Hari weekend tiba. Hari di mana yang selalu dinanti sebagian orang. Begitupun dengan keluarga besar Alfalimbani. Mereka semua sudah bersiap-siap untuk berlibur. Tidak jauh-jauh, hanya pantai yang masih ada di dalam kota yang mereka tinggali.
"Kak, bawa sunblock." teriak Dea dari depan pintu kamar kakaknya.
Sedangkan yang diteriaki masih asik berkutat dengan selimut. Tanpa perduli orang di luar kamarnya sudah ribet mempersiapkan peralatan mereka.
"Kakkk... "
Bugh.. Bugh.. Bugh...
Pintu kamar digedor sekencang mungkin. Karena yang mengetuk tahu seberapa bangkongnya empu kamar ketika tidur.
Merasa tidurnya terganggu, Maura membalikan badannya menutupi kepalanya dengan bantal.
Ceklek,
Pintu terbuka dengan bantuan kunci cadangan yang sengaja disimpan bunda Tia apabila sewaktu-waktu dibutuhkan. Seperti saat ini.
"Astagfirullah, Kak. Kamu masih asik sama selimut sedangkan kita semua udah pada rapih." omel bunda Tia melihat putri sulungnya masih menggelung di bawah bantalnya.
Bunda Tia menarik selimut yang Maura gunakan. Membuka lebar gordeng kamarnya sekaligus jendela agar sinar matahari langsung masuk.
"Bun, silauuuu." dumel Maura ketika sinar matahari mengenai wajahnya.
Bunda Tia tidak kehilangan akal, dia mengambil sapu lidi, "Kak bangun atau..."
Maura langsung lari masuk ke dalam kamar mandi, "Iya Bun.." teriaknya. Dia tadi sudah mendengar bundanya memegang sapu lidi. Bisa tamat riwayatnya jika sang bunda benar melakukan hal tersebut.
Bunda Tia menggelengkan kepalanya, "Padahal ngambil sapu buat beres-beres kasurnya dia." kekeh bunda Tia berhasil membangunkan putrinya. Dirinya tidak mungkin benar-benar memukul anaknya sendiri, tidak akan pernah.
Dia melihat di ujung kamar putrinya, ada tas yang sepertinya berisikan pakaian yang akan dia bawa. Mereka menang akan menginap selama 2 hari satu malam.
"Kak, handuknya Bunda taro di gagang pintu." ujar bunda Tia seraya menggantungkan handuk anaknya. Dia tadi tidak melihati Maura membawa handuk ke kamar mandi.
"Tengkyuuu Bun." teriak Maura dari dalam kamar mandi.
Setelah selesai dengan ritual mandinya, Maura mengemaskan alat make upnya. Dirinya pun sudah siap untuk berangkat. Maura mengangkat tas yang akan dia bawa keluar dari kamarnya.
"Dikit amat Kak bawaanya. Tumben banget." sindri Dea, biasanya kakaknya itu membawa barang melebihi siapapun. Tapi kali ini sepertinya paling sedikit.
"Kata siapa dikit? Masih ada satu tas lagi di kamar. Ambilin gih De." suruh Maura. Dea rasanya ingin menarik kata-katanya yang menganggap Maura membawa barang bawaan sedikit.
Dea langsung lari menuju dapur. Dari pada disuruh mengeluarkan tas yang pastinya berukuran besar itu. Ternyata ketika dirinya sampai di dapur pun, bundanya menyuruh dirinya untuk membawakan makanan yang sudah bunda Tia sajikan ke tempat di mana tas mereka semua dijadikan menjadi satu.
Ayah Tio memang belum mengeluarkan mobil. Jadi mereka tidak bisa memasukan barang-barang ke dalam mobil jika mobil tersebut masih di dalam garasi belum di halaman rumah.
"Ayah ke mana Bun?" tanya Maura yang sudah berdiri disamping bunda Tia.
"Tadi sih katanya mau ngambil kunci gitu di gudang."
"Kunci? Kunci apaan Bun?"
"Itu loh kunci buat dandanin mobil kalo rusak. Coba Kak kamu liatin."
Maura melangkahkan kakinya menuju halaman belakang rumahnya. Dia berjalan menuju kamar yang di mana menyimpan berbagai macam peralatan untuk membetulkan motor atau mobil.
"Yah," panggil Maura. Dia melihat ayahnya tengah mencari sesuatu.
"Eh, kenapa Ra?"
"Mobil belom dikeluarin Yah?" tanya Maura.
"Belom Kak. Mobil Ayah businya kemarin bermasalah." jawab ayah Tio tanpa mengalihkan pandangannya mencari sesuatu.
"Yah, pake mobil Ara aja. Sehat kok mobilnya, kemaren abis Ara bawa ke bengkel." usul Maura, menurutnya dari pada mereka tidak berangkat-berangkat lebih baik menggunakan mobilnya saja yang baru kemarin melakukan cek-up di bengkel.
Ayah Tio melihat ke arah putrinya, "Gak papa Kak?"
Maura menganggukan kepalanya, "Iya Yah. Gak papa."
"Yaudah, kamu keluarin ya. Ayah mau cuci tangan dulu."
Mobil di rumah ini memang hanya ada dua. Mobil ayah Tio dan mobil Maura, itu saja Maura membeli mobil dengan uang hasil usahanya sendiri. Pertama kali dia belikan mobil baru dia mengambil motor. Ya walaupun ketika membeli mobil masih ada sedikit yang ayahnya bantu.
"Ayo Bun."
Bunda Tia yang sedang asik menonton televisi menolehkan kepalanya, "Mobilnya udah bener Kak?" tanyanya.
"Belum Bun. Naek mobil aku aja, kemarin abis cek-up di bengkel."
Menurut bunda Tia, memang lebih baik menggunakan mobil putrinya. Dia yang sudah biasa memakaikanya memang mengakui lebih enak dari pada mobil suaminya.
"Okey, ayo berangkat."
Mereka semua bergotong royong memasukan tas ke dalam mobil. Setelah memastikan tidak ada yang tertinggal, mereka akhirnya pergi menuju tujuan liburan mereka. Keluarga Alfalimbani memang mewajibkan dua minggu sekali, sekeluarga harus liburan. Guna merefresh otak mereka dari penatnya menjalankan pekerjaan.
Hanya membutuhkan waktu kurang lebih 4 jam, mereka sampai di tujuannya. Pantai yang memang jarang sekali di kunjungi orang. Salah satu tujuan favorite mereka ketika liburan.
Ayah Tio sudah menyewa satu villa. Villa yang selalu menjadi tempat tujuan mereka. Sampai penjaga villanya sudah hafal dengan keluarga mereka.
"Yah Bun, Ara mau jalan keliling pantai dulu ya." pamit Maura. Ketika Dea mau ikut dengannya, Maura melarang. Dia mau sendiri tanpa ada yang mengikuti.
Dengan raut wajah cembertunya, Dea masuk ke dalam kamar. Maura tidak memperdulikannya. Adiknya itu memang selalu mengikutinya ketika mereka sedang berlibur. Bukannya Maura tidak sayang, tapi ada saatnya di mana dirinya tidak mau selalu diikuti.
Sepanjang dia berjalan di tepi pantai, dia melihat sepasang kekasih sedang asik dengan jetski. Saling melempar canda dan tawa. Ah rasanya jika seperti itu Maura ingin mempunyai kekasih.
Tapi ketika dirinya sedang didekati oleh seorang pria, dirinya malah menjadi risih. Bukan apa-apa, dirinya terbiasa hidup sendiri. Ketika dia tidak membalas chat dari pria itu, dirinya akan dituduh yang tidak-tidak. Dan itu sangat membuatnya ilfil. Jangankan dari pria itu, dari keluarganya sendiri terkadang Maura malas untuk membalas chatnya.
Jika ada hal penting, keluarganya akan menelfon dirinya. Bukan hanya keluarga, orang yang sudah lama mengenalnya jiga seperti itu. Dirinya malas jika sedang mengobrol dengan lawan jenis, yang ditanya hanya 'SUDAH MAKAN' atau 'LAGI NGAPAIN' percakapan yang sangat amat membosankan baginya.
Hey, dirinya bisa menjaga diri. Jadi tidak perlu ditanya hal seperti itu. Jika memang mau mendekatinya, dengan bukti. Bukam sekedar bertanya atau menggombal lewat chat. Rasanya Maura ingin langsung memblock orang tersebut. Tapi dia masih punya hati.
Bukan bermaksud untuk jual mahal. Tapi ayahnya selalu menasehati dirinya, 'jika kamu mau mendapatkan lelaki baik, maka kamu pun harus baik. Jika kamu mau mendapatkan pasangan yang taat agama, maka kamu juga harus seperti itu memperbaiki diri. Karena jodoh itu cerminan diri.'
Dan Maura tidak mau mendapatkan lelaki yang selalu main perempuan. Dia mau mendapakan lelaki yang seperti dirinya, sedang berusaha memperbaiki diri.
Bugh,
Dirinya terdorong kebelakang sampai terjatuh diatas pasir.
"Aduh maaf Kak, maaf." ujar anak yang tadi menabrak Maura.
"Eh, iya gak papa Dek." Maura berdiri seraya membersihkan bokongnya dari pasir pantai yang menempel.
"Tuh kan nabrak orang."
Maura mendongakkan kepalanya, sepertinya itu kakak dari orang yang menabraknya tadi.
"Maafin Adek saya ya Kak." ujar lelaki itu seraya meminta maaf.
Maura tersenyum, "Iya gak papa kok."
"Rio Tiara..." panggil seorang wanita dari kejauhan.
"Kak kita pergi dulu ya. Mamah udah manggil." pamit kedua anak itu.
"Eh iya silakan."
Maura memicingkan matanya, dia seperti mengenal ibu-ibu itu. Tapi di mana ya? Oh iya, dia salah satu resellernya dari Bogor.
Maura tersenyum ramah ketika mendapati ibu itu melihat ke arahnya. Ternyata ibu itu menghampirinya.
"Loh Maura?" kaget ibu itu ketika sudah sampai dihadapan Maura.
"Assalamu'alaikum tante," sapa Maura seraya menyalami punggung tangan ibu itu.
"Wa'alaikumsalam. Ya Allah kita ketemu di sini, ngga nyangka Tante. Sendiri kamu?" tanyanya seraya melihat sekitar Maura.
"Sama keluarga Tante. Tapi pada lagi istirahat di villa."
"Oh begitu, ikut Tante yuk. Kebetulan keluarga Tante lagi makan-makan."
Mau menolak pun percuma bagi Maura. Tangannya sudah digeret duluan. Hanya pasrah yang dilakukan Maura.
Betapa terkejutnya Maura ketika mendapati teman kampusnya ada di sana. Sama halnya seperti Maura, Attar juga kaget ketika mamahnya menganggandeng tangan Maura.
"Pah, ini yang Mamah ceritain kemarin loh." ujar mamah Oliv dengan nada riangnya.
Tiara mengernyitkan dahinya, "Loh Mamah kenal sama Kakak ini?"
"Ini yang punya toko pashmina yang Mamah jualin."
"Hah? Serius Mah? Wih hebat yaa Kakak ini. Aku Tiara Kak, yang tadi nabrak Kakak." Tiara mengulurkan tangannya yang dibalas oleh Maura.
"Maura," ujarnya. Senyum Maura tidak hilang dari tadi di wajahnya.
"Bang, ngga mau kenalan?" goda mamah Oliv kepada putra sulungnya yang dari tadi dia perhatikan pandangannya tidak lepas dari Maura.
"E-eh Abang udah kenal Mah." jawab Attar santai.
Mamah Oliv kaget, "Kamu kenal sam anak Tante?" tanya mamah Oliv terlihat sangat antusias.
Maura menganggukan kepalanya, "Iya Tante. Dia temen kuliah Maura."
"Wahhhh bagusss itu." ujar mamah Oliv.
Maura tersenyum canggung, beruntung Tiara mengajaknya untuk duduk dan dia mengajak Maura mengobrol. Attar tatapannya tidak lepas dari Maura. Entah kebetulan atau apa, sampi mereka liburan saja masih dipertemukan.
Attar tidak merasakan apapun. Lebih tepatnya belum merasakan. Hanya perlahan dia menjadi gugup ketika bertemu dengan Maura. Tapi semua itu dia tutupi, tidak mau sampai orang sekitarnya menyadari hal tersebut.
"Tante, Maura izin pamit ya. Bunda udah telfon tadi." pamit Maura ponselnya dari tadi tidak berhenti bergetar.
Mamah Oliv yang tadinya asik dengan panggangannya menghampiri Maura, "Yah, Tante kira kamu mau ikut bakar-bakaran."
Maura tidak enakan sebenarnya melihat raut sendu dari tante Oliv, "Nanti sebelum Maura pulang, Maura ke sini dulu deh."
"Kamu pulang kapan?"
"Kalau ngga ahad malem, senin paginya Tan."
"Okee gampang lah. Attar anterin gih," suruh mamah Oliv yang melihat putranya itu hanya diam saja tanpa membantu apapun.
"Ehh, ngga usah Tante. Villa Maura deket kok dari sini." tolak Maura secara halus. Walaupun Attar itu temannya, tapi hawa canggung meliputi keduanya jika hanya berdua.
Attar yang mengerti kode mata dari mamahnya langsung bangun dari kursinya. Maura sendiri hanya pasrah, menolak pun percuma.
Sepanjang pantai yang mereka lewati tidak ada yang membuka mulut. Hanya hembusan angin yang terdengar di telinga masing-masing. Attar sendiri canggung mau memulai obrolan seperti apa.
"Dari kapan?"
"Dari kapan?"
Sontak keduanya menatap satu sama lain, ketika pertanyaan yang sama mereka tanyakan. Pecahlah tawa keduanya.
"Ladies first." ujar Attar mempersilakan Maura bertanya terlebih dahulu.
Maura menganggukan kepalanya, "Dari kapan di sini?"
"Dari hari jum'at."
Jadwal di hari jum'at bagi kelas Attar dan Maura memang diliburkan. Tidak ada mata kuliah.
"Oh,"
"Kalo lu?" giliran Attar yang bertanya balik.
"Baru aja nyampe."
Attar menganggukan kepalanya, "Enak ya liburan di sini. Sunyi, tempat favorite Mamah sama Papah gue dari mereka masih pacaran."
"Woh, dari masih muda yaa berarti. Emang sepi banget sih, dibatesin kan juga kalo mau ke sini. Mana harus nyebrang kapal dulu kan. Ribet mungkin bagi warga Jakarta." keduanya terkekeh secara bersamaan.
"Mau liat sunset ngga? Gue tau tempat yang paling Bagus buat liat sunset." ajak Attar.
Maura menganggukan kepalanya antusias, "Mau. Mau bangettt." Maura memang sangat menyukai matahari tenggelam. Dan selama berlibur ke sini, dia hanya melihat sunset dari depan villa. Tidak berani melangkah jauh-jauh dari sana. Kecuali tadi, sampai dia bertemu dengan keluarga Attar.
"Nanti jam 5 gue jemput ke sini ya."
"Siapp. Thanks ya Tar udah dianter." ujar Maura.
"Iya sama-sama."
Maura masuk ke dalam villa. Dia mengira Attar sudah pergi ketika dirinya masuk. Tapi Attar memastikan dirinya masuk villa. Ketika Maura melihat dari jendela, baru Attar pergi.
Dea yang melihat gerak-gerik aneh dari kakaknya ikut mengintip ke jendela, ternyata di sana ada cowo yanh sedang menatap ke arah villanga.
"Hayooo.. Pergi bentar udah dapet gandengan aja lu Kak." dengan reflek Maura membalikan badannya seraya memukul kepala adiknya.
"Aduh sorry, kaget gue." ujar Maura diiringi dengan cengirannya.
"Sakit astaghfirullah." Dea terus mengelus kepalanya yang terkena tangan enteng kakaknya itu. Salahnya sendiri memang mengangetkan kakaknya.
"Bunda sama Ayah ke mana?" tanya Maura seraya membuka kulkas mencari minuman apa yang bisa meredakan kekeringan ditenggorokannya.
Fasilitas di villa ini memang sangat komplit. Bahkan sampai di dalam kulkas sudah tersedia semua. Dari makanan i
ringan sampai minuman bersoda ada.
Maura meilirik jam dipergelangan tangannya, masih cukup waktunya istirahat walau hanya 2 jam.
"Eh gue mau tidur. Nanti bangunin yaa jam setengah 4." pinta Maura. Dia lelah, tadi sempat bergantian menyupir mobil dengan ayahnya.
"Heeh. Gue minjem laptop ya."
"Hm."
Maura langsung menjatuhkan tubuhnya di atas kasur, "Ah, nikmatnya..." gumam Maura seraya mengelus kasur dengan kaki dan tangannya.
Tiba-tiba difikirannya terlintas, kenapa jika dengan Attar mendadak dirinya menjadi canggung? Ketika dia bersama teman prianya yang lain tidak seperti itu. Maura buru-buru membuang fikiran jauhnya seperti itu. Tidak, untuk saat ini dia tidak mau merasakan yang namnya 'CINTA'
Ketika kamu mengenal apa itu 'CINTA' maka kamu harus siap yang namanya jatuh dan bangun. Dalam suatu hubungan tidak ada yang namanya selalu berjalan mulus. Pasti ada di mana saling mengeluarkan ego masing-masing. Dan itu lah hal tersulit, menahan ego. Sedangkan Maura masih belum yakin ketika dirinya memulai suatu hubungan, dia bisa mengalahkan ego tingginya.
Untuk saat ini, cukup karir dan pendidikan saja. Jalani dulu apa yang ada di depan mata. Tapi jika tiba waktunya 'CINTA' menghampirinya, dia siap tidak siap harus siap memulai perjalanan awalnya dalam kata kramat tersebut.