BAB 1 - Di luar nalar

2503 Words
Siang merangkak sore. Awan mendung di langit kota Jakarta pun telah menumpahkan hujan gerimis yang tipis. Beberapa mahasiswa yang sedang duduk di taman memilih untuk berteduh, karena tidak ingin membiarkan baju mereka basah oleh rintik-rintik gerimis. Seorang gadis terduduk dengan menopang kedua tangannya pada dagu di atas meja. Pandangannya menerawang ke depan, menatap rintik-rintik gerimis yang perlahan kian menderas dari balik kaca jendela kelas yang terbuka lebar. Beberapa helai rambut hitam panjangnya tiba-tiba saja tersibak angin dingin yang berdesir lembut. Ia berdesis, lalu memeluk tubuh dan mengusap bahu dengan kedua tangannya, ketika angin dingin itu berhasil menggerogoti kulit putihnya. Dengan sigap, ia berdiri, lalu menutup kaca jendela rapat-rapat, sebelum kembali mendaratkan bokongnya di kursi. Kini, ia bersedekap. Lalu, mencibir, menatap suasana kelas yang begitu sunyi. Semua mahasiswa tampak asyik menekuri buku-buku Bunpou di hadapan mereka. Sedangkan, dirinya tidak melakukan apapun, yang mungkin hingga saat sang dosen tiba nanti. Karena baginya, kegiatan membaca adalah kegiatan yang paling membosankan. Bagaimana tidak? Pastinya, ia akan dipaksa untuk menghadapi ribuan atau bahkan jutaan baris huruf Kanji yang sangat membingungkan. Kendati begitu, ia merasa takjub kepada dirinya sendiri, karena telah melewati semua masa-masa sulit itu hingga sampai pada semester empat ini. Yah, walau sejujurnya, semua mata kuliah yang telah didapat, hanya seperempat bagian saja yang berhasil melekat ke dalam otaknya. “Apa kalian tidak bosan?” tanyanya tiba-tiba, memecah keheningan di dalam kelas F dengan jurusan Sastra Jepang ini. Ia menaikkan kedua kakinya ke atas meja, lalu mengambil sebuah permen di dalam tasnya, membuka bungkusnya, dan mengulum permen itu ke dalam mulutnya. Ia adalah satu-satunya mahasiswi yang paling berbeda. Walaupun, ujian akan dilaksanakan besok sekalipun, dirinya mungkin tidak akan peduli. “Raya, apa kamu tidak takut, jika kamu tidak lulus ujian?” tanya seorang temannya dengan heran. Gadis yang dipanggil Raya itu hanya tersenyum kecil. Ia tahu semua ketakutan yang dialami oleh teman-temannya itu. Ujian, yang menentukan nasib para mahasiswa setelahnya. Bukankah semua itu hanya omong kosong? “Apa dengan belajar seperti itu, maka kalian akan lulus ujian dengan baik?” “Walau tidak baik, tapi setidaknya kami bisa melewatinya.” Raya mengembuskan napas pendek. Ya, ia tahu pikirannya memang yang paling berbeda, bahkan begitu sulit untuk menyatukan pikirannya, walau hanya dengan teman-teman satu kelasnya. Akhirnya, ia memilih untuk memasukkan semua barang-barangnya yang berserakan di atas meja ke dalam tas ranselnya. “Teman-teman. Aku harap, kalian tetap sehat dan dapat melewati ujian nanti dengan baik!” ucapnya terakhir kali. Setelah itu, ia berjalan keluar kelas dengan santainya. “Dasar gadis angkuh! Aku tidak heran jika IPK gadis itu selalu saja menjadi yang terendah,” cibir seorang gadis sepeninggal Raya. “Sudahlah. Ia akan menjalani hidupnya sendiri. Biarkan saja!” kata temannya menenangkan. Kemudian, mereka berdua kembali menekuri buku-bukunya. Sebanyak mungkin mereka menelan ilmu secara cepat, lalu menyimpannya, hingga sampai waktunya dikeluarkan nanti. •••• Raya berjalan menyusuri koridor Kampus yang sudah mulai sepi. Pandangannya menyapu sekitar, mencari seseorang yang mungkin saja masih betah berada di Kampus. Sayangnya, nihil. Ia mengernyit bingung. Ke mana semua mahasiswa yang biasanya masih berlalu-lalang di koridor ini? Mungkinkah mereka sudah pulang dengan menerobos hujan? Entahlah. Ia bergedik, memilih untuk tidak memedulikannya, dan terus melangkahkan kedua kakinya untuk membolos. Pohon-pohon rindang yang tumbuh hampir di sekitar perkarangan Kampus membuat suasana Universitas Dharma cenderung lebih cepat menggelap pada sore ini. Namun, kegelapan yang ada terasa lain. Lampu-lampu koridor yang tidak semua menyala, membuat beberapa koridor di depannya tampak begitu gelap. Tiba-tiba, Raya teringat tentang gosip keangkeran Kampusnya yang didengarnya satu minggu lalu. Tak lama kemudian, ia mencibir. Bagaimana mungkin hantu bisa datang ke Kampusnya? Memang semasa hidup mereka tidak pernah kuliah? Lucu sekali …. Deru angin senja yang dingin tiba-tiba saja berembus kencang, dan menghempas sekujur tubuh Raya, bersama dengan suara derap langkah kaki seseorang mendekat ke arahnya. Siapa itu? Ia menggigil ketika kepungan rasa panik memompa irama jantungnya yang kini telah berpacu dengan cepat. Langkah kaki Raya melaju pelan. Pandangannya memerhatikan was-was ke arah depan, di mana sumber suara itu berasal dari koridor yang gelap di depannya. Ia celingukan. Emosi di dadanya masih dipenuhi kebingungan, tapi seiring dengan itu ia diserang perasaan takut. Derap langkah kaki itu semakin mendekat, tapi sialnya ia tidak bisa melihat siapa yang berada di ujung koridor sana. Ia meneguk salivanya dengan susah payah, seiring dengan keringat dingin yang mulai merebak pelan. Haruskah ia melanjutkan langkahnya? Atau berputar arah? Namun, tiba-tiba …. Jleb! “Aaaaahhhh!” Raya berteriak, dan berlari kencang saat semua lampu padam hingga kegelapan menyelimutinya. Sembari menggigil kedinginan, Raya terus berlari dengan rasa panik menguasai diri, hingga membuat napasnya tidak terkendali. Bruuukkk! Raya jatuh tersungkur, akibat telah menabrak seseorang di depannya. Ia meringis sakit memegangi bokongnya, disisipi oleh suara seperti erangan seorang wanita tua, yang berhasil membangkitkan bulu kuduknya. Terlalu gelap. Sehingga, ia tidak mampu untuk melihat dengan jelas. Seketika semua lampu menyala. Raya membeliak, ketika mendapati seorang wanita paruh baya tersungkur di atas lantai tepat di hadapannya. Ia ingat sekarang, jika wanita tua itu merupakan cleaning service di Kampus ini. Ia menggeleng, tidak pernah mengira, kenapa di usia yang sudah rentan seperti itu masih saja bekerja keras? “Nenek tidak apa-apa?” Raya bangkit. Lalu, berlari kecil menghampiri wanita itu. Dan, berjongkok saat sudah berada di sampingnya. Pun, ia membantu wanita yang ditaksir usianya 50 tahun itu untuk duduk. “Iya, Nenek tidak apa-apa. Terimakasih, ya Nak,” jawabnya setelah berhasil terduduk di atas lantai. Dan, tanpa diduga ia telah menggenggam tangan gadis itu sekarang. “Ma-maf. Tadi, aku --” Raya tercenung. Ia menatap sang Nenek heran. Kenapa Nenek itu tidak mau melepaskan tangannya, di saat ia ingin? Dan, kenapa Nenek itu menatapnya dengan aneh? “N-nek,” panggil Raya gugup. Kini, jantungnya berdegup kencang, saat kedua manik mata mereka saling beradu pandang. Pun, ia masih berusaha untuk melepaskan tangan kanannya, yang semakin digenggam erat. “Kamu, gadis yang malang. Hidupmu akan ditimpa kesialanan, sama seperti laki-laki itu. Kecelakaan besar akan menimpa dirimu. Dan … sesosok arwah juga akan mengikutimu ke mana pun kamu melangkah. Takdir kalian saling terikat oleh masa lalu, sehingga kamu harus membantunya,” terang wanita itu tiba-tiba. Pandangannya tampak kosong menatap Raya, sehingga membuat gadis itu semakin ketakutan. Namun, tak lama kemudian wanita tua itu melepaskan genggamannya. Ia mengerjap-ngerjapkan kedua matanya, setelah itu tersenyum ke arah Raya. Sedangkan Raya, tanpa buang waktu segera bangkit. Ia menatap aneh wanita tua itu, sebelum pada akhirnya melemparkan senyum mengejek. Apa Nenek itu pikir ia akan memercayai semua omong kosongnya? Tentu saja tidak. “Nek, aku ada urusan. Aku harus pergi!” tuturnya untuk terakhir kali. Lalu, berlari pergi meninggalkan wanita itu yang masih terduduk di lantai. Walau sejujurnya, rasa takut masih menguasai diri. Wanita tua itu tercenung, menatap punggung Raya yang semakin menjauhi dirinya. Kemudian, ia menunduk, dan menatap nanar kedua tangannya. Kenapa gadis itu juga tidak memercayai ucapannya? Wanita itu bernama Rosa. Ia memiliki kemampuan ESP (Extra Sensory Perception) atau yang lebih dikenal dengan sixth sense. Ia mampu meramalkan kejadian yang akan datang hanya dengan sebuah sentuhan. Akan tetapi, apa gunanya memiliki kemampuan seperti itu jika ia tidak bisa menyelamatkan hidup suami, anak, dan menantunya? Rosa membenamkan kedua tangannya di d**a. Kini, ia merasakan kedua netranya memanas. Ingatannya berhasil menembus batas waktu 20 tahun silam, di mana ia sempat memperingati suami, anak dan menantunya untuk tidak melakukan perjalanan panjangnya ke Solo. Mirisnya, sang suami tidak memercayai ucapannya, sehingga kecelakaan tragis menimpa mereka. Bahkan, hingga sampai merenggut nyawa mereka. Beruntung, sang cucu bisa selamat dari peristiwa itu. Dan, sampai saat ini ia hanya tinggal berdua saja dengan cucunya itu di rumah bekas peninggalan sang suami. Pun, hanya sang cucu yang bisa memercayai ucapannya. Dan kini, berkat otak cerdas yang dimiliki cucunya, sehingga sang cucu mendapatkan beasiswa penuh di Fakultas Ilmu Kedokteran yang ada di Kampus ini. Rosa menyeka air mata yang berhasil lolos dengan jari-jemarinya. Ia tidak boleh mengingat peristiwa kelam itu lagi. Ia harus menjalani hidupnya dengan bahagia. Ia pun memilih untuk bangkit, karena tak ingin embusan angin dingin terus menggerogoti tubuhnya. Namun sayangnya, rasa sakit pada bagian panggulnya, membuat Rosa tidak mampu untuk berdiri. Tetapi, tiba-tiba saja ada tangan kekar yang merengkuhnya dari belakang, dan membantunya berdiri. “Astaga, Nenek kenapa? Siapa yang telah melakukan ini kepada Nenek?” tanya orang itu panik. Rosa tersenyum, setelah berhasil berdiri. “Nenek hanya tersandung saja. Kamu tidak perlu khawatir seperti itu.” “Bagaimana Arsen tidak khawatir, Nek? Sudah Arsen katakan tidak perlu lagi Nenek bekerja seperti ini. Nenek harus banyak istirahat di rumah. Biar Arsen saja yang bekerja.” Lagi-lagi, wanita itu hanya tersenyum simpul. Ia tahu sekali kekhawatiran cucunya. Akan tetapi, ia juga tidak bisa jika hanya berdiam diri di rumah tanpa melakukan apapun. Karena ia tidak ingin jika laki-laki itu bekerja paruh waktu menjaga perpustakaan seorang diri. Belum lagi jadwal Koas yang cukup padat, sehingga Rosa tidak tega jika membiarkannya kelelahan. “Nenek sudah tidak apa-apa. Bukankah hari ini kamu memiliki jadwal jaga malam? Kamu harus pergi ke Rumah Sakit sekarang! Jika tidak, kamu akan dimarahi lagi oleh dokter Siska.” Arsen membeliak. Ia pun menilik ke arah arloji di pergelangan tangannya yang menunjukkan pukul enam sore. Ia panik, karena telah memiliki janji kepada dokter cantik itu. Oh astaga, apa ia akan benar-benar dimarahi oleh gadis itu lagi? Lalu, haruskah ia menerobos hujan deras malam ini? “Sudah sana, cepat!” titah Rosa tersenyum, saat melihat laki-laki yang memiliki wajah kekanak-kanakkan itu tampak panik. “Nenek, pulangnya hati-hati di jalan, ya. Nanti aku pesankan taksi untuk Nenek. Aku harus pergi sekarang.” Arsen memeluk Neneknya terlebih dulu, lalu mencium pipi sebelum berlalu pergi meninggalkan sang Nenek. Arsen melangkahkan kedua kakinya dengan dikuasai kebingungan. Tadi, ia sempat mendengar sang nenek membisikkan sesuatu, saat ia memeluk tubuh mungil wanita tua itu. Akan tetapi, kini kata-kata itu berhasil menguasai pikirannya, hingga berkelindan dengan cepat, dan berputar-putar di dalam benaknya. “Bantu laki-laki yang menabrakmu tadi.” Dengan napas memburu, Raya terus berlari menyusuri koridor Kampus yang masih begitu sepi. Terlalu sepi, sehingga hanya terdengar embusan angin, juga guyuran hujan yang jatuh ke bumi. Kini, Raya menolehkan kepalanya ke belakang, was-was jika wanita tua itu mengikutinya. Beruntung, tidak ada siapa pun di sana. Ia memperkecil larinya, sambil menyeka peluh keringat yang berpadu dengan dinginnya udara menjelang malam. Sial! Kepanikannya telah berhasil membuat napasnya terasa megap-megap. Raya memberhentikan larinya. Jujur saja, ia sudah tidak sanggup untuk berlari lagi. Entah kenapa, malam ini koridor Kampus terasa lebih panjang dari biasanya. Raya membungkukkan tubuh, dengan kedua tangan memegangi lututnya. Ia mencoba untuk mengatur napasnya. “Apa ...” Napasnya masih tersengal-sengal ketika berusaha untuk berkata, “nenek itu sudah gila? Dia pikir aku akan percaya dengan ucapannya, huh?” Kali ini, Raya mencoba untuk mengangkat wajahnya, ketika manik matanya mendapati kerumunan para mahasiswa yang baru keluar kelas. Raya tersenyum senang. Lega. Karena, ia sudah tidak merasa sendirian lagi. Ia pun bangkit dan berjalan santai mengikuti kerumunan tersebut, yang menuju ke arah Kantin. Kebetulan sekali, karena saat ini, ia sudah merasakan perutnya terus berbunyi. Raya pun memilih untuk mendengarkan musik melalui headset. Pun, bersenandung kecil, guna melupakan kejadian yang telah menimpanya tadi. Akan tetapi … ia merasa ada yang janggal. Ia seperti … mengenali wajah-wajah para mahasiswa itu yang tampak sedang memerhatikannya. Dan, tak lama kemudian, ia melotot. Bukankah mereka adalah teman-teman sekelasnya? Raya pun mendongakkan kepalanya, dan terperangah saat melihat papan pada kelas di sampingnya yang bertuliskan kelas F. Seketika Raya memberhentikan langkahnya. Ia memukul-mukul kecil kepalanya dengan sebelah tangan. Itu artinya, kepanikannya telah membuat Raya hanya berputar-putar saja mengelilingi Kampus yang berbentuk persegi ini. Dan itu artinya kalau Hiroshi sensei masih ada di dalam kelas. Batinnya. Dengan sigap, ia pun membalikkan tubuhnya untuk melarikan diri dari tempat ini, ketika seseorang memanggil namanya dengan cukup lantang. “Hei, Raya Putri!” Raya mengerem langkahnya secara mendadak. Ia memberenggut, lalu memejamkan kedua matanya, seraya menggigit bibir bawahnya. Oh astaga, kenapa hari ini ia begitu sial sekali? Pelan-pelan, ia membalikkan tubuhnya ke belakang, dan menyeringai lebar saat menemukan Hiroshi Sensei yang sudah berdiri di hadapannya sekarang. Hiroshi merupakan seorang native speaker yang berasal dari negeri sakura. Hiroshi memang masih muda, umurnya pun belum mencapai 30 tahun. Tapi, ia terkenal sangat mengerikan di antara dosen lain di Kampus ini. Sudah hampir dua tahun lamanya, ia tinggal dan menjadi dosen di Kampus ini, sehingga membuatnya lancar dalam berbicara Bahasa Indonesia. “I-iya?” ucap Raya berusaha menenangkan dirinya. Ia ingat, jika ia sedang bolos dalam mata pelajaran tambahannya. Aissh … harusnya tadi ia diam saja di kelas, sehingga tidak akan mengalami kejadian-kejadian yang menyulitkannya seperti ini! “Kenapa kamu tidak ikut mata kuliah tambahan saya?” tanyanya ketus. “Mm… ya? Oh, aku … aku tadi sakit perut. Lalu, izin pergi ke toilet. Ya, ke toilet,” dusta Raya sambil menyeringai lebar. “Bohong! Aku tidak percaya padamu!” “Tapi, Sensei --” “Kamu tahu apa hukuman yang pantas untuk mahasiswi pemalas sepertimu?” “Maafkan aku Sensei. Aku ti --” “Tidak perlu meminta maaf,” potong Hiroshi dengan garang. Kemudian, ia menunjuk ke arah Perpustakaan. Raya memberenggut. Ia pun langsung melengos, mengikuti arah jari telunjuk dosennya itu. Hukuman perpustakaan adalah hukuman yang paling mengerikan di antara semua hukuman yang ada di Kampus ini. Oh, kenapa harus menimpa dirinya saat ini? Raya mendesah pelan. Ia tidak berani untuk menolak hukuman yang diberikan oleh Dosennya itu. Karena, jika ia menolak, Hiroshi akan menambahkan hukuman yang lebih berat untuknya. “Baik, Sensei,” jawab Raya lemah sambil berjalan ke arah Perpustakaan. “Raya, carilah bahan dari materi Bunpou yang kau lewatkan tadi. Lalu, catat di bukumu dan tunjukkan padaku besok. Mengerti?” “Mengerti,” ucap Raya yang bahkan terdengar seperti sebuah gumaman. Di dalam Perpustakaan, Raya segera mencari kamus Kanji untuk bisa membaca buku Bunpou-nya. Karena, tanpa kamus itu, sudah pasti ia tidak akan bisa membaca huruf hiragana-nya. Pun, tidak akan tahu apa maknanya. Baginya, Bahasa Inggris masih jauh lebih mudah ketimbang Bahasa Jepang yang tengah dipelajarinya. Raya mendesah pelan, setelah mendapatkan kamus Kanji yang sangat tebal dan juga berat di genggamannya. Jika karena bukan keinginannya untuk pergi ke Jepang secara gratis, dan melihat bunga Sakura mekar. Sudah pasti, ia tidak akan mau mengambil jurusan ini. Beruntung, Kampus ini dengan baik hati memberikan program study tour gratis ke negara Jepang untuk semua mahasiswanya. Mengingat, Kampus ini memang sangat terkenal dengan jurusan Sastra Jepangnya yang bagus. Dan, Raya sangat menginginkan program itu. Kendati begitu, alasannya itu pernah dijadikan bahan olokan oleh para senpai-nya saat masa OSPEK. “Apa? Jadi, kamu kuliah di sini cuma menginginkan program study tour gratisan? Hahaha. Lucu sekali. Cantik si cantik, tapi tidak mau modal! Hahaha.” Raya tidak pernah sedikit pun melupakan kata-kata senpai-nya itu. Kendati begitu, ia lebih memilih tidak memedulikan mereka. Karena, toh itu merupakan keinginannya, dan sudah pasti ia akan melakukan segala cara, supaya keinginannya itu bisa terwujud. Raya duduk di bangku perpustakaan yang masih kosong. Ia memukul-mukul kepalanya dengan sebelah tangannya. “Bodoh sekali kamu ini Raya! Kenapa kamu harus melewati kelas itu, sih? Coba saja jika kamu tidak melewatinya, pasti kamu tidak akan bertemu dengan sensei yang menyebalkan itu, juga tidak akan mendapatkan hukuman seperti ini. Aissh ….” “Ssssstt!” desis seseorang tiba-tiba. Raya tergemap. Ia langsung celingukan. Astaga, ada apa lagi ini? Siapa tadi yang berbicara? Padahal Perpustakaan sedang sepi begini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD