Satu

2097 Words
Senin (15.00), 22 Maret 2021 ---------------------- Rachles melepas kacamata hitamnya lalu mengaitkan benda itu di kerah kaos yang tertutup jaket denim. Mata cokelat keemasan milik Rachles menyapu sekeliling bandara yang menjadi tempat terakhir yang dipijaknya di negara itu lima tahun silam. Ya, sudah lima tahun berlalu sejak terakhir kali Rachles berada di negara itu. Tempat kelahirannya. Dia memutuskan pergi karena tidak sanggup menahan luka akibat patah hati. Sudah tak terhitung lagi berapa kali orang tua Rachles membujuknya pulang. Namun Rachles selalu menolak dengan berbagai alasan. Saat itu dia masih takut berhadapan dengan sumber sakit hatinya. Rachles takut tidak bisa menahan diri lalu membawa kabur kakak ipar yang sudah mencuri hatinya di pertemuan pertama mereka. Kini setelah lima tahun berlalu, Rachles merasa yakin bahwa rasa cinta untuk sang kakak ipar sudah tidak lagi ia rasakan. Senyum yang biasa mengganggu malamnya itu sudah tidak lagi terbayang. Mata hitam teduh itu tidak lagi mengganggu tiap detik waktu yang Rachles lalui. Ya, Rachles yakin bidadari cantiknya tidak akan bisa lagi mempengaruhi hatinya. Ponsel Rachles bergetar ketika ia baru saja mencapai pintu bandara. Dia mengeluarkan ponsel dari saku celana lalu memeriksa caller id. Razita Reeves. Satu-satunya anak perempuan di keluarga Reeves hingga membuatnya paling dimanja. “KAKAK DI MANA?! Demi Tuhan di sini panas sekali. Kakak mau membuat kulitku gosong, ya?” Razita lebih muda enam tahun dari Rachles. Kalau tidak salah hitung, seharusnya wanita itu berusia dua puluh lima tahun sekarang. Tapi lihat! Tingkahnya masih seperti remaja belasan tahun yang hanya peduli pada penampilannya. “Kakak tidak memintamu menjemput, Rara.” Sahut Rachles cuek. “Kalau bukan wanita tua itu yang menyuruh, aku juga tidak mau keluar rumah di cuaca sepanas ini.” “Hei, sejak kapan kau menyebut Mama seperti itu?” “Bukan Mama. Nenek.” Salah satu alis Rachles terangkat. “Kau terdengar kesal. Apa Nenek melarangmu melakukan sesuatu?” Rachles masih ingat betul seperti apa kepribadian Mikaela Reeves. Wanita yang usianya sudah mencapai tujuh puluh tahunan itu sangat teguh memegang prinsip-prinsip dalam keluarga Reeves. Dia bisa jadi sangat kejam jika itu berhubungan dengan keyakinan dalam keluarga Reeves secara turun temurun. “Nenek tua itu memaksaku memutus hubungan dengan kekasihku.” Nada suara Razita terdengar merajuk. “Pasti ada alasannya.” “Alasannya membuatku ingin memukul kepala Nenek dengan palu.” Rachles hanya bisa geleng-geleng kepala karena ucapan Razita. “Kita lanjutkan pembicaraan nanti di mobil. Kakak hendak menyeberang jalan di depan bandara.” Mikaela memang orang yang kaku dan sangat sulit menunjukkan kasih sayang. Tapi dia selalu mendahulukan kepentingan anak dan cucunya. Karena itu semua anggota keluarga Reeves sangat menghormati dan menyayangi Mikaela. Sepertinya lima tahun sudah banyak mengubah keadaan. Dulu meski Nenek tidak memanjakan Razita seperti yang dilakukan Kakek, adiknya itu tidak pernah berkata buruk mengenai Nenek. Dia juga menyayangi dan menghormati seorang Mikaela. Entah apa yang sudah terjadi selama kepergian Rachles. Sepertinya sangat buruk hingga membuat kekesalan Razita tetap melekat meski sudah cukup jauh dari rumah. Beberapa menit berlalu, Rachles sudah mencapai tempat Razita memarkir mobil. Dia mengabaikan wanita yang bersandar di kap mobil dengan raut kesal lalu membuka pintu belakang dan memasukkan tas besarnya. Kemudian masih tanpa kata, Rachles masuk ke sisi pengemudi sementara Razita duduk di sebelahnya. Untuk pengaturan semacam ini tidak perlu komunikasi apapun. Razita masih hafal bahwa Rachles tidak suka disopiri, kecuali memang ada sopir yang mengantar. Kakaknya yang keras kepala itu akan lebih memilih jalan kaki jika tidak diperbolehkan mengemudi. Bukan karena dia suka mengemudikan mobil. Dia hanya senang ketika dirinya berguna bagi orang lain, terutama keluarganya. Sepuluh menit berlalu, Rachles mulai gerah dengan suasana dalam mobil yang terasa horor. Rasa penasarannya tergelitik. Tapi dia tahu Razita tidak akan bercerita tanpa basa-basi terlebih dahulu. “Kenapa kau memilih menunggu di luar meski tahu cuaca cukup panas? Seharusnya kau tunggu di dalam seperti saran Kakak.” “Aku sedang malas berjumpa fans dan paparazzi,” ujar Razita tak acuh. “Wow!” Rachles berseru dengan bangga. “Apa Rara-ku tersayang ini sudah berhasil mewujudkan mimpinya untuk menjadi artis ternama?” Razita berdecak malas. “Hanya karena Kakak tinggal di luar negeri, jadi tidak mau tahu mengenai kabar keluarga di sini?” “Bukan seperti itu, Rara. Kakak benar-benar sibuk dan tidak sempat memperhatikan hal lainnya.” Rachles membela diri. “Sudahlah, terserah.” Razita mengibaskan tangan sebagai isyarat tidak mau melanjutkan pembicaraan. Kemudian dia diam dengan perhatian tertuju pada jendela kaca mobil. “Hmm, kau tidak mau bercerita tentang kekasihmu?” Rachles memancing. “Kau tahu kan, Kakak pendengar dan penjaga rahasia yang baik.” Razita menoleh ke arah kakaknya. Dia tahu Rachles memang seperti itu. Dibanding Raynand yang cenderung menggurui, Rachles lebih suka mendengarkan dan menyimpan. Itu salah satu alasan mengapa Razita begitu akrab dengan Rachles. Dia bisa bercerita apapun tanpa khawatir dikritik dan rahasinya terbongkar. Dan jika ada sesuatu yang dilakukan Razita yang menurut Rachles salah, dia tidak akan memberi nasihat atau kritikan-kritikan. Rachles hanya akan diam dan mengawasi, lalu bergerak melindungi saat dibutuhkan. Tapi entah mengapa Razita belum ingin berbagi untuk masalah kali ini. Mungkin nanti, tapi tidak sekarang. “Lain kali saja, Kak,” sahut Razita dengan suara lemah. “Baiklah. Kapanpun kau butuh, kau tahu Kakak selalu bersedia mendengarkan.” Rachles mengulurkan tangannya lalu mengacak rambut Razita dengan sayang. “Akh, Kakak! Aku baru pulang dari salon,” gerutu Razita sambil merapikan rambutnya. “Kalau begitu, Kakak tidak boleh pergi lagi sebelum aku bercerita.” Salah satu alis Rachles terangkat. “Kedengarannya kau tidak akan pernah bercerita.” “Ya, agar Kakak tidak pergi lagi.” Rachles hanya tersenyum dan mengangkat bahu sebagai tanggapan. Dia harus pergi lagi atau tidak, itu tergantung hatinya. *** Semua orang di kediaman keluarga Reeves menyambut kedatangan Rachles dengan heboh. Selain Nyonya besar Mikaela Reeves, yang tinggal di rumah itu adalah orang tua Rachles, Razita, Paman dan Bibi Rachles, serta putra bungsu mereka Evan Reeves. Cukup banyak penghuni rumah itu. Di tambah lagi putra sulung Paman dan Bibi Rachles juga datang bersama istri dan anak lelakinya. Mungkin kehadiran mereka khusus untuk menyambut kepulangan Rachles setelah lima tahun tidak berjumpa. Namun si bidadari cantik pencuri hatinya tidak hadir. Yah, walau Rachles berusaha mengabaikan wanita itu, mau tidak mau hatinya bertanya-tanya. Dia juga penasaran jika mereka bertemu, akankah hati Rachles masih terusik? “Rachles, sebaiknya kau istirahat saja. Kau pasti lelah setelah melakukan perjalanan jauh.” Mikaela menasihati. Saat ini keluarga besar Reeves sedang menyiapkan makan malam bersama untuk menyambut kedatangan Rachles. Rachles juga turut membantu sambil bermain-main dengan Shane, putra sepupunya yang bernama Kent. Bocah tiga tahun itu sangat menggemaskan dengan pipi tembemnya. “Baiklah, Nek.” Kebetulan sekali neneknya menawarkan. Rachles memang sangat lelah. Tanpa menunggu lagi, Rachles berjalan menuju kamarnya di bagian belakang rumah. Rachles memang memilih kamar itu karena tepat menghadap taman belakang yang penuh tumbuhan dan menguarkan aroma sejuk. Sesampainya di depan kamar, Rachles langsung masuk tanpa curiga. Tapi kemudian dia tertegun dengan mata melebar saat melihat wanita yang selama ini mengganggu mimpi-mimpinya berdiri dalam kamar Rachles dengan kemeja terbuka, menampakkan bra berwarna kuning pucat yang menutup kedua tonjolan di dadanya. “Akh!” Fiera memekik saat menyadari kehadiran Rachles. Segera ia berbalik sambil menutup kemejanya kembali. Rachles yang masih terlalu terkejut, hanya berdiri mematung di ambang pintu. Otaknya yang masih waras memerintahkan agar Rachles segera membalikkan tubuh. Namun di sisi lain, Rachles masih berpikir apakah dia sedang berkhayal melihat bidadari cantiknya sedang berdiri memamerkan tubuh di hadapannya? “Ra—Rachles. Bisakah kau keluar sebentar?” suara Fiera bergetar malu. Saat itulah Rachles sadar bahwa apa yang dia lihat tadi nyata. Segera ia mundur keluar kamar seraya bergumam, “Ma—maaf.” Rachles bersandar di pintu kamar dengan jantung berdebar cepat. Otak kotornya mengulang-ulang memori tadi hingga membuat tenggorokannya tercekat. Tapi, tunggu. Ini benar kamarnya atau bukan? Segera Rachles berjalan agak jauh lalu memperhatikan kamar itu dari semua sisi. Ya, itu benar-benar kamarnya. Kamar yang Rachles gunakan sejak kecil. Bahkan semuanya masih sama seperti saat terakhir Rachles berada di sana. Jadi, kenapa Rachles yang harus keluar? Seharusnya pengganggu kecil itu yang keluar. Rachles sudah siap membuka pintu kamar kembali, tapi dia ragu. Bagaimana kalau Fiera belum mengenakan pakaiannya dengan benar. Bisa-bisa Rachles hilang kendali lalu menerkamnya. Akh, sial! Baiklah, baiklah. Rachles akui sekarang. Rupanya meski lima tahun tidak berjumpa, Fiera masih bisa menggetarkan hatinya. Bahkan perpisahan yang terjadi bukannya memudarkan perasaan Rachles. Melainkan memperparah kerinduannya. “Dasar pengganggu kecil,” gumam Rachles pelan. Dulu dia tanpa izin masuk ke hati Rachles. Sekarang dia malah masuk ke kamarnya, juga tanpa izin. Ya, seharusnya Rachles tidak keluar, melainkan memberi bidadari cantiknya hukuman. KLEK. Rachles membuka pintu dan kali ini langsung masuk lalu menutup pintu di belakang tubuhnya. Untung saja Fiera sudah merapaikan pakaiannya. Jadi keinginan Rachles untuk menerjangnya bisa teredam. Fiera yang tampak memasukkan barang-barangnya ke dalam tas segera menegakkan tubuh saat menyadari Rachles masuk kembali ke kamar. Wajahnya masih memerah menandakan rasa malunya akan kejadian tadi belum sirna. “Rachles, maaf. Seharusnya aku tidak memakai kamar ini karena kau sudah pulang. Tapi Russel tidak mau dan merengek minta tidur di sini.” Fiera menjelaskan tanpa berani menatap mata cokelat keemasan milik Rachles. “Russel?” tanya Rachles bingung. “Ah, iya. Kau lama pergi jadi tidak tahu kalau sudah memiliki keponakan.” Kali ini Fiera bisa tersenyum lebar sambil menatap Rachles. Dia bergeser agar Rachles bisa melihat bocah empat tahun yang tidur nyenyak di atas ranjangnya. “Dia Russel.” Rasanya ada tangan besi yang mencengkeram d**a Rachles saat melihat bocah yang terlihat jelas sangat mirip Raynand. Astaga, seharusnya Rachles tidak perlu sekaget ini melihat putra Raynand dan Fiera. Sudah lima tahun mereka menikah. Jadi wajar jika mereka memiliki anak sekarang. “Ah, ya.” Rachles tersenyum ragu. “Aku bahkan baru tahu kalau Kent sudah menikah dan sudah memiliki anak.” “Kau benar-benar menjauhkan diri dari keluargamu.” Fiera geleng-geleng kepala lalu mulai membenahi barang-barangnya lagi. Dan itu semua gara-gara dirimu, geram Rachles dalam hati. “Aku tidak melihatmu datang.” Rachles mencoba bercakap-cakap sambil berjalan ke ranjang. Seingatnya dulu Fiera adalah wanita ramah dan mudah bersosialisasi. Dia bisa berbincang akrab bahkan meski dengan orang yang baru diikenal. Karena itu semua anggota keluarga Reeves sangat menyukai Fiera. “Kau tidak bertemu Raynand di depan?” “Tidak.” Rachles menyahut singkat seraya duduk di tepi ranjang. Tadinya dia bermaksud memperhatikan Russel yang sedang tertidur. Tapi tanpa bisa dicegah, matanya tertuju pada bagian belakang tubuh Fiera yang dibalut celana jeans. Terutama bokongnya karena saat ini Fiera sedang membungkuk ke arah meja nakas. “Kami baru sampai. Aku langsung masuk ke kamar ini melalui halaman samping sambil menggendong Russel yang tertidur. Tadinya aku membawanya ke kamar Raynand di lantai dua. Tapi Russel langsung terbangun lalu merengek minta pindah ke kamar ini. Dia sampai mengamuk lalu menumpahkan minumannya ke pakaianku.” Perasaan malu kembali merayapi hati Fiera saat mengingat alasannya membuka baju. “Kalau begitu, kenapa kau membenahi barang-barangmu?” tanya Rachles sambil menatap Fiera yang kini juga duduk di ranjang di sebelahnya. Tahu apalagi yang membuat Rachles begitu kesal? Sikap Fiera padanya. Wanita itu selalu memperlakukan Rachles layaknya saudara. Tidak sekalipun melihat Rachles sebagai seorang lelaki. Ah, baiklah. Ini salahnya. Rachles yang memiliki perasaan terlarang ini. Seharusnya dia tidak pernah jatuh cinta pada kakak iparnya. “Yah, sebaiknya kami pindah. Kau pasti hendak menggunakan kamar ini, kan?” Rachles mengangkat bahu lalu dengan santainya berbaring di sebelah Russel seraya melingkarkan lengannya di tubuh mungil bocah itu. Dia berbaring nyaman sambil menatap Fiera. “Aku hanya butuh tidur dan dia juga ingin tidur. Jadi biarkan kami berbagi ranjang,” ujar Rachles seraya memejamkan mata. “Hmm, kau yakin ingin tidur dengannya? Russel suka mengamuk kalau tidak melihatku saat membuka mata.” “Kalau begitu kau tidur saja di sisi yang lain.” Rachles berkata tenang masih dengan mata terpejam. Yah, walaupun nada suaranya terdengar biasa-biasa saja, sebenarnya jantung Rachles berdebar membayangkan  ucapannya menjadi nyata. “Bilang saja kau yang ingin ditemani tidur,” ejek Fiera. Dia hanya bermaksud bercanda dan sama sekali tidak menyadari bahwa ucapannya membuat Rachles ingin melumat bibirnya. Mata Rachles kembali terbuka. “Maksudmu?” “Segeralah menikah. Jadi kau tidak akan tidur sendirian lagi.” Fiera berkata lalu menunduk untuk mengecup pelipis Russel. Dia tidak menyadari bahwa Rachles harus berjuang mati-matian agar tidak mendekatkan wajah lalu mengecup bibir pink wanita itu. Setelah selesai memberi kecupan pada Russel, Fiera menegakkan tubuh lalu menepuk lembut lengan atas Rachles seperti layaknya seorang kakak. Kemudian dia keluar dari kamar itu untuk membantu menyiapkan makan malam. Sial, sial, sial! Sepertinya Rachles akan benar-benar menculik kakak iparnya itu lalu menyekapnya di suatu tempat. ------------------------ ♥ Aya Emily ♥
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD