BAB 2 : OLAHRAGA

1022 Words
Sudahkah Adinda mengatakan jika dia benci olahraga ? Sebenarnya tidak begitu benci, hanya saja Adinda tidak bisa melakukan apapun tentang hal fisik seperti bermain bola basket, volley atau bahkan bola sepak. Adinda tidak menyukainya karena dia tidak suka panas dan berkeringat berlebihan. Tamara memang sering lari pagi. Namun tidak sampai berkeringat banyak dan membuat lengket di kulit. Cukup untuk mempertahankan fisiknya yang bagus dan tentu saja kesehatan yang ibunya inginkan. Bukan untuk ibunya sebenarnya. Hanya saja, Adinda sudah membenci olahraga sejak ibunya menyuruh Adinda untuk berlari jarak pendek. “Adinda Ameera.” Adinda mendesah ketika namanya dipanggil oleh guru olahraga. Guru itu sudah mempersiapkan peluitnya dan bersiap di garis start bersama orang – orang yang akan beranding melawan satu sama lain dan juga waktu. Siapa yang masuk ke garis finish biasanya mendapat nilai lebih tinggi. Adinda masih berjalan gontai. Sementara mereka yang akan berbalapan dengan Adinda sudah bersiap dengan peregangan tubuh. Adinda cukup percaya diri ketika dia melihat lawan – lawannya yang melakukan peregangan dan juga dandanan yang berlebihan. Adinda percaya diri karena dia sering berlari melawan waktu yang ibunya pegang. Untuk itu, mungkin olahraga seperti ini cukup mudah untuk Adinda mendapatkan cukup baik. Setidaknya seperti begitu. “Bersiap.” Kata guru olahraga itu kemudian Adinda dan yang lainnya diposisi siap. Saat peluit dibunyikan, Adinda dan yang lainnya mulai berlari. Bebalapan dan menuju akhir yang sama. Adinda benar – benar berlari seperti biasa. Santai namun langkahnya panjang. Dan itu membuat Adinda berada di posisi ke dua setelah yang pertama masuk ke garis finish. “Lo masih lebih jago dari gue kalo urusan lari.” Kata Ria yang berdiri menuju garis start. Sesudah garis finish Adinda lewati, Humaira akan melewatinya juga di kelompok kedua. Absen yang berurut abjad ini memang masih ada di jaman sekarang. Dan untuk Adinda. Menjadi absen pertama tidak di rugikan. Hanya saja setelah ini, mungkin Adinda akan menyesalinya. Karena ujian kali ini, Adinda akan ada di urutan teratas. “Semoga berhasil.” Ucap Adinda pada Ria yang berjalan melewatinya. Ria mengangguk dan tersenyum. Kemampuan Ria juga cukup bagus untuk urusan berlari. Dan Ria sangat tidak suka jika dia berolahraga dan basah. Basah oleh air atau basah oleh keringat. Setidaknya, dua orang ini, hampir sama satu sama lain. Adinda terduduk di bawah pohon sendiri tanpa mengetahui jika ada orang yang memperhatikannya. Tidak menyadari jika yang memperhatikannya itu tersenyum kecil saat melihat Adinda minum dari botol kemasan dan meluber ke sudut bibirnya. Dan Adinda dari kejauhan menghapus tetesan yang mengalir di sudut bibirnya mencapai dagu dengan lengannya secara kasar dan tidak tau aturan. Orang itu. Yang terbiasa melihat orang – orang yang menatapnya memuja kini menatap orang yang sama sekali tidak pernah tertarik pada dirinya. Secara, bola mata yang kini menatap Adinda dari kejauhan, tidak pernah berpapasan dengan Adinda. Kemungkinannya hanya satu. Adinda berusaha menghindarinya. Adinda tersenyum kecil dan memberikan minuman pada Ria yang sudah selesai berlari. Ada di posisi ke empat lumayan untuknya. “Lawan gue pada jago anjir. Coba ada di posisi lo, gue pasti juara satu.” Ucap Ria setelah meneguk minumannya. Adinda mengangguk, “percaya deh gue.” Kata Adinda pelan. Ria terkekeh. “Males dah hari ini.” “Kenapa ?” Tanya Adinda sambil mengerutkan keningnya. Ria menatap Adinda, “lo ga inget ?” Adinda menggeleng pelan, “apaan ?” “Abis ini kita ujian fisika.” Adinda membuang nafas lega. Adinda kira ada apa dengan hari ini. Hanya ujian fisika. Dan Adinda sepertinya sudah sangat siap menghadapinya. Padahal, orang lain cukup was – was dengan ujian ini. Satu, tidak bisa mencontek karena gurunya sangat jeli. Kedua, tidak bisa bertanya pada teman tentu saja. Ketiga, ujiannya sangat sulit. Untuk orang – orang yang jauh dari Adinda, mungkin sulit. Tapi Adinda tidak memikirkannya lagi. Ujiannya akan sama seperti ujian – ujian sebelumnya. Rumit dan menjebak. Untuk itulah, Adinda belajar sampai dini hari tadi. “Bukannya lo udah belajar ?” Tanya Adinda pada Ria yang masih saja mengipas – ngipaskan jari – jarinya untuk mukanya yang memerah karena cuacanya sangat panas. Ditambah lagi keringat yang basa di wajahnya. Ria mengangguk, “sedikit.” Jawabnya. “Mau taruhan ?” Adinda terkekeh begitu menyadari apa yang sudah dia katakan. Karena tentu saja, Ria sangat bersemangat jika sudah ada pertarungan seperti ini. “Juara 1 memerintahkan juara 2 untuk melakukan apa saja yang di suruh oleh juara 1.” Kata Ria menjawab dan memberikan idenya. Adinda sebenarnya cukup percaya diri. Dan untuk itu, Adinda mengangguk setuju. “Deal.” Sebenarnya, mereka berdua biasanya bersaing secara sengit di bidang akademik. Dan tentu saja, Adinda yang menjadi juaranya. Biasanya seperti itu. Dan untuk kekalahannya, mungkin tidak akan terjadi. Adinda sudah mempersiapkan dan tentu saja belajar. Tapi jika takdir berkata lain, bisa jadi Adinda kalah dalam taruhan ini. Adinda sedikit menyesali apa yang sudah di janjikan untuk siapa kalah menyetujui apa yang diperintahkan oleh siapa yang menang. Pasalnya, Adinda takut jika Ria memberikan perintah yang nantinya akan mempermalukan Adinda. Namun dengan besar hati, Adinda bisa menang. Ataupun jjika Adinda kalah, dia percaya jika Ria tidak mungkin memiliki permintaan yang aneh – aneh untuknya. “Apa yang bakal gue suruh ke lo kalo gue menang ?” Tanya Ria pada dirinya sendiri. Seakan sedang ada kesempatan untuk mengerjai Adinda, Ria berfikir keras untuk merencanakan apa yang akan dilakukannya jika Adinda kalah. Ria tidak bisa tidak memanfaatkan apa yang sudah dijanjikan oleh mereka berdua. Apalagi fisika. Pelajaran yang cukup mudah untuk Ria. Dan mungkin cukup mudah jiga utnuk Adinda. Namun, jika takdir Ria menang, Adinda tidak bisa apa – apa selain menuruti kemauannya. “Harusnya lo yang siap – siap jadi babu gue sebulan.” Kata Adinda yang mulai beranjak dari duduknya. Menepuk bagian p****t ke bawah karena ada rumput kering yang menempel di sana. Adinda terkekeh ketika melihat Ria yang tampak tidak suka dengan ucapan dari Adinda. Dan tampaknya, Adinda sudah yakin dengan menjadikan Ria babu jika dia menang. “Gue ga akan biarin tangan cantik gue hanya buat ngelayanin lo.” Adinda kembali terkekeh kecil. “Pokoknya, gue akan memikirkan mateng – mateng apa yang bisa gue buat ke lo sebagi hukuman karena kalah dari gue.” Adinda benar – benar tidak habis fikir dengan tekad kuat dari seorang Humaria. Dia benar – benar harus menjadi keras kepala setiap bersinggungan presepsi dengan Adinda. Dan tentu saja, kebanyakan Adinda yang mengalah gara – gara tidak mau marahan dengan Ria. “Jangan yang konyol – konyol deh, Ri.” Kata Adinda. Ria mengangguk. “Karena lo bilang gitu, gue jadi kefikiran buat ngerjain lo dengan cara yang konyol.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD