Guru Idola

1362 Words
Lala duduk di ruang TU dengan kaki gemetar. Dia tak berani menatap mata Bu Lastri yang memelototinya dengan garang. "Uang SPP-mu sudah meninggal tiga bulan Lala, apa yang akan kamu lakukan?" kejar wanita bertubuh tambun itu. Lala menunduk. "Maaf, Bu, panen kami musim ini rusak dimakan wereng," aku Lala. Jangankan untuk membayar sekolah. Untuk makan sehari-hari saja Lala dan keluarganya harus berhutang. "Maaf Lala, ibu tak bisa membantumu. Besok sudah harus kamu siapkan uangnya," tegas Bu Lastri. Lala menelan ludah dan berjanji seadanya. Gadis itu lalu melangkahkan keluar dari ruang TU. Tepat di luar, ada Pak Faris, guru PKL yang kebetulan lewat. Pria itu tersenyum kecil. "Lala, maaf saya tadi dengar, jadi apa kamu perlu uang?" tanya pria itu. "Berapa biaya SPP tiga bulan?" "Bu Lala, Anda melamun?" teguran suara Pak Faris mengejutkan Lala. Pria itu tak banyak berubah, hanya janggut tipis yang menghiasi wajahnya yang membuat tampak lebih dewasa. "Eh, maaf," jawab Lala terbata. Dia sungguh tak menyangka akan bertemu guru idolanya dulu itu di sini. Guru yang membuatnya bercita-cita menjadi seorang guru pula. "Kenalkan nama saya Faris. Kita baru ketemu kan? Saya guru olahraga," ucap pria itu sembari mengulurkan tangannya. Lala memang mandangin tangan Pak Faris yang besar. Melihat tindakan Pak Faris ini, sudah jelas pria ini tak mengenalnya. Ya, memang sudah sepuluh tahun lamanya mereka nggak bertemu. Apalagi Lala bukan tipe murid yang mencolok dan mudah diingat. Perlahan Lala mengulurkan tangannya lalu menjabat tangan Pak Faris. "Saya Lala, Pak senang berkenalan. Mohon bimbingannya," ucap Lala. "Tentu," jawab Pak Faris dengan senyumnya yang mempesona. Kedua guru itu kemudian mengobrol kecil. Mereka tidak tahu bahwa Aldo melihat mereka dari kejauhan sambil memicingkan mata. *** "Bu Lala." Pak Zen Wakasis kesiswaan sekaligus guru yang katanya beberapa murid paling killer di sekolah memanggil Lala. "Ya, Pak," jawab Lala yang sedang mengoreksi tugas siswanya. Pria berambut rapi dan licin itu menunjukkan sebuah brosur padanya. Lala membaca sekilas brosur itu. Isinya tentang olimpiade sains yang akan diadakan dua bulan lagi. "Bu Lala bisa membantu mempersiapkan murid untuk olimpiade biologi, kan? Ada dua murid yang cocok mengikuti ini. Nilai biologi mereka lumayan. Namanya Karin kelas XI IPA 1 dan Adit kelas XI IPA 2," terang Pak Zen. "Oh tentu, Pak. Kapan kira-kira bimbingan olimpiade ini di mulai?" tanya Lala. "Secepatnya, Bu. Lebih cepat lebih baik. Nanti akan saya beritahu dua anak ini untuk menghadap Ibu lewat pengumuman." "Ah, baik, Pak." Pak Zen lalu melangkahkan pergi menuju tempat mikrofon dan memanggil nama kedua siswi tadi dengan suaranya yang aslinya sudah menggelegar. Tak perlu menunggu lama. Lima menit kemudian murid yang dipanggil sudah menghampiri meja Lala. "Selamat siang, Bu," sapa keduanya. Lala terdiam sejenak. Dia memandangi kedua remaja itu. Lalu tatapan matanya jatuh pada gadis dengan bingkai kacamata kecil yang wajahnya ditutupi poni rata. Lala tertegun sejenak, meskipun penampilan gadis itu berbeda. Lala tahu bahwa gadis itu adalah gadis yang bersama dengan Aldo tadi pagi. Gadis itu pun, tampaknya mengenali Lala. Dia menunduk dan berupaya menutupi wajahnya. Lala tertegun, dia tidak menyangka Aldo berani merusak masa depan gadis lugu ini. Gadis yang seharusnya menjuarai olimpiade biologi malah diajarinya cara berkembang biak sebelum waktunya. Dasar Aldo j*****m! "Ada apa Ibu memanggil kami?" tanya cowok manis yang berdiri di sebelah cewek berkacamata itu. "Oh ya, silakan duduk dulu," jawab Lala kagok. Dia kemudian menjelaskan tentang olimpiade biologi dua bulan lagi dan niatnya untuk memberikan kelas bimbingan kepada dua orang itu. Si cowok bernama Adit tampak antusias, sementara cewek korban Aldo tadi pagi, Karin tak terlalu banyak bicara hanya mengangguk-angguk saja. "Kalau begitu kami permisi dulu, Bu," ucap Adit akhirnya setelah mereka berbicara selama sepuluh menit. "Ya, Adit kamu boleh kembali ke kelas, untuk Karin. Bisa kamu tinggal sebentar?" pinta Lala. Karin tak punya pilihan lain selain mengangguk. *** Lala memandang Karin dengan serius sementara gadis itu menunduk tak berani menatap matanya. "Karin," kata Lala perlahan. "Apa kamu dan Aldo lakukan tadi pagi?" Karena Karin tak segera menjawab Kalau menghela napas kemudian bersedekap. "Jauhi dia Karin, kamu gadis baik-baik yang punya prestasi, jangan rusak dirimu dengan berhubungan dengan orang seperti dia." Karin mengangkat kepalanya, entah mengapa gadis itu mendadak jadi punya keberanian, bahkan dia menatap Lala dengan garang. "Aldo tidak seperti yang Anda pikirkan, jangan bicara seolah Anda mengenalnya," ucap gadis itu. "Sebaiknya Anda urus saja urusan Anda sendiri. Mohon maaf, saya permisi." Gadis itu bangkit lalu meninggalkan Lala yang melongo. Yang barusan itu apa? Aldo punya front pembela gitu? Lala tertegun, dia jadi makin penasaran dengan hubungan gadis itu dengan Aldo. *** Ketika melangkah keluar dari ruang guru menuju kantin untuk makan siang. Lala berpapasan dengan si j*****m Aldo. Langsung saja wanita itu mendekati murid sialan itu untuk memakinya. "Hei, Aldo!" Aldo menoleh dan tampak ceria. "Halo, Bu Lala, apa kabar, tambah cantik aja," ucapnya tanpa dosa. Lala jadi tambah keki saja. "Jangan sok manis kamu, saya tahu apa yang kamu lakukan tadi pagi dengan Karin!" Lala melotot kejam. Aldo berpikir sejenak. "Dari mana Ibu tahu? Dari Pak Farid?" Lala memutar bola matanya. "Saya ada di sana, dan melihatnya sendiri dari jendela." Aldo memandangi Lala sejenak kalau terbahak. "Ya ampun, jadi Ibu ngintip dari jendela. Kebiasaan Ibu belum berubah juga ya, mengintip itu nggak baik, Bu." Aldo geleng-geleng kepala sambil berdecak. Rasanya Lala ingin melepas sepatunya dan melemparkannya ke kepala bocah tengik satu ini. "Siapa yang ngintip! Saya hanya kebetulan lewat di jendela situ!" hardik Lala kesal. "Kamu ini benar-benar anak kurang ajar, Aldo. Apa yang kamu lakukan pada gadis polos itu!" "Saya lagi praktik sadari, Bu. Ibu tahu kan, itu loh untuk deteksi dini kanker p******a," jawab Aldo. "Jangan ngacoh kamu! Dasar j*****m!" Lala mendelik marah sementara Aldo hanya terkekeh. "Kenapa sih Ibu marah-marah gitu? Cemburu ya? Mau saya bantuin sadari juga? Sini, saya bantu dengan senang hati." Aldo merentangkan kedua tangannya dengan gerakan meremas-remas udara. "Jangan berani-berani mendekat! Atau nilai ulanganmu saya kurangi!" ancam Lala sembari berlari menjauh. Cowok b******k itu memang berbahaya, sebaiknya Lala menjauh darinya. Lala meneruskan langkah menuju kantin. Wanita itu lalu memesan rujak cingur dan duduk di salah satu kursi. Kantin agak lenggang karena jam istirahat memang sudah lewat tiga puluh menit yang lalu. Selama jam istirahat tadi, Lala sibuk mengoreksi tugas dan kuis, jadi baru bisa makan siang sekarang. Setelah pesanannya datang, tanpa di sangka Pak Faris muncul. Pria itu menyapa Lala lalu duduk di depannya setelah memesan soto. "Siang Bu Lala, baru mau makan?" tegur guru olahraga itu. "Ya, Pak," jawab Lala riang. Dia cukup senang bisa bercengkrama kembali dengan guru idolanya itu, sekalipun Pak Faris tak mengenalinya. "Maaf ya Bu Lala, saya nggak bermaksud menggombal, tapi sepertinya wajah Bu Lala ini tampak familiar," ucap Pak Faris sembari tersenyum kecil. Lala tertawa. "Sebenarnya, saya dulu murid Bapak dari SMA X, di Lawang. Bapak dulu masih PKL sih." Lala akhirnya mencerminkan hal tersebut pada Pak Faris. Pria itu termenung sejenak kemudian tertawa. "Pantas aja, kayak pernah lihat. Maaf ya, saya nggak seberapa ingat," aku pria itu. Lala menggeleng pelan dan tersenyum. "Nggak apa, Pak, saya dulu murid yang kurang menonjol kok, bukan tipe murid yang gampang diingat," ujarnya. Tepat setelah Lala mengakhiri kalimatnya, Aldo masuk ke dalam kantin sehingga Lala pun mencibir kecil. "Nggak kayak anak itu, siapa yang nggak kenal dia." Lala menunjuk Aldo dengan matanya. Pak Faris pun menoleh dan menghela napas melihat kehadiran pemuda itu. "Aldo! Kamu bolos ya!" tegur Pak Faris. Aldo yang dibentak malah cengengesan dan melambaikan tangan. "Nggak Pak, Bu Evi nggak masuk jadi jam kosong," akunya. "Pasti Bu Evi ngasih tugas, kan? Apa sudah kamu kerjakan tugasnya!" geram Pak Faris. "Santailah, Pak, ini haus, mau beli minum dulu. Nanti saya nggak bisa mikir kalau dehidrasi," dalih Aldo. Lala berdecak-decak melihat tingkah anak satu itu kemudian bertanya pada Pak Faris. "Kenapa sih anak itu masih bisa sekolah di sini? Mestinya dia dikeluarkan saja!" Pak Faris tersenyum kecil. "Bu Lala nggak tahu, orang tuanya penyumbang dana terbesar. Bahkan ketua yayasan saja nggak berani sama dia." Lala mengangguk-angguk. Dia sudah menduga, bahwa kekuatan yang dimiliki Aldo pasti adalah uang. "Ngomong-ngomong kejadian tadi pagi, apa sudah sering Aldo begitu?" Lala kembali mengingat kejadian v****r tadi. Pak Farid mengangangkat bahu. "Bisa jadi, tapi baru tadi saya memergokinya." Dari kejauhan Aldo terus menatap kedua guru itu sembari menikmati es degan pesanannya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD