BAB 2 - Tragedi

2141 Words
“Ssssstt!” desis seseorang tiba-tiba. Raya tergemap. Ia langsung celingukan. Astaga, ada apa lagi ini? Siapa tadi yang berbicara? Padahal Perpustakaan sedang sepi begini. Raya memeluk tubuhnya sendiri. Oh, sungguh, ia merinding sekarang. Semua bulu romanya berdiri dan jantungnya berdegup cepat. Apakah ini karma karena telah meremehkan tentang hantu Kampus? Astaga, bagaimana ini? “Hei, jangan ganggu aku!” ucap Raya dengan suara bergetar. “Aku bukan hantu seperti yang kau pikirkan. Mengerti?” kata suara misterius itu lagi. Kali ini, Raya mencoba mencari. Namun, tidak juga menemukannya. “Aku ada di balik rak buku yang ada di depanmu.” Raya terkesiap. Benarkah? Apakah dia manusia? Entahlah. Suaranya terdengar seperti suara laki-laki. Tapi, bisa saja itu hantu yang menyamar, kan? “Kalau tidak percaya lihat saja aku!" Raya menelan salivanya. Baiklah, walaupun saat ini ketakutan mendekapnya, tapi ia tidak mau membesar-besarkannya lagi. Apalagi ia harus menyelesaikan tugas yang diberikan oleh dosennya. Dengan kaki gemetaran, Raya bangkit dari tempat duduknya. Pelan-pelan, menggerakkan kakinya yang bersepatu merah ke arah rak buku itu. Raya mencoba melirik, tapi tidak berhasil melihat apapun. Sampai pada akhirnya, ia berdiri di depan rak buku itu. Apakah ia harus melanjutkan langkahnya? Ya, harus! Raya memejamkan kedua netranya. Sungguh, ia tidak siap kalau harus melihat sesuatu semacam itu sekarang. Dan …. “AAAAAAAAAAAAHH!!!” teriaknya sekeras mungkin. “Kau kenapa?” Kening Raya mengerut. Ia membuka netranya dan mengembuskan napas lega, ketika melihat seorang laki-laki yang sedang duduk bersandar pada rak. Laki-laki itu melihatnya dengan tatapan aneh. Raya merutuk dalam hati. Laki-laki ini memang tampan, tapi menyebalkan! “Sedang apa kau di sini?” “Kau sendiri?” tanya laki-laki itu. Raya mencibir. Bukankah ia yang bertanya duluan? Kenapa laki-laki ini malah balik bertanya? “Sudahlah, aku tidak mau berurusan denganmu,” kata Raya. Lalu, meninggalkan laki-laki itu dan kembali ke tempatnya semula. Tak sengaja, netranya membaca sebuah nama yang tertera pada sampul buku digenggaman laki-laki itu. Bintang Pradipa. •••••••• Kedua manik mata bulat Bintang masih memperhatikan seorang gadis yang sedang sibuk dengan dua buku dan sebuah bolpoint yang terselip di antara jari-jarinya itu. Benar, ia sedang memperhatikan gadis itu diam-diam. Apakah gadis itu adalah gadis yang selama ini dicarinya? Ya. Sepertinya, ia telah menemukannya. Raya Putri. Pasti itu namanya. “Hei, apa kau sedang memperhatikanku, huh?” kata Raya tiba-tiba. Bintang terkejut. Ia tak pernah menduga kalau Raya akan memergokinya seperti ini. Sungguh memalukan! Sebelumnya, ia tak pernah dibuat malu oleh gadis manapun. Dan hari ini, di depan seorang gadis yang selalu mendapat IPK terendah di Kampus, ia telah dipermalukan. Oh, sungguh malang! “Apa kau sedang belajar juga?” tanya Raya sambil memperhatikan buku yang Bintang bawa. “Iya.” “Oh, aku ingat! Kau Bintang, kan? Yang selalu mendapat IPK tertinggi di Kampus ini?” tebak Raya sambil menunjuk Bintang dengan bolpointnya. “Iya.” Raya mendesah pelan. “Apa kau manusia satu kata? Kenapa dari tadi hanya berkata ‘ya’, ‘ya, ya’?” ujarnya sambil menirukan gaya Bintang berbicara. “Ah, ya.” Raya merubah senyum di wajahnya menjadi sebuah garis lurus yang dibentuk oleh bibirnya. Membosankan. Ya, itulah kesan yang didapat dari seorang Bintang. Pada akhirnya, ia memilih untuk menyelesaikan tugasnya saja. Bintang melihat Raya kembali sibuk dengan pekerjaannya. Ah, pasti gadis itu menyerah berbicara dengannya. Bintang tersenyum kecil. Bermain-main dengan Raya ternyata menyenangkan juga. Pandangannya kini beralih ke arah sampul buku milik Raya yang bertuliskan huruf Katakana di sana. "Ra-ya pu-te-ri," ejanya kemudian. Raya tertegun. Bukankah laki-laki itu berbeda jurusan dengannya? Kenapa laki-laki itu bisa membaca namanya? "Kau bisa Bahasa Jepang?" tanyanya penasaran. Bintang melenggut. "Ya, sedikit. Bukankah Bahasa Jepang merupakan mata kuliah wajib untuk semua jurusan?" "Oh, ya. Kau benar." Raya menunduk. Menggigit bibir bawahnya seraya merutuki dirinya sendiri. Bintang terkekeh melihatnya. Gadis itu memang cantik. Namun juga bodoh! “Ah, akhirnya selesai!” seru Raya dua jam kemudian. Ia merentangkan kedua tangannya lebar-lebar ke udara. “Oh, sudah malam, ya?” gumamnya. Lalu, segera merapikan barang-barangnya dan beranjak dari tempatnya. Bintang memperhatikan Raya. Ia tersenyum. Gadis itu begitu buru-buru, semakin menunjukkan kalau Raya memang seorang yang ceroboh. Ah, Bintang merasa ada hal yang begitu menggelikan hingga tak kuasa menahan tawanya. “Hei, kenapa kau tertawa sendiri? Kau gila, ya?” ucap Raya sebelum benar-benar meninggalkan Perpustakaan. Ia merasa heran pada laki-laki itu. “Oh, tidak,” jawab Bintang dengan melambaikan tangannya. “Oh ya, apa kau akan tetap di sini? Sudah malam, kau tidak takut?” “Takut apa?” Raya berdecak kecil. Entah Bintang yang memang pemberani atau dirinya sendiri yang penakut. “Ya sudahlah, aku pergi dulu.” Raya pun langsung berlarian kecil meninggalkan Bintang sendiri. Bintang bangkit dari duduknya. Berdiri, agar bisa memperhatikan Raya dengan jelas. Gadis itu tengah berlarian ke suatu tujuan. Entahlah, Bintang memilih untuk tidak memedulikannya. Ia memandang sebuah buku di tangannya. Kemudian, tersenyum. Benar juga, tidak seharusnya ia berada di Perpustakaan malam-malam begini. Atau, ia akan dipikir tidak normal karena terlalu pemberani. Bintang pun meraih tas ranselnya yang tergeletak di lantai dan pergi dari tempat itu. •••••••• Bintang langsung menghempaskan tubuh ke atas ranjangnya yang empuk. Pandangannya menerawang, menatap atap dinding kamarnya yang berwarna biru. Ah, andai saja ia bisa pergi ke suatu tempat. Tempat di mana ia bisa bersenang-senang. “Astaga, kenapa aku tidak pernah memikirkannya? Aku bisa pergi ke Bogor sebelum ujian berlangsung, kan?” gumamnya tiba-tiba. Sesaat kemudian senyumnya mengembang lebar. Langkah kaki Bintang surut perlahan menuruni anak-anak tangga. Namun, langkahnya terhenti setelah sampai di lantai dasar, saat netranya menemukan Ayah dan Ibunya sedang bercengkrama dengan seorang tamunya. "Bintang. Ayo, beri salam ke Pamanmu," titah Angga yang melihat putranya berjalan menghampiri. Bintang melenggut. Menunduk dan meraih tangan kanan untuk mencium pria paruh baya itu. Kemudian, mendaratkan bokongnya di samping sang Ayah. "Waah ... sudah lama Paman nggak main ke sini. Kamu sudah besar, ya?" ungkap Pramono. Bintang menyenggih. "Iya, Paman." "Paman dengar kamu sudah kuliah, ya? Ambil jurusan apa?" "Teknik Informatika, Paman." "Waah ... lulus nanti kamu bisa menjadi IT di perusahaan kami," Pramono menjeda ucapannya. Ia terkekeh. “aiti-aiti di jalan,” tambahnya kemudian. Gelak tawa penghuni rumah seketika membahana di ruangan. Begitu pula Bintang yang tidak kuasa menahan tawa lebarnya. Ia menggeleng, sebab kebiasaan Pamannya itu yang suka sekali membuat lelucon. Merasa perutnya terasa sakit, Bintang memilih untuk menghentikan tawanya. Pandangannya beralih menatap ke arah sang Ayah. Kini, rasa was-was seketika menjalar di sekujur tubuhnya. Sebab, ia berada di sini hanya untuk mengungkapkan keinginannya untuk pergi berlibur ke Bogor. "Ayah, apa besok lusa aku boleh pergi berlibur ke Bogor?" tanya Bintang to the point. “Apa? Kamu akan pergi ke luar kota? Bukankah sebentar lagi kamu akan menghadapi ujian?” seru Kirana tiba-tiba. Membuat degup jantung Bintang berpacu cepat, hingga semakin menambah rasa was-was. Kirana menatap anak semata wayangnya itu dengan tatapan tidak meyakinkan. “Memangnya kamu mau ke mana, Bintang?” tanyanya dengan volume di kecilkan. “Jalan-jalan, Mah. Hanya dua hari saja. Setelah itu Bintang akan pulang dan mempersiapkan diri untuk ujian,” mohon Bintang sambil mengatupkan kedua tangannya. Kirana menatap anaknya dengan khawatir. Lalu, ia beralih menatap suaminya, yang malah tertawa. “Biarkan saja,” sahut Angga sekenanya. Bintang langsung menyeringai lebar. “Benarkah Ayah?” Angga melenggut. “Mm ... asalkan kamu nggak melarikan diri ketika ujian nanti!” Wajah Bintang semakin berbinar-binar. Sedangkan, Kirana hanya bisa mendesah pelan dan menatap Bintang dan suaminya bergantian. Sebab, mau tak mau ia harus mengizinkan anaknya itu untuk pergi. Mendadak Pramono tertawa lebar. Membuat ramai suasana rumah yang sempat sepi. "Tapi, kamu harus hati-hati Bintang. Yang Paman tahu akhir-akhir ini banyak sekali kecelakaan. Paman hanya takut jika ada seseorang yang ingin berniat jahat dan mencelakaimu," peringat Pramono dengan diiringi oleh kekehan kecilnya, “hahaha … sepertinya Paman belum bisa move on nonton film misteri yang baru ditonton kemarin.” Bintang tertawa lebar. "Ah, Paman bisa saja. Itu tidak mungkin, Paman," tuturnya menepis bualan Pramono yang menurutnya sangat lucu. •••••••• Raya menggendong tas ransel berukuran lumayan besar di punggungnya. Dengan semangat ia menunggu bus travel yang akan menjemputnya di depan rumahnya. Dan, kini netranya berbinar senang ketika bus berukuran mini yang ditunggunya, datang menghampiri. Raya menaiki bus dan segera mencari kursi yang kosong. Ia tersenyum begitu melihat sebuah kursi yang ada di sebelah kiri. Ia pun mendaratkan bokongnya di sana. Ia tersenyum sendiri. Membayangkan akan melarikan diri seperti ini benar-benar membuatnya bahagia. Ah … begitu menyenangkan jika bisa hidup sebebas ini. Kemudian, mata Raya mulai menyapu pemandangan di sekitarnya. Jujur saja, ini pertama kalinya ia menaiki bus dengan tujuan yang sangat jauh. Apalagi sendirian. Namun, tidak masalah, memang ini merupakan tujuannya dari awal. “Kau?” Raya mengerutkan keningnya. Kemudian menoleh ke arah samping. Kedua netranya langsung terbelalak saat melihat sesosok laki-laki yang sangat dikenalinya. “Kau? Kenapa kau bisa ada di sini? Kau mengikutiku, ya?” tanyanya bertubi-tubi. Laki-laki berjaket biru tua itu ialah Bintang. Ia malah menatap Raya dengan tatapan aneh. “Kenapa aku harus mengikutimu? Tidak penting sekali!” jawabnya acuh tak acuh, “kau sendiri? Mau apa kau di sini?” “Bukan urusanmu!” tegas Raya dan langsung memalingkan wajahnya ke arah luar jendela. Bintang tersenyum sinis. Namun, diam-diam ia memperhatikan gadis itu yang saat ini sedang menikmati perjalanannya. "Apa kau sedang melarikan diri untuk liburan ke luar kota?" tebaknya kemudian. Raya membalikkan kepalanya dan menatap laki-laki itu heran. “Memang kenapa?” Bintang terkekeh. “Kulihat kau benar-benar tidak peduli dengan kuliahmu." Bintang benar-benar mengungkapkan apa saja yang ada di pikirannya. “Apa urusannya denganmu?” “Tidak ada.” “Ya sudah.” Bintang kembali terkekeh. “Apa kau tidak takut dengan ujian? Bukankah sebentar lagi ujian akan tiba?” “Memang ujian akhir adalah seonggok hantu yang perlu ditakuti?” Bintang tersenyum kecil. Ternyata Raya jauh lebih bodoh dari yang dikira. Bagaimana bisa gadis itu menggabungkan kata ‘seonggok’ dengan ‘hantu’? “Apa kau mempunyai seorang kekasih?” Raya menatap Bintang dengan sinis. Atas tujuan apa laki-laki itu bertanya seperti itu? Lancang sekali! “Kenapa kalau aku punya atau tidak. Apa berpengaruh pada kehidupanmu?” “Bukan aku, tapi seseorang yang lain,” jawab Bintang dengan tenang. “Siapa?” PRAAAANGGG!!! Baik Bintang maupun Raya sama-sama menengok ke depan. Dan kedua mata mereka langsung terbelalak lebar. Kaca depan bus tersebut sudah pecah dan kini giliran bus mereka yang bergerak tidak keruan. Oleng ke kanan dan ke kiri, membuat kepanikan langsung terdengar di seluruh ruang sempit bus mini ini. “Apa yang terjadi?” seru Raya panik. Ia belum sepenuhnya bisa memercayai tentang apa yang terjadi di depan matanya. Pecahan kaca, teriakan orang-orang dan ketika tubuhnya harus menahan goncangan yang kuat agar tidak terlempar ke sana kemari. “Kita mengalami kecelakaan, Raya,” jawab Bintang sambil berpegangan pada puncak kursi Raya. Kemudian, matanya menatap kedua netra Raya saat gadis itu juga melakukan hal yang sama. Raya menatap Bintang dengan tatapan bingung sekaligus takut. Ia tidak tahu apa yang harus di katakannya sekarang. “TOLOOONG!!!” Raya kembali melihat ke depan dan ketika itu tepat sebuah koper besar melayang ke arahnya. Raya membelalakkan matanya lebar. Set! Dengan sigap Bintang menarik tubuh Raya sehingga gadis itu aman dari serangan koper besar yang akan menimpanya. Bintang menyadari jika gadis yang sekarang ada di dekapannya ini ketakutan, sangat ketakutan. Wajahnya pucat dan seluruh tubuhnya gemetaran. “Kau tidak apa- apa?” tanya Bintang cemas. Raya hanya mengangguk pelan. Ia melihat tangan kekar Bintang tengah memeluk tubuhnya yang kecil dan lemah ini. Entahlah sedetik kemudian ia merasa sesuatu yang besar telah terjadi. Bus yang ditumpangi sekarang semakin tak terkendali dan teriakan semakin terdengar ricuh. CIIITTTTTT .… PRAAANGG!!! Raya membeliak, seiring air mata kian menderas saat merasakan tubuhnya terlempar keluar bus melalui kaca jendela yang telah pecah. Tubuhnya melayang di udara. Sungguh, ia tak sanggup untuk membayangkan apa yang akan selanjutnya terjadi nanti. Akhirnya, memilih memejamkan kedua netranya, merasakan degup jantung yang terus berdetak tidak keruan dan merasakan peluk hangat seorang laki-laki di hadapannya. BRUUKK! Bintang mengerang kesakitan. Tubuhnya terasa remuk redam saat tulang ekornya membentur keras aspal. Sakit. Sakit sekali. Kini, ia merasakan sesuatu merayap bersama panas, menjalar ngilu dari tulang ekor, tulang punggung, dan sekujur tubuhnya. Rasa itu berkumpul dalam sebuah pusaran rasa sakit di satu titik, mencengkeram perut yang kini kian mengeras. Lambat laun, Bintang tersedot dalam pusaran tanpa cahaya. Sedangkan Raya merasa semakin sulit bernapas. Namun matanya masih terbuka meskipun mulai terasa berat. Ia merasakan sebuah cairan dingin nan kental mengalir di pelipisnya. Juga mulai mencium bau anyir di sekitarnya. Raya berusaha keras mempertahankan kesadarannya sekarang, ia tidak mau pingsan apalagi mati. Kepalanya memang terasa sangat sakit bahkan mungkin sudah pecah sekarang. Ia melihat ke samping, semua orang sudah kehilangan kesadarannya. Mereka semua terpejam dengan darah mengalir dari tubuh masing-masing. Termasuk, seseorang yang berada di bawah tubuhnya. Tubuh yang bahkan masih memeluknya. Air mata Raya mulai merebak pelan. Sekarang ia melihat tangannya sudah berlumuran darah ketika menyentuh bagian kepala Bintang. Ya, darah yang sangat banyak karena baunya juga sangat menyengat. Raya sangat ingin berteriak, tetapi tidak sanggup. Ia benar-benar merasa nyawanya berada di tingkat paling berbahaya dalam hidupya. Sungguh, ia tidak mau mati sekarang. Ia ingin hidup. Ia belum siap kalau harus meninggalkan dunia secepat ini. Namun … kenapa mendadak semuanya menjadi gelap? Apakah ia harus merelakan semuanya? Semuanya walaupun ia tidak pernah mempunyai harapan dan hidupnya memang tidak berguna.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD