Memoriam XI: Rumput Fatimah

1262 Words
Ibu dan Ayah pergi untuk makan siang ke kantin. Sementara di sini aku ditemani oleh seseorang yang bisa dibilang paling kuhindari. Terhitung semenjak Ibu mengutarakan rencana perjodohan kami.        Tahta sepertinya tahu bahwa aku berusaha menjaga jarak darinya. Ia mungkin sudah tahu dari Ibu. Semakin diperjelas dengan sikapku yang acuh tak acuh. Padahal jelas - jelas ia yang menolongku saat pecah ketuban tadi pagi. Ia bahkan yang menggendongku menuju ke mobil.       Pembukaanku berjalan amat lambat. Apa yang dikatakan dokter, selaras dengan penyampaikan Ibu. Bahwa proses persalinan anak pertama akan berlangsung cukup lama. Sampai sesiang ini pembukaanku masih mentok sampai enam.        Rasanya sungguh luar biasa. Ya, aku sudah mendapat bocoran dari berbagai pihak bahwa melahirkan itu sakit. Tapi aku tidak pernah menyangka rasanya akan sesakit ini.       Tiap kali kontraksi datang, diikuti rasa mulas yang teramat sangat, juga Haidar yang mendorong dari dalam, berusaha membuka pintu keluarnya. Aku hanya bisa menangis kesakitan. Tak dapat kulampiaskan karena suamiku telah berpulang. Kutahan sebisa mungkin, sembari mengucap istighfar tiada henti.        Aku cukup dikuatkan oleh cerita ibu tadi. Katanya dulu saat melahirkan Mas Hasbi, Ibu mengalami proses pembukaan yang jauh lebih lama dibanding aku. Ibu mengalami kontraksi selama kurang lebih satu minggu. Namun pembukaannya tidak ada perubahan. Hanya mentok pada pembukaan empat. Akhirnya saat itu dokter terpaksa memberi obat perangsang.        Apa yang kurasakan, tak seburuk apa yang Ibu rasakan dulu.        "Teh, aku panggilin dokter, ya!" Tahta menghampiriku kala aku kembali diserang kontraksi hebat.       Aku masih belum menjawabnya. Konsentrasiku terpusat pada rasa sakit di sepanjang pinggang, panggul, dan juga perutku. Mungkin sebenarnya hanya satu atau dua menit. Namun terasa sangat lama.        "Nggak usah, Dek. Masih belum," jawabku akhirnya sembari terengah hebat.        Tahta mengambil beberapa helai tisu dari atas meja, memberikannya padaku. Jujur aku terkesan dengan kesopanannya. Ia membiarkanku menghapus peluhku sendiri. Ia sudah bisa menebak bahwa dengan menghapuskan keringatku, itu akan membuatku semakin tak nyaman berada di ruangan ini bersamanya saja.       "Itu sebenernya buat apa, sih, Teh?" tanya Tahta.         Aku menatap sesuatu yang ia tunjuk. Rupanya rumput fatimah  dalam gelas. Ibu yang membuatkannya untukku.       "Itu rumput fatimah, Dek. Fungsinya buat melancarkan proses persalinan," jawabku.       "Terus kenapa nggak Teteh minum sekarang aja? Dari pada Teteh kesakitan terus!"       Aku bisa menangkap kepanikan dalam nada bicara Tahta. Juga rautnya yang tegang. Tanpa sadar aku tersenyum karena kekhawatirannya.        "Belum saatnya, Dek."       "Terus kapan?"       "Nanti kalau pembukaan Teteh udah lengkap."       "Kok gitu?"        "Iya. Supaya nanti proses mendorong yang Teteh lakukan tidak terlalu lama, karena rumput fatimah itu akan memudahkan Haidar mendorong dari dalam. Kalau Teteh minum sekarang, nanti malah sakitnya nambah parah. Soalnya jalan lahirnya belum buka maksimal, tapi Haidar sudah mendorong terus ingin keluar."       Tahta mengangguk - angguk sambil ber - oh ria. Entah paham atau tidak. Tapi ekspresinya itu lucu sekali. Antara takjub dan juga takut. Lagi - lagi apa yang dilakukan Tahta membuatku tersenyum.       Aku tak bisa membayangkan menikah dengannya. Ya Allah, hamba tidak yakin akan sanggup melakukannya. Hamba akan tetap pada keputusan awal. Hamba tidak akan menikah lagi.       "Teh." Tahta memanggilku lagi.       "Iya, Dek?"        Tahta menarik napas dalam. Perasaanku tidak enak. Aku merasa bahwa Tahta akan membicarakan topik yang paling kuhindari.        "Maaf aku membicarakan masalah  ini sekarang, Teh."         Tahta menatapku lekat. Aku menatap perut besarku, tak berani menatap balik Tahta. Nyatanya perasaan tak enakku benar. Tahta akan membicarakan masalah itu. Jadi benar, ia sudah tahu dari Ibu.        Pertanyaannya, kenapa ia akan membicarakan masalah ini denganku? Apa itu tandanya, bahwa ia ... setuju?        Tapi ....        "Aku hanya memanfaatkan situasi di mana kita hanya berdua, tanpa ada Ayah atau Ibu yang mungkin nanti akan memberi opini. Aku mau yang terlibat hanya kita saja. Karena nanti kita yang akan menjalani. Uhm ... Haidar tidak masuk hitungan, kan?"        Secara tak langsung Tahta telah menjawab pertanyaan tak terucapku. Sepertinya ia tak keberatan dengan rencana Ayah dan Ibu untuk menikahkan kami.       Tapi ... kenapa?       Bukankah ia masih muda?        Bukankah ia memiliki kesempatan untuk mendapatkan wanita yang ia cintai?        Bukankah ia memiliki peluang untuk hidup bahagia tanpa harus kubebani?        "Teh Dara sepertinya keberatan dengan rencana itu, ya?" tanyanya.       "Dek ... Teteh bukannya ...."        "Teteh belum siap untuk menikah lagi? Ya, aku ngerti. Makanya pernikahan itu nggak akan dilakukan dalam waktu dekat. Segala hal memang butuh waktu, kan, Teh?"       Aku kembali diserang kontraksi hebat. Sakit sekali. Tahta membimbingku untuk senantiasa mengucap istighfar. Ia sama sekali tak menyentuhku sekadar untuk menguatkanku, namun pastinya akan membuat aku semakin merasa tak nyaman. Dan aku sangat menghargai dan sangat berterima kasih atas sikapnya ini.      "Bukan begitu, Dek." Aku menjawab setelah kontraksi berakhir. "Pertama, Teteh sudah berjanji sama diri Teteh sendiri. Bahwa Teteh nggak akan menikah lagi. Kedua, Teteh ... Teteh merasa mengkhianati Mas Hasbi. Ketiga, Teteh nggak mau membebani kamu."        "Membebani? Maksud Teteh?"        "Kamu menikahi Teteh karena itu rencana Ibu. Kamu hanya berusaha menjadi anak yang baik. Teteh nggak mau kayak gitu, Dek. Kamu terlalu banyak berkorban. Kamu berhak bahagia."         Ia terkikik mendengar jawabanku. "Kenapa Teteh berpikir seperti itu? Jadi Teteh pikir, aku setuju dengan rencana itu hanya semata - mata patuh pada orang tua?" Tahta justru tergelak kali ini.       Membuatku semakin tak mengerti.       "Jadi Aa sama sekali nggak cerita sama Teteh?" Ia kembali tergelak.       Dan aku semakin tak mengerti. Lagi dan lagi.       "Ya udah ... gini aja. Intinya apa yang Teteh pikirkan semuanya kurang tepat. Bukan salah. Hanya kurang tepat. Pertama, Teteh berjanji untuk tidak menikah lagi karena Teteh masih begitu kehilangan dan terluka saat ini. Kedua, aku bisa ngerti dengan Teteh yang merasa mengkhianati Aa. Itu manusiawi. Ketiga, ya, aku memang berhak bahagia. Dan justru dengan menikahi Teteh, aku akan mendapatkan kebahagiaan itu."        Kerutan di dahiku bertambah. Antara menahan sakit dan juga rasa heran dan bingung berkepanjangan akibat perkataan Tahta, yang lagi - lagi gagal kumengerti.         ~~~~~ IMMDH - Sheilanda Khoirunnisa ~~~~~          Masya Allah Tabarakallah.        Halo semuanya. Ketemu lagi di cerita saya. Kali ini judulnya Murmuring. Mau tahu kenapa dikasih judul Murmuring? Ikutin terus ceritanya, ya.         Oh iya, selain cerita ini saya punya cerita lain -- yang semuanya sudah komplit -- di akun Dreame / Innovel saya ini.   Mereka adalah:          1. LUA Lounge [ Komplit ]                   2. Behind That Face [ Komplit ]              3. Nami And The Gangsters ( Sequel LUA Lounge ) [ Komplit ]              4. The Gone Twin [ Komplit ]         5. My Sick Partner [ Komplit ]        6. Tokyo Banana [ Komplit ]                7. Melahirkan Anak Setan [ Komplit ]         8. Youtuber Sekarat, Author Gila [ Komplit ]          9. Asmara Samara [ Komplit ]        10. Murmuring [ On - Going ]        11. Genderuwo Ganteng [ On - Going ]        12. Theatre Musical: Roll Egg [ On - Going ]        13. In Memoriam My Dear Husband [ On - Going ]        14. Billionaire Brothers Love Me [ On - Going ]         Jangan lupa pencet love tanda hati warna ungu.       Cukup 1 kali aja ya pencetnya.    Terima kasih. Selamat membaca.         -- T B C --          
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD