Memoriam XII: Namun Palsu

1950 Words
Aku Tahta. Di sini aku akan kembali pada beberapa tahun lalu. Saat itu aku masih kuliah. Sedangkan Aa sudah lulus, dan baru saja mendapat pekerjaan di salah satu perusahaan swasta.        Aku mengambil program studi Manajemen. Aku juga aktif di berbagai organinasi. Salah satunya Himpunan Mahasiswa. Jabatanku terhitung paling tinggi di sana. Ya, aku adalah ketuanya.       Menjelang bulan Ramadhan, aku dan seluruh anggota Himpunan Mahasiswa melakukan sebuah kunjungan ke salah satu Panti Asuhan. Ini adalah awal dari perencanaan salah satu agenda tahunan kami. Yaitu menggalang dana untuk disumbangkan ke Panti Asuhan. Agenda ini akan dilaksanakan pada bulan Ramadhan nanti.       Kami semua duduk lesehan di karpet yang disediakan. Para pengurus panti sedang sibuk membawa nampan berisi cemilan. Pastinya untuk kami. Tapi hal itu justru menciptakan rasa tak enak yang besar dalam hatiku.        Tujuan kami ke sini untuk membantu, tapi kami malah merepotkan seperti ini.        "Teteh kok repot - repot, kami cuman sebentar, kok," kataku.        Wanita berhijab itu tetap meletakkan isi nampannya di hadapan kami. Ia kemudian menatap dan tersenyum padaku.       Untuk beberapa saat, aku merasa dunia berhenti berputar. Meski sebenarnya aku sadar bahwa aku hanya sibuk berhalusinasi. Tapi bolehkah aku memiliki kemampuan menghentikan waktu sebentar saja, aku ingin melihat senyuman itu sedikit lebih lama.       "Nggak repot kok, Mas. Ini bukan apa - apa. Cuman sedikit cemilan," jawabnya.        "Alah lu sok - sokan bilang repot segala, Ta. Ntar juga lo habis paling banyak!" celetuk Roziq salah satu temanku.       Diiyakan oleh anak Himpunan Mahasiswa yang lain. Aku hanya bisa geleng - geleng dengan kelakuan mereka. Selalu saja hobi dan kompak mem-bully ketuanya.       Namun rasa kesalku segera menghilang dalam sekejap. Kala wanita itu kembali bicara. Klise bila kubilang ia cantik. Ia lebih dari sekadar cantik.        Wajahnya memancarkan aura teduh yang menentramkan.        "Teh Dara!" Seseorang memanggil dari arah dapur. Ia melambai, meminta wanita istimewa itu untuk segera kembali ke sana.       Oh, jadi namanya Dara.      Nama yang secantik parasnya.       Dara mengatakan iya tanpa suara pada seseorang itu. Ia kemudian berdiri, kembali tersenyum ramah pada kami semua. "Silakan dimakan, Mas dan Mbak semuanya. Saya ke belakang dulu. Mari."        "Makasih, ya, Teh," koor seluruh anggotaku dengan tempo yang hampir bersamaan.        Apa - apaan mereka itu. Benar - benar tidak jelas!         Satu hal yang pastinya aku tangkap. Aku merasa tak rela ditinggal pergi olehnya, wanita yang baru aku lihat dua menit yang lalu.        ~~~~~ IMMDH - Sheilanda Khoirunnisa ~~~~~       "Serius amat, Dek. Amat aja nggak serius - serius banget!" Aa baru saja pulang kerja. Ia meletakkan tas tenteng di atas meja sembari melonggarkan dasi, kemudian mengacak rambutku seenak jidatnya.       Sekarang aku yakin, tampangku sudah mirip orang yang suka bicara sendiri di pinggir jalan dan pakai baju compang - camping.       Dengan tampang kesal, kurapikan kembali rambutku yang malang.      "Gitu aja ngambek!" goda Aa. Ia menghempaskan diri, duduk di sebelahku. Hingga tercipta guncangan seperti gempa tektonik.       "Nggak bisa pelan - pelan, ya, A?" protesku.       "Cerewetnya adekku! Lagi PMS apa gimana?" Tuh, kan, ia belum selesai menggodaku.       "Terserah Aa aja, deh."       "Tuh, kan, mirip cewek PMS!" Aa tertawa keras mirip orang kemasukan. Amit - amit jabang bayi!       "Hasbi sama Tahta, kebiasaan! Kalo ketemu nggak bisa, ya, nggak ribut sekali aja?" Ibu datang sambil ngomel - ngomel. Ia kemudian memberikan segelas s**u cokelat hangat padaku.       Aku menerimanya dengan senang hati, sembari menjulurkan lidah untuk menggoda Aa. Aku senang sekali melihat tampang kesalnya.       "Dari dulu Adek doang yang dibikinin s**u. Aa nggak pernah!" protesnya.       "Ya mana Ibu tahu kamu mau pulang. Kan jam pulang kamu nggak tentu!" Ibu membela diri.       "Ya Ibu bisa inisiatif, dong. Kan suara ribut aku sama Tahta kedengeran sampai dapur. 'Eh, itu anak Ibu yang sulung udah pulang. Bikinin s**u juga, ah!' Nah, Ibu malah enggak!"        Aku tertawa keras mendengar Aa menirukan logat bicara Ibu dengan gayanya. Sungguh, aku sangat bahagia melihat tampang sedihnya karena tidak dibuatkan s**u.       "Udah, bikin sendiri sana!" Ibu malah menggoda Aa sebelum kembali ke dapur.       Uh, terima kasih Ibu karena secara tak langsung sudah membalaskan dendamku pada Aa.       Aa mengambil secarik kertas yang sedaritadi kucorat - coret. Niatnya, sih, mendesain brosur dan banner. Tapi gagal total. Aa membaca tulisan berantakan mirip ceker ayam di sana. Tulisan tanganku memang tak pernah bagus.       "Kamu mau ngadain baksos?" tanyanya.       Aku mengangguk.      "Kapan?"       "Kenapa tanya - tanya? Aa mau jadi donatur?" Niatku, sih, menggodanya. Tapi ia menanggapi dengan serius.       "Gaji Aa belum banyak, jadi nanti Aa belum bisa nyumbang banyak."        Aku tertawa melihat tampang seriusnya. "Ya elah, A. Bercanda. Serius amat. Amat aja nggak serius - serius banget!" Aku mengikuti kata - katanya saat menggodaku tadi. "Kalo mau nyumbang seikhlasnya aja, A. Nggak perlu maksain diri."       Aa mengangguk. "Aa mungkin belum bisa nyumbang banyak. Tapi kalo kantor, pasti bisa."       Aku mengernyit. "Aa mau ngajuin sumbangan ke kantor?" Aku sedikit ragu dengan idenya. Bagus, sih. Tapi .... "Aa yakin? Uhm ... aku nggak maksud nyinggung perasaan Aa. Tapi Aa kerja di sana, kan, baru sekitar tiga bulan. Takutnya dianggap gimanaaaa gitu."       Ia terkikik karena reaksiku. "Duh, imutnya adek Aa!" Aa mencubit gemas kedua pipiku. Di mana hal itu kembali membuatku super kesal. "Perhatian banget, sih, kamu. Kamu nggak usah khawatir. Nggak usah peduliin apa kata orang. Kita udah berbuat baik aja masih banyak yang anggep buruk. Apalagi kalo nggak berusaha berbuat baik sama sekali. Kalo niat kita baik, insyaa Allah dapet jalan."       Kuakui filosofi buatan Hasbi Ridwan sangatlah tinggi, logis, dan agamis. Itulah yang membuatku sangat kagum pada kakak jailku yang satu ini. Tapi karena kami telanjur terbiasa saling menggoda, aku tak bisa serta merta memujinya tanpa membubuhi dengan godaan.        "Masyaa Allah, Aa super sekali!" Kuacungkan jempolku padanya.        Ia hanya mencebik sembari menampik acungan jempolku.      ~~~~~ IMMDH - Sheilanda Khoirunnisa ~~~~~         Berkat bantuan dari Aa yang sudah mengajukan permohonan bantuan pada perusahaan tempatnya kerja, kami mendapatkan jumlah uang yang cukup besar.       Aku tidak menyangka mereka akan mau membantu. Aku belajar satu hal lagi dari Aa. Jangan takut mencoba. Karena kita tak akan tahu hasilnya, kika tidak memulai.       Kami sudah bersiap untuk berangkat ke panti dengan Aa.       Ya ... aku sengaja mengajak Aa untuk ikut serta. Selain karena segalanya akan terasa lebih afdol jika ada Aa -- aku selalu merasa hampa tanpa Aa bersamaku, aku terlalu bergantung padanya -- juga karena rasa terima kasih. Atas bantuannya, kami mendapatkan jumlah yang jauh di atas target pencapaian kami.       Aa terlihat ganteng dengan baju koko, sarung, dan juga peci. Biasanya Aa - ku memang selalu ganteng. Tapi gantengnya plus - plus kalau sedang memakai baju muslim seperti ini.       Diriku yang tak kalah ganteng, dengan gentleman mengakui kegantengan kakakku. Karena Aa memang ganteng.       Tapi perlu kutegaskan, aku benar - benar tak kalah ganteng. Camkan itu baik - baik!       Acara penyerahan bantuan berjalan khidmat dan kekeluargaan. Selanjutnya kami melakukan buka bersama dengan para anak yatim dan juga pengurus panti.        Sepanjang acara berjalan, aku tak bisa mengalihkan pandangan dari Dara. Aku tidak berlebihan jika menyebutnya seperti bidadari. Dara layak mendapat sebutan seperti itu.        Aku benar - benar ingin menjaga pandangan. Aku ingin menunduk dan berhenti menatapnya. Namun aku adalah lelaki normal. Dan aku juga manusia yang tak mungkin luput dari kesalahan. Aku benar - benar gagal menjaga pandanganku.        Sebelum Isya' kami semua segera berpamitan. Karena sudah mepet dengan waktu sholat, kami memutuskan untuk segera berpisah dan pulang. Besok saja kami akan melakukan evaluasi dan pembubaran panitia setelah program Bakti Sosial berjalan dengan baik dan lancar.        "Dek!" seru Aa tiba - tiba. Aku terkejut karena sedari tadi melamun, masih terbayang - bayang dengan kecantikan Dara.       "Kenapa, sih, A? Bikin kaget aja!"        "Bengong melulu dari tadi."        "Yeee ... siapa juga yang bengong!" elakku.       "Dek." Ia memanggilku lagi.       "Kenapa, sih, A?"        Kulihat Aa senyam - senyum tidak jelas. Entah karena apa.       "Nggak ada rahasia di antara kita, kan, Dek?" tanyanya sembari cengengesan.        "Apaan, sih? Mau curhat, ya curhat aja. Nggak usah cheesy nggak jelas kayak gitu!" Aku benar - benar kesal karena ia menginterupsi bayangan Dara dalam benakku, dengan kelakuannya yang tak jelas.       "Jadi ...." Aa memulao sesi curhatnya. "Kamu tadi lihat cewek berhijab yang pakek gamis warna abu - abu, nggak, sih?"        "Huh?" bingungku. Pikiranku segera tertuju pada ....        "Cewek, pake hijab item syar'i. Gamisnya warna abu-abu."       Tepat, itu adalah Dara. Kenapa Aa menanyakan tentang Dara? Jangan - jangan ....       "Cantik, ya, dia. Adem gitu dilihatnya. Idaman."       Aku tidak tahu bagaimana harus menjawab ungkapan perasaan Aa. Aku terlalu sibuk dengan rasa panas yang dengan kasarnya menghujam hatiku tanpa ampun saat ini.       "Dek ... ih, diajak ngomong malah bengong lagi!"       "Ih, dibilangin aku nggak bengong," elakku lagi atas tuduhan Aa yang sebetulnya sangat benar. "Lihat, kok, A. Tapi biasa aja, sih, menurut aku. Nggak cantik - cantik amat," jawabku akhirnya. Jawaban palsu. Bohong besar.        "Alhamdulillah ...."       "Lah, kok alhamdulillah?"       "Ya iya, lah. Itu artinya kamu nggak naksir dia. Cuman Aa aja yang naksir. Jadi, Aa nggak ada saingan." Ia menjelaskan dengan raut semringah luar biasa.         Tega kah aku merusak bahagia yang Aa rasakan dengan berkata jujur?       Tentu jawabannya tidak.       Lagi pula, masuk akal jika Aa akan mendekati Dara. Logis. Ia adalah laki - laki yang bisa dikatakan sempurna.        Tampan, pintar, religius, dan sudah punya pekerjaan yang bagus.      Sedangkan aku?       Aku bahkan masih seorang mahasiswa. Yang masih minta orang tua. Ingin kerja sambilan, tidak sempat karena banyaknya tugas dan juga kegiatan organisasi.       Dara tidak akan memilih anak kecil sepertiku.       Pasti ia akan memilih Aa.        Aa begitu pantas untuknya. Demikian sebaliknya.        "Selamat, ya, Dek!" kata Aa lagi.       "Selamat buat apa, A?"        "Selamat, bentar lagi kamu punya kakak ipar!" Aa tergelak keras setelah mengatakannya.        Aku menimpali tawa itu dengan tawa yang tak kalah keras.        Namun palsu.        ~~~~~ IMMDH - Sheilanda Khoirunnisa ~~~~~         Masya Allah Tabarakallah.        Halo semuanya. Ketemu lagi di cerita saya. Kali ini judulnya Murmuring. Mau tahu kenapa dikasih judul Murmuring? Ikutin terus ceritanya, ya.         Oh iya, selain cerita ini saya punya cerita lain -- yang semuanya sudah komplit -- di akun Dreame / Innovel saya ini.   Mereka adalah:          1. LUA Lounge [ Komplit ]                   2. Behind That Face [ Komplit ]              3. Nami And The Gangsters ( Sequel LUA Lounge ) [ Komplit ]              4. The Gone Twin [ Komplit ]         5. My Sick Partner [ Komplit ]        6. Tokyo Banana [ Komplit ]                7. Melahirkan Anak Setan [ Komplit ]         8. Youtuber Sekarat, Author Gila [ Komplit ]          9. Asmara Samara [ Komplit ]        10. Murmuring [ On - Going ]        11. Genderuwo Ganteng [ On - Going ]        12. Theatre Musical: Roll Egg [ On - Going ]        13. In Memoriam My Dear Husband [ On - Going ]        14. Billionaire Brothers Love Me [ On - Going ]         Jangan lupa pencet love tanda hati warna ungu.       Cukup 1 kali aja ya pencetnya.    Terima kasih. Selamat membaca.         -- T B C --          
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD