♡Bagian 7♡

2173 Words
Setelah memastikan motornya terparkir di halaman dengan baik, Attar melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah. Hanya suara TV lah yang dia dengar ketika masuk ke dalam rumahnya. Sudah dapat dipastikan jika adiknya itu yang menonton televisi. "Assalamu'alaikum," salam Attar ke dalam rumahnya. "Wa'alaikumsalam. Eh udah pulang Bang?" tanya Tiara seraya menyalami punggung tangan abangnya. "Ini kan udah di rumah Ti." Tiara berdecak malas mendengar jawaban seperti itu. Untung saja dia memaklumi abangnya itu, sedikit jayus. Attar meraih toples yang ada di pelukan Tiara secara paksa, "Mamah ke mana Ti?" "Mamah ke Jakarta, ngambil barang katanya." jawab Tiara masih dengan fokusnya ke layar TV. "Tumben kamu ngga ikut?" tanya Attar masih asik mengunyah cemilan rampasannya dari Tiara. "Mager Bang." jawab Tiara seraya bangkit dari sofa menuju dapur. "Dek, sekalian Abang." teriak Attar, dia tahu adiknya itu pasti mau mengambil minum. Attar memang tinggal di Bogor dan harus menempuh jarak sekian kilometer untuk menempuh pendidikannya. Dia melihat adiknya membawa dua gelas air yang dari luar gelasnya tampak berembun. "Thanks," Attar langsung menghabiskan air dingin itu, "Ahh, alhamdulillah. Mamah emang masih jualan kerudungan gitu ya Dek?" "Masih. Palingan dijualin di Ibu-ibu atau ke temen-temennya. Kenapa Bang? Mau ikut jualin?" Attar melempar adiknya itu dengan cemilan yang dia makan, "Ya kali." dia bangkit dari duduknya. Attar kangen dengan kasurnya, badannya lelah harus mengemudi motor sejauh itu. Tapi demi kampus yang dia inginkan, rela saja dirinya. Tiba-tiba fikirannya terlintas tawa seseorang. Tawa yang sangat berbekas di otaknya. Tawa yang berbeda dengan mantan kekasihnya. Attar langsung menggelengkan kepalanya ketika menyadari dia tengah mengingat mantan kekasihnya. Tidak, dia tidak boleh mengingatnya lagi. Mati-matian dirinya melakukan move on selama kurang lebih 2 tahun. Padahal dirinya hanya berpacaran kurang lebih 1 tahun. Memang aneh sekali dirinya ini. Di atas kasur, Attar langsung membuka aplikasi sosial medianya. Betapa terkejutnya dia melihat mamahnya berfoto dengan seorang gadis yang dari tadi mengusik fikirannya. Mamahnya itu memang sangat update dengan media sosial, jadi apapun itu pasti dimasukkan ke dalam instagramnya. Dan dia melihat foto mamahnya di status w******p. Itu berarti mamahnya berbelanja di toko gadis itu? Pertanda apa ini semua? Dunia begitu sempit baginya. Tangannya sudah gatal ingin membalas story mamahnya. Akhirnya dia memutuskan untuk menge-chat mamanya saja. Me Mah, lagi di mana? Membutuhkan waktu yang lama untuk menunggu mamahnya membalas pesannya. Padahal status dilayar, mamahnya sedang online. Ibu Negara ??? Kenapa kamu nanya-nanya. Biasanya juga cuek banget Mamahnya keluar. Me Yailah Mah, aku nanya salah, ngga nanya tambah salah ? Ibu Negara ??? Udah Bang, mamah mau pulang dulu. Bye. Me Tiati Mah ? (Read) Setelah melihat pemberitahuan hanya diread saja, Attar langsung beralih ke game yang ada di ponselnya. Tok... Tok.. "Bang," teriak Tiara dari depan pintu kamar. "Apaan." balas Attar dengan teriakan juga. Ceklek, "Bang, solat maghrib jama'ah yuk. Kak Rio belom balik dari rumah temennya." pinta Tiara. Dia memang terbiasa solat berjama'ah. Jika bukan Rio yang mengimamkan, papahnya lah yang turu. tangan. Dulu, Attar lah yang menjadi imam keluarga ini. "Duluan Dek." jawab Attar tanpa mengalihkan pandangannya dari layar ponsel. Sebenarnya Tiara sudah tahu jawaban apa yang akan dia dapat. Tapi baginya, apa salah jika menawarkan? Barang kali abangnya itu sudah kembali seperti dulu. "Assalamu'alaikum." salam Rio yang baru pulang dari rumah temannya. Tiara langsung menutup pintu kamar abangnya. Dia senang Rio sudah pulang, itu artinya dia bisa solat berjama'ah. Attar masih sibuk dengan game di ponselnya. Katakan lah dirinya maniak game, memang itu kenyataannya dan dia tidak memungkirinya. "Bang," panggil Rio yang sudah masuk ke dalam kamar abangnya. Ternyata benar apa yang Tiara katakan tadi, jika abangnya itu masih asik dengan bermain game di ponsel. "Hm," jawab Attar dengan gumamannya. Rio langsung menidurkan diri disamping abangnya, "Abang udah solat?" tanyanya dengan lembut. Jika sudah seperti ini, Attar tidak boleh diajak berbicara dengan keras. Maka dia akan lebih keras. "Belom." jawab Attar santai. "Bang liat tuh jam," tunjuk Rio ke arah dinding kamar Attar, "Udah mau isya Bang. Abang belom solat maghrib kan?" tanyanya. "Bentar Yo. Tanggung ini." "Yaudah, nanti aku bilang Papah..." Attar membanting ponselnya di atas kasur, "Kek cewe aja lu ngaduian a*j*n*." dan bergegas masuk ke dalam kamar mandi. Rio sudah biasa mendengar u*****n dari mulut abangnya itu. Jadi sudah biasa baginya. Setelah menjalankan solatnya, Attar turun ke bawah. Perutnya terasa melilit, dia lupa jika belum makan malam. Dia melihat kedua adiknya sedang bercanda di ruang keluarga. "Mamah belom pulang?" tanya Attar, keduanya langsung menolehkan kepala ke arah dapur yang masih bisa dilihat dari ruang keluarga. "Belom. Katanya lagi di jalan Bang." Attar menanggapi dengan anggukan. Dia membuka tutup saji, "Kok ngga ada lauk Dek?" Tiara langsung bangun dari duduknya dan berjalan kearah dapur. Dia membuka kulkas di depannya, "Noh lauk semua." tunjuk Tiara ke dalam kulkas. "Lu udah makan Yo?" tanya Attar. Rio langsung menghampiri saudara-saudaranya di dapur, "Belom Bang." Merasa dirinya bertanggung jawab atas kedua adiknya, Attar lah yang memanaskan makanan dari dalam kulkas. Memanaskan di dalam microwave. "Sendokin nasinya." pinta Attar. Terserah mau siapapun yang menyendokan. Tiara berdiri dengan tanggap mengambil piring di dalam lemari 3 buah dan menyendokan nasi ke dalam masing-masing piring. Sedangkan Rio, dengan inisiatifnya sendiri dia membuat air jeruk dingin. Ketiga saudara itu memang saling menyayangi satu sama lain dengan cara mereka sendiri. Attar menata lauk yang sudah dia panaskan di microwave ke meja makan. Begitupun dengan Tiara yang sudah selesai menyendokan nasi. "Yuk makan," sorak Tiara dengan nada riangnya. Memang Tiara lah yang membawa keceriaan bagi kedua saudaranya. Jika hanya Attar dan Rio, mereka tidak akan saling sapa. Hanya diam dan berbicara sekedarnya saja. Suara detingan sendok mulai bergantian. Sampai suara seorang wanita masuk menghentikan kegiatan makan mereka. "Assalamu'alaikum." salam wanita itu dengan belanjaan yang sangat banyak di tangannya. Rio spontan memberhentikan makannya dan membantu mamahnya membawakan barang belanjaan. Attar yang tinggal sedikit lagi makannya, cepat-cepat menghabiskan. Dia mau menanyakan sesuatu. Setelah menaruh piringnya di tempat cuci piring, Attar bergegas menghampiri mamahnya dengan tangan yang sudah membawa satu gelas es jeruk yang tadi Rio buat. "Wih banyak amat Mah belanjanya. Kenapa ngga pas weekend aja sih? Kan aku atau Rio anterin." Mamah Oliv membuka hijabnya dulu, "Kelamaan Bang. Tetangga udah banyak yang nanyain." jawabnya seraya meletakkan hijab yang sudah dia lepaskan. "Aku kira Mamah udah ngga jualan ginian lagi tau." "Mamah sempet vakum kemarin. Terus akhirnya Mamah lanjutin lagi waktu ngga sengaja nemu online shop yang ngejualin barang-barangnya dengan harga miring. Ya walaupun lumayan sih Jakarta-Bogor. Capek juga tau Bang nyupir sendiri." keluh mamah Oliv seraya mengkode memijat bahunya. Attar yang paham dengan kode mamahnya, dia langsung menyuruh mamahnya itu berbalik dan dia memijatkan bahu mamahnya. "Mah," panggil Attar. "Apa?" "Tadi cewe yang sama Mamah di story WA siapa Mah?" tanya Attar perlahan memulai introgasinya. Mamah Oliv seketika membalikan badannya seraya memicingkan matanya, "Kenapa? Kamu naksir?" tanya mamah Oliv. "Jangan ah Bang." tukas mamah Oliv. Attar membelalakan matanya mendengar perkataan mamahnya. "Kasian dia kalo sama kamu." lagi lagi kalimat yang mamahnya lontarkan membuat tubunya lunglai. "Eh tapi iya loh Bang. Mamah pengennn banget punya mantu kayak dia, tapi ya Mamah mah sadar aja anak-anak lanang Mamah gimana. Pada males." tembak mamah Oliv tepat sasaran. Attar diam, mau mengelak pun percuma. Memang itu kenyataannya. Dia sendiri masih mengadahkan tangan kepada kedua orang tuanya. Dia melihat ke arah dapur, ternyata kedua adiknya sudah tidak ada di sana. Entah sejak kapan mereka berdua pergi dari sana. "Mah, Attar ke kamar dulu ya. Mau ngerjain tugas." bohong Attar. Dia hanya mau mencari tahu tentang seseorang. "Panggilin Tiara dulu sebelum kamu naek." pinta mamah Oliv. Letak kamar Tiara memang didekat tangga. Tidak seperti kamarnya dengan kamar Rio yang berada di atas. "Dek, dipanggil Mamah." panggil Attar yang langsung masuk ke dalam kamar adiknya. Kamar yang sangat perempuan sekali, berdominasi peach dan merah muda. "Ck, ketok dulu kek Bang." gerutu Tiara. Dia sangat sebal jika ada orang masuk ke dalam kamarnya langsung masuk pintu terlebih dulu. Itulah kebiasan Attar. "Bawel. Udah ah Abang mau ke kamar dulu. Noh Mamah nungguin kamu." Attar langsung menaiki tangga menuju kamarnya tanpa menunggu jawaban adiknya. Setibanya di kamar, Attar langsung membuka ponselnya. Ternyata di grup kelasnya sudah banyak percakapan. Setelah dia meneliti, tidak ada yang penting hanya percakapaan dan candaan seperti biasa. Dia membuka status orang-orang di ponselnya, tidak ada yang menarik. Lalu dia membuka aplikasi instagramnya, hanya melihat story lagi. Dan betapa terkejutnya dia ketika dia sampai di storynya Maura, dia melihat foto Maura bersama dengan mamahnya. Jangan lupakan, Maura men-tag akun i********: mamahnya. Dan setelah itu tidak ada yang menarik. Karena jiwa stalkernya sudah muncul, Attar membuka akun i********: yang dari tadi memancing untuk dia buka. Dan terpampanglah beberapa foto, tidak ada fotonya yang sendiri. Hanya bersama-sama temannya dan keluarga. Di highlightnya pun sama, tidak pernah berfoto sendiri. Jika dilihat-lihat, Maura sepertinya lulusan pondok pesantren. Terbukti dari salah satu fotonya yang menunjukan tentang kehidupan di pondok pesantren. Dia jadi ragu ingin mulai untuk mendekati wanita itu. Perlahan saja, tapi pasti. **** "Assalamu'alaikum." salam Maura ke dalam rumahnya. Sunyi, tidak ada yang menjawab. Padahal waktu sudah menunjukan pukul 6. Ayahanya wajar jika belum pulang. Lalu bunda dan adiknya ini ke mana? Biasanya mereka berdua asik dengan bergosip di depan layar televisi. Maura melangkahkan kakinya menuju dapur. Perutnya lapar, tadi dia hanya mengisi 3 buah dimsum yang dia beli dijalan. Dan itu sama sekali tidak membuat kenyang dirinya. Tubuh Maura bisa dibilang berisi, dia tertolong karena memiliki postur badan tinggi. Jadi badannya tidak terlalu terlihat gemuk. Berbeda dengan Dea, yang selalu menjaga makan. Karena cita-cita anak itu yang ingin menjadi seorang model. Wajar saja. Nanti jika adiknya itu sudah memiliki KTP, dia yang akan memilih Dea sebagai model di tokonya. Itu baru pemikirannya saja, belum dia bicarakan lagi dengan keluarganya. Syarat menjadi model di tokonya memang harus mempunyai KTP. Karena apa? Jika sudah memiliki KTP Maura akan percaya dengan orang itu 100%. Dia sudah memiliki 3 model dan iti tergolong masih kurang untuk mempromosikan keluaran terbarunya. Ketika dirinya membuka tutup saji, di sana hanya ada secarik kertas yang ditinggalkan. "Kak, kalo mau makan pesen aja yaa. Bunda ngga masak, mau arisan di rumah temen. Adek kamu ikut, soalnya ada temennya dia yang ikut juga." Love bunda :) Kan benar. Maura segera mengeluarkan ponselnya, memilih makanan apa yang enak di makan. Pilihannya jatuh di ayam bakar meledak. Sepertinya enak, semoga saja nanti hasilnya juga enak tidak hanya menarik digambar saja. Selagi menunggu pesanannya datang, Maura beranjak menuju kamarnya. Badannya terasa gatal, jadi dia memutuakan untuk mandi terlebih dahulu. Baru setelah itu perutnya di isi. Seperti biasa, sebelum mandi Maura pasti menghidupkan lilin aroma terapi. Baginya bau aroma itu sangat menenangkan. Berbeda dengan adiknya, pasti Dea akan mengomel tidak jelas ketika mencium bekas aroma terapi di kamar mandi. Setelah selesai dengan mengeringkan rambutnya mengenakan hairdryer, Maura duduk di sofa depan TV. Menunggu kedatangan pesanannya. Cukup lama, mungkin mengantre. Dan tidak lama kemudian, di depan rumahnya sudah ada ojek online yang mengantarkan pesanannya. Sebelum mengambil pesanannya, Maura mengenakan selimut secara asal untuk menutupi kepalanya. Untungnya dia mengenakan baju panjang dan juga celana panjangnya. "Makasih ya Pak." Maura mencium aroma makanannya dari luar plastik, seketika cacing-cacing di perutnya berteriak meminta untuk diisi. Dia memakan di depan TV. Tidak lama kemudian ayahnya pulang. "Assalamu'alaikum." salam ayah Tio ke dalam rumah. Dia mendengar televisi ruang keluarganya berbunyi, itu berarti di rumahnya ada orang. "Wa'alaikumsalam Yah." jawab Maura. Dia mau menyalimi tapi tangannya sudah kotor dengan makanannnya. Ayah Tio yang mengerti hanya menganggukan kepalanya ketika Maura mengkode dengan mengangkat tangannya yang kotor. Dia meletakkan kardus makanan di meja makan. "Apa itu Yah?" tanya Maura, dia langsung bangkit membuka kardus makanan itu. Ternyata pizza mozarella. Maura menutupnya kembali, dia tidak menyukai keju. Semenggugah apapun itu, ketika ada kejunya hancur sudah di mata Maura. "Ngga di makan Kak?" tanya ayah Tio yang langsung memakan sepotong pizza itu. Maura mengedipkan bahunya melihat ayahnya sangat menikmati pizza tersebut. Dia heran, apa enaknya keju? Aneh baginya, gurih asin bercampur menjadi satu. Terkadang ada manisnya. "Ngga doyan keju kan Kakak Yah." dumel Maura. Ayah Tio pura-pura memukul dahinya, "Yah Ayah lupa Kak. Ini juga dikasih, tadi Ayah abis siaran di TV." Ayah Tio memang kerap sekali mambawa makanan ketika pulang dari siaran atau live di televisi. "Eh iya, Bunda ke mana sama Dea, Kak?" tanya ayah Tio yang masih asik mengunyah pizza. Andaikan saja tidak ada kejunya, pasti Maura sudah melahap. "Arisan di rumah temennya Yah." jawab Maura masih dengan melihat pizza di dalam kardus itu. "Pesen gih kalo kamu mau selain keju." suruh ayah Tio kasihan melihat anaknya itu seperti sangat menginginkan pizza. Mata Maura berbinar mendengar suruhan dari ayahnya, "Tapi Ayah yang bayar ya?" tanyanya dengan riang. Padahal tadi dia habis memakan ayam bakar. "Iya. Udah pesen sana." Dengan senang hati Maura memesan pizza kesukaannya. Ayahnya memang selalu tau mengenai dirinya tanpa dia berkata sekalipun. Ah sungguh, dia amat mencintai ayahnya itu. Cinta pertama yang dia kenal di dunia. Yang mengajarkan bagaimana menghadapi kerasnya dunia, yang memperlihatkan bahwa dirinya mampu menjadi wanita tangguh. Yang mengajarkan dirinya bagaimana cara berbisnis. Ayah memanglah cinta pertama bagi semua anak perempuannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD