Dua

2261 Words
Senin (15.16), 22 Maret 2021 ---------------------- Infiera Hifafa. Nama itu terus berputar-putar di benak Rachles begitu si empunya nama keluar dari kamar. Dia jadi tidak bisa memejamkan mata. Rasanya dia kembali ke masa lima tahun silam. Saat nama itu membuatnya terjaga sepanjang malam. Rachles mendesah. Rasanya melelahkan mencinta seperti ini. Begitu dekat namun tidak bisa digapai. Saat jauh terus saja mengusik ingatan. “Ma!” Rachles menoleh ke arah bocah empat tahun yang masih memejamkan mata. Sudut bibir Rachles melengkung membentuk senyuman. Bocah satu ini menggemaskan sekaligus tampan. Rachles memiringkan tubuhnya yang semula telentang untuk lebih memperhatikan wajah si bocah. Satu lengan ia jadikan bantal dan lengan yang lain kembali melingkari tubuh mungil bocah itu. Jika diperhatikan lebih seksama, wajah Russel lebih mirip Rachles. Hanya sedikit kemiripannya dengan Raynand. Ya, Rachles tidak mungkin salah. Wajah itu memang seperti wajahnya ketika masih kanak-kanak.  Pemikiran itu membuat Rachles menyeringai. Orang bilang wajah bayi dalam kandungan bisa mirip dengan wajah orang yang paling sering si ibu pikirkan saat masih hamil. Kalau begitu, apa mungkin Fiera sering memikirkan Rachles saat sedang mengandung? Jantung Rachles berdegup senang memikirkannya. Jemarinya terangkat lalu membelai pipi Russel dengan lembut. Mungkin karena belaian di pipinya, perlahan kelopak mata Russel terangkat menampakkan mata cokelat keemasan yang sama persis seperti milik Rachles. “Papa?” DEG. Entah mengapa jantung Rachles serasa berhenti berdetak saat mendengar Russel memanggilnya Papa. Kebahagiaan serasa memenuhi d**a Rachles hingga membuatnya sesak. Tapi buru-buru Rachles mengenyahkan perasaan itu dan menarik dirinya kembali ke dunia nyata. Ayolah, bocah ini baru bangun tidur dan mendapati seorang lelaki dewasa seperti papanya. Meski Rachles dan Raynand tidak terlalu mirip, tapi wajar Russel berpikir dia papanya mengingat situasi mereka. “Kau sudah bangun, Jagoan?” Rachles tidak berusaha menjelaskan siapa dirinya. Russel mengucek-ngucek matanya. Setelah itu dia mengamati wajah Rachles dengan keingintahuan yang nyata. Beberapa saat kemudian, bocah itu memekik keras lalu duduk di tengah ranjang dengan tiba-tiba. “Papa Rachles!” pekik Russel lalu menjatuhkan tubuh mungilnya ke arah Rachles yang berusaha duduk. Alhasil tubuh Rachles terhempas kembali ke ranjang bersama Russel dalam dekapannya. “Wow, boy! Hati-hati. Kau bisa cedera.” Rachles menasihati sambil dalam hati kebingungan dengan panggilan Russel. Tadi dia sangat yakin Russel menyebut  dirinya Papa. Russel mengangkat wajahnya dari d**a Rachles namun tidak beranjak. Kini ia duduk mengangkang di atas perut Rachles dengan senyum lebar yang menampakkan salah satu gigi yang sudah tanggal. “Papa sudah pulang? Kata Mama, Papa pergi kerja di tempat yang jauh. Papa tidak akan pergi lagi, kan?” Russel bertanya cepat dengan satu tarikan nafas tanpa jeda. Rachles terkekeh meski kebingungan masih melanda otaknya. Tanpa bisa dicegah dia berpikir apa dirinya pernah tanpa sengaja meniduri Fiera hingga hamil. Ayolah, wajar otak Rachles berpikir sampai ke sana. Lihat saja wajah dan mata Russel. Benar-benar mirip Rachles. Padahal yang memiliki warna mata cokelat keemasan dalam keluarga Reeves hanya Kakek Seth dan Rachles sendiri. Yang lain memiliki warna mata sama seperti Mikaela. Biru terang. Lalu dengan jelas dia juga memanggil Rachles dengan sebutan Papa. “Papa tidak bisa bicara? Tapi tadi kan Papa bicara. Apa Papa sariawan? Atau sakit gigi?” tanya Russel dengan cepat. Kembali Rachles terkekeh. “Walau Mamamu cerewet, sepertinya dia tidak berbicara cepat seperti itu.” “Mama bilang, kalau ada yang bertanya harus dijawab.” Rachles mengacak-acak rambut Russel masih dengan posisi telentang di ranjang. “Bagaimana Papa mau menjawab? Pertanyaanmu saja Papa tidak ingat.” Astaga, Papa? Rasanya masih seperti mimpi ada seorang bocah yang memanggil Rachles dengan panggilan itu. Bibir Russel mengerucut kesal. “Papa tidak mendengarkan Russel.” “Baiklah, jangan merajuk. Coba tanya lagi. Kali ini Papa akan mendengarkan.” KLEK. Tiba-tiba pintu kamar terbuka lalu menampakkan sosok yang menjadi saingan cintanya. Raynand Reeves. “Apa aku mengganggu?” tanya Raynand dengan senyum lebar. Iya. “Ah, tidak.” Rachles tersenyum palsu pada kakaknya masih dengan posisi semula. Cinta memang sungguh menyeramkan. Padahal hubungan Rachles dan kakaknya baik-baik saja. Tapi karena mencintai wanita yang sama, kebencian itu muncul. Raynand masuk lalu duduk di tepi ranjang memperhatikan adik dan putranya yang tampak akrab dengan geli. “Kata Fiera, tadi dia tidur. Apa dia tidak menangis atau mengamuk saat terbangun?” “Tidak.” Jawab Rachles sambil memperhatikan Russel yang sibuk mengamati gerak-gerik bibir Rachles saat berbicara. “Anehnya dia langsung menyebutku Papa Rachles.” Raynand berdecak. “Lama-lama aku benar-benar berpikir bahwa kau ayah kandungnya. Lihat saja, dia sangat mirip denganmu. Lalu tiap datang ke rumah ini, dia tidak mau tidur di kamarku, selalu ingin di kamar ini. Dan tiap melihat fotomu,” tangan Raynand menunjuk pada foto-foto yang terpajang di kamar Rachles. “Dia selalu memanggil dengan sebutan Papa. Sekarang saat bangun tidur, dia tampak nyaman bersamamu. Padahal biasanya jika dia bangun tidur disampingku, dia pasti menjerit mencari Mamanya.” Rachles terkekeh mendengar cerita Raynand. Hatinya diliputi perasaan hangat. “Hei, boy! Pasti Mamamu sangat merindukan Papa Rachles saat hamil.” Rachles mengatakan itu dengan tenang mengingat sama sekali tidak tampak kecemburuan dalam nada suara Raynand saat bercerita tentang kemiripan Rachles dan Russel. Raynand menganggapnya sedang bercanda padahal Rachles sangat serius dengan ucapannya. “Malah sebaliknya, Fiera selalu marah tanpa sebab jika tanpa sengaja melihat fotomu. Mama dan Papa sampai harus menyingkirkan foto-fotomu yang terpajang di ruang keluarga.” “Sungguh?” “Sungguh, ha…ha…ha…” Russel yang sedari tadi diam, sekarang meniru ucapan Rachles. Rachles terkekeh lalu menggelitiki perut Russel hingga bocah itu tertawa keras lalu berusaha menjauh dari atas tubuh Rachles. Rachles segera duduk. Ia menarik Russel kembali kemudian mendekapnya. Raynand hanya geleng-geleng kepala melihat dua orang beda generasi itu. “Kalau kau tidak percaya, tanya saja pada semua penghuni rumah ini.” “Aku percaya.” Rachles merasa senang. Setidaknya ucapan Raynand menjelaskan bahwa Fiera memikirkannya. “Ngomong-ngomong, bocah satu ini sangat menggemaskan. Boleh aku menumpang membuat bocah semacam ini juga?” Raynand melotot. “Dasar kau! Kau pikir membuat kue?” Rachles tertawa keras yang ternyata ditiru Russel. Tapi mendadak Russel menghentikan tawa lalu menutup mulut dengan kedua telapak tangan. “Papa, Mama bilang jangan tertawa terlalu keras. Nanti rahangnya lepas lalu Papa berubah jadi monster. Russel tidak mau Papa jadi monster.” “Oh, begitu ya?” Russel mengangguk yakin. “Baiklah, Papa akan menuruti nasihatmu, Pak Reeves junior.” Russel menyeringai lebar lalu mengecup pipi Rachles. “Hei, Papa Raynand juga mau ciuman.” Raynand berkata sambil menyodorkan pipinya pada Russel. Tapi Russel malah menjulurkan lidah seraya melingkarkan lengan di leher Rachles dengan manja. “Kak, sepertinya dia benar-benar putraku.” Rachles berkata dengan nada bangga. Raynand berdecak. “Kau benar-benar butuh istri. Sekarang kau mengakui anak orang. Bisa-bisa sebentar lagi kau mengakui istri orang.” “Ah, benar juga. Kenapa tidak sekalian aku akui Fiera sebagai istriku?” Raynand terkekeh. Dia mengira Rachles hanya bercanda padahal adiknya itu sedang serius. KLEK. “Hei, para pria Reeves! Makan malam sudan siap. Ayo!” Fiera yang baru membuka pintu langsung berseru. “Mama!” Russel memekik senang lalu turun dari ranjang berlari ke arah Fiera. Fiera terkikik. Ia membungkuk lalu meraih Russel ke dalam gendongannya. “Wah, jagoan Mama tidak menangis. Hebat sekali.” “Ma, tadi Russel tidur dengan Papa Rachles. Dia sudah pulang bekerja. Malam ini Russel boleh tidur dengan Papa Rachles lagi, kan? Russel janji tidak akan nakal.” “Hmm.” Fiera pura-pura berpikir. “Coba saja kau tanya pada Papa Rachles. Dia mau atau tidak tidur dengan bocah yang masih suka mengompol ini?” “Russel sudah tidak mengompol.” Bocah itu merengut. “Iya kan, Pa?” “Iya.” “Masih mengompol.” Rachles dan Raynand menjawab bersamaan hingga membuat Fiera tertawa. “Sayang, kau bertanya pada Papa yang mana?” Russel menatap kesal Raynand karena tidak membelanya. “Tentu saja pada Papa Rachles.” “Benar-benar anak Papa.” Rachles berkata senang. Raynand mendengus lalu menghampiri istri dan putranya. Sementara itu Rachles hanya memperhatikan dari ranjang pasangan itu dengan hati terluka. “Ayo Papa gendong.” Raynand mengulurkan tangan pada Russel. “Tidak mau.” Russel geleng-geleng kepala. Raynand tidak menyerah. Dia langsung meraih Russel ke dalam gendongannya lalu membawa bocah itu sambil berlari-lari kecil dan berputar-putar hingga Russel tertawa keras dan melupakan kekesalannya pada Raynand. Fiera tertawa kecil melihat suami dan putranya kemudian beralih pada Rachles yang masih duduk bersandar di ranjang. “Rachles, ayo!” Tanpa diajak dua kali, lelaki itu langsung turun dari ranjang menghampiri kakak iparnya. “Sudah bisa ditebak dari mana dia mendapatkan gen cerewet.” “Aku tidak cerewet.” Fiera mengelak sambil berjalan di sisi Rachles. “Dia itu sebelum bisa berjalan sudah lancar bicara walau kalimatnya masih tidak jelas.” Fiera menyeringai. “Coba saja tanyakan pada Mama dan Papamu. Pasti kau seperti itu saat masih kecil.” “Saat masih kecil aku anak yang manis dan pendiam.” Fiera memuji diri sendiri. Rachles mendengus lalu tertawa. Fiera hanya tersenyum. “Oh ya, apa kau tidak keberatan Russel memanggil dan menganggapmu papanya?” “Aku bahkan tidak keberatan kalau kau menganggapku suamimu.” “Ah, kau ini.” Fiera terkikik geli. Dia tidak memperhatikan keseriusan dalam mata Rachles. “Entah mengapa dia selalu menunjuk-nunjuk fotomu lalu menyebut ‘Papa’. Awalnya aku masih berusaha mengajarinya memanggilmu ‘Om’ datau ‘Paman’. Tapi dia sama sekali tidak mau. Akhirnya kami semua di sini sepakat untuk membiarkannya.” Lagi-lagi kehangatan itu menjalari hati Rachles. Dia tersenyum lembut saat membayangkan Russel yang memanggilnya Papa untuk pertama kali. “Apa dia sering bertanya di mana aku?” “Ya, sering sekali.” Fiera mencoba meniru pertanyaan Russel. “Kapan Papa Rachles pulang? Dia kerja di mana? Yah, pertanyaan-pertanyaan semacam itu.” “Kedengarannya menyenangkan memiliki anak.” “Tentu saja. Makanya cepat menikah.” Iya, segera setelah kau jadi janda. Rachles menggaruk tengkuknya kesal karena pikiran itu muncul di otaknya tanpa ia rencanakan. Beberapa saat kemudian, mereka sudah sampai di meja makan. Semua anggota keluarga Reeves sudah hadir di sana. Meja besar berbentuk bundar itu tampak penuh. Semua kursinya terisi karena memang disesuaikan dengan banyaknya anggota keluarga. Tapi Russel dan Shane belum memiliki kursi sendiri. Mikaela sudah berencana mengganti meja itu dengan yang lebih lebar agar bisa ditambah beberapa kursi lagi. Perhatian Rachles tertuju pada sepupu Kent, Seren dan putra mereka, Shane. Kebahagiaan tampak jelas dari raut wajah mereka dan itu membuat Rachles juga tersenyum bahagia. Kemudian perhatian Rachles beralih pada Raynand, Fiera, dan Russel. Kali ini rasa sakit menyerang hatinya. Keluarga kecil itu juga tampak bahagia. Russel duduk di pangkuan Raynand, sementara Fiera berusaha menyuapinya. Mereka tampak saling melempar senyum melihat tingkah putra mereka. “Evan, letakkan dulu ponselmu! Makanan di piringmu masih penuh,” Suara Luke—Paman Rachles—terdengar tegas. Evan menggerutu tapi menuruti nasihat Papanya. “Rara, kau juga.” Rachles berbisik seraya menyenggol paha Razita yang duduk tepat di sebelahnya dengan lutut. Wanita itu tampak makan dengan tenang. Tapi tangan kirinya sibuk berkirim pesan di bawah meja. Razita melirik kakaknya kesal lalu menyelipkan ponsel di saku celana. “Rachles, Nenek ingin segera mendengar kabar baik darimu. Kapan kau akan menikah?” Rachles mengerang dalam hati. Dia baru saja pulang tapi hampir semua anggota keluarganya telah menanyakan hal itu sejak ia tiba. “Weeek!” Razita terang-terangan menjulurkan lidah ke arah Rachles. Dia tahu kakaknya tidak suka pertanyaan itu, dan dirinya masih kesal karena dilarang menggunakan ponsel di meja makan. Rachles mengabaikan adiknya dan memilih fokus pada pertanyaan sang Nyonya besar. “Rachles pasti menikah, Nek. Tapi sekarang belum menemukan wanita yang tepat.” “Bukankah sekarang kau sedang menjalin hubungan dengan putri seorang pengusaha di luar negeri? Kenapa tidak dengan dia saja?” Rachles mengernyit. “Dari mana Nenek tahu? Ah, jangan bilang Nenek memata-mataiku.” “Memangnya Nenek tidak punya kerjaan?” tanya Mikaela dengan nada tidak suka. “Kekasihmu pernah mampir ke rumah ini.” Jose yang menjelaskan. “Dia banyak bercerita tentang dirimu dan hubungan kalian.” “Jeslyn?” “Memangnya kamu punya berapa kekasih?” kali ini Arla yang bertanya dengan nada tidak suka. “Bukan begitu, Ma. Aneh saja dia datang ke sini.” Astaga, wanita itu! Rachles memang memperkenalkan Jeslyn sebagai kekasih. Tapi dia sudah terang-terangan menegaskan pada wanita itu bahwa hubungan mereka bersifat sementara. Rachles hanya menggunakan Jeslyn agar wanita-wanita yang sering mengerubunginya seperti semut memilih mundur. “Kenapa diam? Nenek sudah menelusuri latar belakangnya dan dia berasal dari keluarga baik-baik. Nenek setuju saja kalau kau memilihnya.” Rachles melirik Fiera lalu mengutuki dirinya sendiri karena melakukan itu. Ternyata Fiera sedang menatapnya tampak bersemangat dan seolah setuju Rachles segera menikah. Tentu saja, hal itu membuat Rachles kecewa. “Tidak, Nek. Aku tidak akan menikah dengannya.” “Lalu kau akan menikah dengan siapa? Dengan sapi?” sergah Mikaela kesal. Evan menyemburkan tawanya tapi langsung diam karena dipelototi Sabrina, ibunya. Sementara itu Razita malah bertepuk tangan. “Ide bagus, Nek.” “Kau juga! Sampai kapan kau akan menjalin hubungan dengan lelaki itu? Memangnya kau sudah tidak laku hingga tidak menemukan lelaki lain?” Razita tidak terima mendengar ucapan Neneknya. Dia meletakkan garpu dan sendok hingga berdenting keras lalu beranjak dari tempat duduk meninggalkan ruang makan. Seketika ruangan itu menjadi hening setelah kepergian Razita. “Sebaiknya aku menyusul Rara.” Sekalian dia bisa menghindar dari pertanyaan-pertanyaan keluarganya sehubungan dengan pernikahan. Namun saat Rachles hendak berdiri, Mikaela mencegah. “Tidak perlu. Lanjutkan makan kalian.” Akhirnya tidak ada yang bisa Rachles lakukan selain duduk kembali. Anggota keluarga yang lain juga tidak ada yang membantah. Mereka pun makan dalam keheningan yang tidak menyenangkan. ------------------------ ♥ Aya Emily ♥
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD