Memoriam XIV: Seperti Bapak, Oom, dan Kakeknya

2331 Words
Berapa jam? Entah. Rasanya sudah sangat lama. Akhirnya setelah segala kesakitan, ketegangan, penantian, perjuangan ... semuanya terbayar.        Aku menengok jam dinding. Sekarang pukul 20.45 WIB. Haidar yang telah lama kami nantikan hadirnya, akhirnya terlahir ke dunia. Suara tangisnya menjadi jawaban atas kekhawatiran kami. Ia menangis, berarti ia sehat. Ia baik - baik saja. Tak ada komplikasi apa pun dalam proses persalinannya.       Aku menatap Haidar yang segera diselimuti dengan kain hangat. Ia terlihat sempurna. Jari - jarinya, kakinya, wajahnya ... semuanya lengkap.         Kualihkan pandanganku pada Dara. Ia menangis menatap Haidar yang kemudian diletakkan oleh tim medis ke dadanya. Dara menangis ... tangis bahagia. Tapi kurasa juga tangis kerinduan dan penuh harapan atas kehadiran Aa di sini.        "Itu namanya inisiasi dini, Pak. Dilakukan untuk proses pendekatan ibu dan anak. Sebenarnya lebih baik jika skin to skin, maksudnya tanpa penghalang apa pun. Namun seperti ini pun nggak masalah," jelas salah satu suster.        Syukur lah suster itu menjelaskan. Jika tidak, aku tak akan tahu nama dan fungsi dari kegiatan itu selamanya. Tanpa sadar aku pun menangis. Air mataku lolos begitu saja. Aku buru - buru menghapusnya.        "Pak, Anda mau memotong tali pusatnya?" tanya Dokter itu.         "Tapi ...." Aku mencoba mengelak, sebelum dokter itu kembali berucap.        "Tidak apa - apa, Pak. Dia keponakan Anda, bukan? Entah itu ayahnya, pamannya, kakeknya ... sepertinya akan tetap lebih baik jika anggota keluarga yang melakukan."        Aku menatap Dara dan Haidar sekali lagi. Dara pun tengah menatapku. Sepertinya ia tahu akan keraguanku. Dara kemudian mengangguk. Setuju jika aku memotong tali pusat Haidar.        Persetujuan itu sebenarnya justru memberatkanku. Jujur hatiku masih sangat ragu. Aku benar - benar merasa bersalah pada Aa. Karena ... karena aku kembali lancang ... melakukan apa yang seharusnya ia lakukan.        Dokter memberiku sebuah gunting yang berbentuk aneh. Sebelum aku menggunting talis pusat yang menjuntai, menghubungkan Haidar dengan ari - ari -- yang sampai sekarang bahkan belum keluar -- Dokter terlebih dahulu menjepit pada bagian mana aku harus memotong.        "Silakan, Pak," katanya sembari menunjuk bagian bawah juntaian tali pusat yang ia jepit menggunakan sebuah alat yang berbentuk mirip gunting namun tumpul.         Bismillahirrahmanirrahiim. Aku mulai menggerakkan gunting mendekati tali pusat. Entah gunting ini yang tumpul, atau memang seperti ini rasanya saat menggunting tali pusat. Memang sedikit sulit, atau hanya perasaanku saja. Tapi syukurlah, aku berhasil melakukannya dengan baik.        "Dek ...," gumam Dara.       Aku bergegas menghampirinya. "Kenapa, Teh? Teteh butuh sesuatu."        Dara mengangguk. "Teteh minta tolong ...." Dara menatapku dengan mata berkaca - kaca. "Tolong adzani Haidar!"        Hatiku mencelos seketika. Pertama - tama, aku benar - benar lupa untuk yang satu itu. Maksudku ... ya ... aku tahu setiap bayi yang baru lahir harus diadzani. Tapi ... selama ini rencananya adalah, Ibu yang menemani Dara melahirkan. Kemudian nanti Ayah yang akan mengadzani Haidar.        Namun ternyata semua tak berjalan sesuai rencana. Justru aku yang menemani Dara melahirkan. Dan kini ... pastinya aku juga yang harus mengadzaninya. Karena prosesi pengadzanan ini harus segera. Sebelum telinga Haidar mendapat bisikan - bisikan menyesatkan dari setan.        Mungkin aku bisa keluar dari kamar ini untuk melihat Ibu dan Ayah sudah datang atau belum. Jika sudah Ayah bisa segera mengadzaninya. Tapi bagaimana jika belum? Aku -- lebih tepatnya kami -- tak mau mengambil risiko.        Ketika aku masih bergeming dalam kebimbangan, seorang suster telah mengangkat Haidar dari atas Dara, memberikannya padaku. Haidar yang masih diselimuti lendir dan darah bergerak - gerak gusar, menangis keras.        Perlahan kuangkat kedua tanganku, menerima Haidar, membawanya dalam pelukanku. Ya, ia masih terbungkus kain hangat. Namun aku tetap berhati-hati. Aku takut manusia yang sangat kecil ini akan terjatuh jika aku tidak hati - hati.        Kutatap wajah mungil itu. Air mataku kembali lolos. Dara pun tak kuasa menahan tangisnya lagi. Kuangkat Haidar lebih tinggi, aku pun sedikit menunduk, mendekatkan mulutku pada telinganya. Kemudian aku mulai mengumandangkan adzan.        ~~~~~ IMMDH - Sheilanda Khoirunnisa ~~~~~          Aku berjalan gontai keluar dari kamar bersalin. Kulihat Ayah dan Ibu sedang menunggu dengan wajah tegang. Mereka duduk bersama di kursi panjang, bersandar pada dinding.        Begitu melihatku, mereka segera beranjak, bersama - sama menghampiriku.        Mereka tak bertanya apa pun, hanya menatapku dengan segenap rasa khawatir.         "Ayah sama Ibu tadi dari mana?" Aku yang bertanya akhirnya.        "Ayah tadi ketemu teman lama di kantin. Ternyata dia selama ini pindah ke sini karena dapet istri orang Kediri. Sekarang istrinya lagi sakit. Makanya tadi Ayah sama Ibu nengokin sebentar."        "Pantesan tadi aku samperin di kantin nggak ada. Aku telepon juga nggak diangkat."         "Ya gimana mau angkat telepon, handphone Ayah sama Ibu aja ada di kamarnya Dara. Punya Ayah di - silent, punya Ibu getar aja. Kami pikir tadi Dara masih lama menuju bukaan lengkapnya. Soalnya baru anak pertama. Ibu dulu aja waktu mau lahiran Aa kamu, sampai seminggu lamanya nunggu bukaan lengkap."        "Kayaknya Teteh, tuh, udah ngerasain kontraksinya dari semalem, Bu. Tapi nggak dirasa. Atau justru nggak tahu kalo itu kontraksi. Makanya diem aja. Buktinya tadi pagi langsung pecah ketuban, kan? Gitu kata dokternya tadi."          Sebenarnya aku menyesalkan jawaban Ayah. Harusnya mereka tetap ada di sini dan menjaga Dara. Segera kembali setelah urusan makan di kantin selesai.        Tapi aku juga tidak bisa menyalahkan sepenuhnya. Bertemu kembali dengan seorang teman yang sudah sangat lama tak dijumpai, apalagi sekarang istrinya sedang sakit. Lalu juga berbekal pengalaman saat persalinan pertama Ibu di masa lalu.        Apa boleh buat. Semua sudah terjadi. Mungkin memang sudah digariskan, bahwa aku lah yang harus menemani Dara melahirkan.        "Terus Dara sekarang gimana, Ta?" tanya Ibu. "Alhamdulillah, baik Teteh atau pun Haidar, dua - duanya sehat. Haidar tingginya 51 cm, beratnya 3,4 kg, dan super ganteng kayak Bapak sama Oom - nya."        "Alhamdulillah ...," sahut Ayah dan Ibu hampir bersamaan.        "Nggak kayak kakeknya juga?" tanya Ayah.        Susah payah aku menahan tawa. Lalu menggeleng. "Nggak kayak kakeknya sama sekali," jawabku. Tentu saja hanya bercanda. Dari siapa aku dan Aa mewarisi wajah ganteng ini kalau bukan dari Ayah? "Ya udah, lebih baik sekarang Ayah sama Ibu masuk, temenin Teteh sama Haidar. Sekalian ngobrol - ngobrol sama dokternya perihal persalinan tadi. Kali aja ada sesuatu yang mau Ayah dan Ibu tanyain."        "Iya ... iya ...." Ibu yang menjawab. "Tapi emangnya kamu mau ke mana?"         "A - aku ...." Gelagapan lah aku. "Aku mau cari udara segar aja. Panas banget tadi di dalem." Itu hanya sebuah alibi tentu saja.        Sejujurnya saat ini aku merasa sangat lelah, lemah, dan payah. Aku mengalami shock berat setelah menemani Dara melahirkan. Sejujurnya aku sangat bersyukur tadi tidak pingsan.        Ayah dan Ibu saling berpandangan. Lalu mereka terkikik bersama. Sepertinya mereka tahu dan mengerti perasaaanku saat ini. Mereka mengerti bahwa apa yang kukatakan hanya sebuah alibi. Menyebalkan sekali.        "Ya udah ... jangan jauh - jauh cari udara segarnya .... Calon Bapak nggak boleh jauh - jauh dari calon istri dan anaknya." Ujung - ujungnya mereka malah menggodaku.        Ingin rasanya kututup telinga karena suara tawa Ayah yang menyebalkan.         "Udah sana buruan masuk!" Aku sedikit mendorong mereka supaya segera masuk dan berhenti menggodaku.        Mereka malah lanjut tertawa. Tapi kemudian mereka bergegas masuk untuk melihat keadaan Dara dan Haidar. Sedangkan aku?         Kembali bergeming. Hanya berjalan menuju bangku panjang yang tadi diduduki Ayah dan Ibu rasanya sangat jauh. Kakiku gemetaran.         A ... Ibu tadi bilang aku calon bapaknya Haidar. Calon suaminya Dara. Aku nggak tahu harus gimana, A. Aku ... bingung.          ~~~~~ IMMDH - Sheilanda Khoirunnisa ~~~~~         Aa belum mendapat restu sepenuhnya dari Ibu. Namun ia tak gentar untuk tetap menikahi Dara. Aa berjanji akan membuktikan pada Ibu bahwa Dara adalah wanita yang baik.         Ibu hanya butuh waktu. Sebenarnya selain karena alasan Dara yang tidak memiliki keluarga, Ibu kurang setuju dengan pernikahan Aa karena menurut Ibu, usia Aa masih terlalu muda. Padahal saat itu Aa sudah 27 tahun. Sudah cukup matang bagi seorang lelaki untuk menikah.         Aa yakin, kelak pasti Ibu akan sangat menyayangi Dara seperti putrinya sendiri. Kebaikan hati Dara akan meluluhkan kerasnya hati Ibu.        Namun ada satu hal yang membuat Aa tiba - tiba berniat mengurungkan pernikahannya dengan Dara. Padahal saat itu tinggal dua minggu menjelang pernikah terjadi.        Kenapa?        Karena aku.        "Ta ...." Aa datang ke kamarku suatu malam.        Aku hanya menatapnya aneh. Tidak ... bukan karena Aa tidak pernah masuk kamarku atau apa. Ia sering ke sini, aku pun sering ke kamarnya. Kadang ia tidur di kamarku. Aku juga sering tidur di kamarnya.        Hanya saja ... tak biasanya Aa memanggilku seperti itu. Biasanya ia langsung masuk tanpa ba bi bu, lalu membuat kasurku berantakan karena berguling - guling tak beraturan di sana.        "Kenapa, sih, A? Lagi butuh duit? Belum gajian? Kalo mau ngutang jangan ke aku! Ke Ayah atau Ibu sana!" Aku malah nyerocos padanya. Sekalian mau menggodanya, sih.        "Aa mau ngomong sesuatu, Ta," katanya lagi.        Kurasa Aa semakin aneh saja. Akhirnya kuletakan pulpenku, lanjut tugas nanti saja. Kini aku menatap Aa lekat. Aku ikut bersikap serius seperti Aa sekarang.         "Ngomong apa, sih, A?"         Aa menggeser kursi plastik dan meletakannya di sebelahku, lalu ia duduk di sana. "Kamu, kan, kemarin nganterin Aa sama Dara beli cincin. Aa baru menyadari sesuatu saat itu. Sebuah hal yang bikin Aa ngerasa bersalah banget sama kamu. Aa mikirin hal ini semalaman. Dan baru sekarang berani ngomong sama kamu."         "Maksud Aa apaan, sih?" Aku benar - benar tak mengerti dengan apa yang sedang Aa coba bicarakan.        "Kalau perlu Aa nggak usah nikah sama Dara aja. Dari pada nyakitin hati kamu."         Perasaanku mulai tak enak. Kenapa ini? Apa Aa tahu tentang perasaanku pada Dara? Tapi bagaimana bisa? Apa terlihat sangat jelas hingga Aa bisa menebaknya?         "Aa ngomong apa, sih? Mana boleh tiba - tiba batalin pernikahan! Aa kayak anak kecil." Aku tak dapat menahan emosi lagi. Kenapa Aa mendadak begitu pendek akal? Seperti bukan Aa - ku. "Apa Aa nggak mikirin perasaannya Dara? Dia pasti sedih banget jika Aa benar - benar melakukan itu semua. Lagian ataa dasar apa Aa batalin pernikahan? Kalo Aa nggak serius, harusnya nggak usah maju sejak awal!"        "Justru itu, Ta .... Harusnya ... harusnya kamu terus terang sejak awal."        "Terus terang soal apa?" Napasku naik turun tak keruan.         "Soal perasaan kamu ke Dara. Aa bener - bener ngerasa bersalah karena terlambat menyadarinya."        Aku diam seketika. Ternyata benar. Aa sudah tahu tentang itu.         Sejauh ini aku sudah berusaha menghilangkan perasaanku pada Dara. Aku berdoa siang dan malam agar perasaanku lenyap. Namun tiap kali aku bertemu Dara, perasaan itu selalu saja bertambah. Itu sepenuhnya nafsuku sendiri. Aku belum mampu mengendalikannya.         "A ... jika aku niat untuk nikahin Dara, sejak awal aku akan jujur ke Aa. Tapi ... aku sadar. Saat ini aku belum punya apa - apa. Untuk menikah ... aku sama sekali belum siap. Ya, seperti kata Aa. Aku memang cinta sama Dara. Semenjak pertama ketemu, aku langsung suka sama dia. Tapi ... seperti apa yang kubilang tadi. Nggak ada gunanya aku cinta dia, kalo aku nggak niat buat nikahin dia. Jujur, aku lega banget saat Aa bilang tertarik sama dia. Itu tandanya, Dara akan berakhir bersama orang yang tepat."        "Tapi, Ta ...."        "Nggak ada tapi - tapian, A. Kalo cuman karena perasaanku, lalu pernikahan ini gagal, aku bakal berdosa banget, A. Aku nyakitin Aa. Nyakitin Dara. Nyakitin semua orang di panti. Nyakitin Ayah dan Bunda juga. Aku nggak mau itu terjadi. Itu bakal nyakitin hati banyak banget orang. Ya, hatiku emang sakit karena harus merelakan Dara bersama Aa. Nggak apa - apa asal aku aja yang sakit. Asal yang lain jangan. Toh aku yakin lama - lama perasaan ini akan hilang, saat aku udah nemuin cinta yang baru. Aa ngerti, kan, maksud aku?"         Aa tiba - tiba merengkuh tubuhku, memelukku erat. Sesak dadaku, aku ingin menangis. Tapi kutahan sebisanya.        "Dek ... maafin Aa," katanya dengan suara tertahan. Aku yakin saat ini Aa juga sedang berusaha menahan tangisnya.        "Nggak ada yang perlu dimaafin, A."         ~~~~~ IMMDH - Sheilanda Khoirunnisa ~~~~~         Masya Allah Tabarakallah.        Halo semuanya. Ketemu lagi di cerita saya. Kali ini judulnya Murmuring. Mau tahu kenapa dikasih judul Murmuring? Ikutin terus ceritanya, ya.         Oh iya, selain cerita ini saya punya cerita lain -- yang semuanya sudah komplit -- di akun Dreame / Innovel saya ini.   Mereka adalah:          1. LUA Lounge [ Komplit ]                   2. Behind That Face [ Komplit ]              3. Nami And The Gangsters ( Sequel LUA Lounge ) [ Komplit ]              4. The Gone Twin [ Komplit ]         5. My Sick Partner [ Komplit ]        6. Tokyo Banana [ Komplit ]                7. Melahirkan Anak Setan [ Komplit ]         8. Youtuber Sekarat, Author Gila [ Komplit ]          9. Asmara Samara [ Komplit ]        10. Murmuring [ On - Going ]        11. Genderuwo Ganteng [ On - Going ]        12. Theatre Musical: Roll Egg [ On - Going ]        13. In Memoriam My Dear Husband [ On - Going ]        14. Billionaire Brothers Love Me [ On - Going ]         Jangan lupa pencet love tanda hati warna ungu.       Cukup 1 kali aja ya pencetnya.    Terima kasih. Selamat membaca.         -- T B C --          
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD