langsung dibalas acungan jempol oleh Attar. Maura melihat Attar sudah menjauh darinya. Dia takut, apa yang Attar lakukan akan berdampak dengan hatinya. Semoga saja hatinya kuat menahan godaan dari Attar. "Kak," panggil Dea yang sudah berdiri disebelahnya. "Eh, nih." Maura menyerahkan sekantong plastik yang isinya sate. "Apaan nih?" Dea menghirup baunya, "Wihh sate ya. Asik," Dea dengan riang melangkah masuk ke dalam villa. Maura ikut masuk ke dalam villa. Entah kenapa dia merasa nyaman dengan Attar. Baru pertama kali mereka jalan berdua seperti ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD