Kertas Putih

1456 Words
Di kursi CEO Subagiyo Grup siang hari itu, Alan duduk sembari memelototi layar kaca di depannya. Benda itu tengah menampilkan berita tentang Maudy. calon istrinya yang tertangkap kamera paparazi baru saja keluar dari klub malam bersama dengan seorang pria. "Pria ini memiliki tinggi badan berselisih sekitar sepuluh sentimeter lebih tinggi dibandingkan dengan Maudy yang mengenakan high heels lima belas senti, sehingga diduga kuat, pria ini bukan Alan, kekasih Maudy, yang biasanya lebih pendek. Sampai saat ini belum ada klarifikasi baik dari pihak Alan maupun Maudy. Mengenai foto tersebut." Alan menekan tombol power pada remote lalu memegangi kepalanya. Hanya dengan memandangi pria itu dari jauh dia sudah bisa menduga identitas selingkuhan Maudy. "b******k!" Alan mengumpat dengan kesal. Dia lalu meraih ponselnya dan menghubungi nomer ponsel Maudy. Nada suara gadis itu terdengar riang dan tanpa dosa ketika menyapanya membuat Alan semakin geram. "Apa yang kamu lakukan? Sudah kubilang bersabarlah sebentar. Kita hanya perlu menikah satu tahun setelah itu, aku tak peduli lagi denganmu. Apa kamu tidak bisa menjaga kelakuanmu barang sebentar?" Alan berusaha menekan suaranya yang penuh amarah. "Kenapa hanya aku yang harus menjaga kelakuan? Sementara kamu tetap boleh bergaul dengan wanita lain." Suara Maudy terdengar angkuh membuat darah Alan kian mendidih. "Jika kamu memang mau selingkuh lakukan dengan benar! Jangan sampai wartawan tahu, dasar jalang!" Setelah memaki-maki, Alan mengakhiri pembicaraan di telepon begitu saja. Dengan emosi yang masih tersisa, dia akhirnya menghubungi satu nomer lagi. "Hei, anak haram. Apa kamu tak bisa berhenti mengusik hidupku barang sebentar?" Suara tawa menggema dalam ponselnya membuat Alan semakin murka. "Kenapa sih? Kami hanya jalan-jalan saja, toh kamu sebenarnya sama sekali nggak tertarik dengan Maudy, kan?" tegur suara itu terdengar santai. "Kamu memang mirip ibumu," ucap Alan. Tak terdengar suara dalam ponselnya membuat Alan merasa menang. Alan yakin pria yang diteleponnya kini sedang berang. "Jangan bawa-bawa ibuku, b******k!" geram suara itu. Kini giliran Akan yang tertawa. "Aku peringatkan kamu sekali saja, jika kamu berani macam-macam lagi, aku tidak akan tinggal diam." *** Lala mencuci mukanya ditoilet dan menggosok-gosok bibirnya dengan kasar. Dia tidak menyangka muridnya satu itu akan menciumnya! Kurang ajar! Lala mengumpat-umpat dalam hati. Bagaimana dia bisa lengah begitu! Lala terdiam sejenak memandangi bayangannya di cermin. Dia fokus pada bibirnya yang kini berwarna kemerahan. Gadis itu pun teringat kembali pada sentuhan lembut bibir Aldo tadi. Sial! Kenapa rasanya enak! Kenapa juga aku menangis di depan dia tadi. Ya ampun! Mau ditaruh di mana mukaku!!! Lala menjerit-jerit frustrasi sehingga membuat suasana toilet guru itu menjadi horor. Beberapa siswa yang kebetulan lewat terbirit-b***t menjauh, tentu saja kecuali satu orang pemuda yang dengan setia menunggu di depan pintu toilet, Aldo. Pemuda itu bertanya-tanya dalam hati apa yang sedang dilakukan Lala di dalam sana. Tak beberapa lama menunggu, akhirnya wanita itu keluar juga dari toilet. Dia memelotot saat mendapati kehadiran Aldo di sana. Ekspresi yang imut, batin Aldo. Rasanya dia akan betah menggoda guru biologi barunya itu. "Mau apa kamu!" Lala memasang tampang gahar yang malah terlihat manis bagi Aldo. Pemuda itu memang senang melihat wanita marah dan kesal. "Penasaran aja kenapa tadi Bu guru nangis." "Siapa yang nangis! Mataku cuman kelilipan aja!" dalih Lala. Wanita itu lalu menunjuk hidung Aldi dengan penuh amarah. "Mulai detik ini menjauh dariku minimal lima meter." Aldo tertawa. "Kenapa seheboh itu sih, cuman ciuman doang, kan? Kayak baru pertama kali dicium aja." Aldo terpegun ketika melihat semburat merah pada kedua pipi Lala. Gadis itu lalu menunduk membuat Aldo terperanjat. "Jangan bilang kalau beneran pertama kali?" tebak Aldo tak percaya. Melihat Lala yang tertunduk makin dalam, tawa Aldo langsung pecah. Dia memegangi perutnya yang mules saking lucunya. Pertama? Ya ampun baru pertama! Kok bisa? Aldo tak menyangka kejadian seperti ini bisa terjadi juga. Guru baru ini benar-benar menarik. "Apa yang kamu tertawakan!" geram Lala sembari melotot garang. "Ah, lucu sekali, Bu guru, ciuman pertama di umurmu yang sudah segitu. Anak SMP aja sekarang sudah banyak yang nggak perawan," kata Aldo sembari menghapus air dari sudut matanya yang keluar karena terlalu banyak ketawa. Lala hanya bisa mengumpat lirih. Aldo meletakkan tangannya kirinya di samping guru biologi itu lalu tersenyum simpul. "Bagaimana kalau saya ajarkan cara berkembang biak secara generatif, Bu? Ada pepatah yang bilang, pratices make perfect, kan?" tawar Aldo dengan seringai m***m. Lala menendang tulang kering muridnya itu dengan keras. Aldo yang tidak siap dengan tindakan itu menjerit kecil. Dia mundur dan memegangi kakinya. Memanfaatkan kesempatan itu, Lala segera menjauh dari Aldo. "Lima meter!" tunjuk gadis itu, "Kalau kau berani mendekat kurang dari lima meter, awas!!" dia berpura-pura menggolok lehernya sendiri dan berlari pergi. Lala memegangi jantungnya yang berdetak cepat. Yang benar saja! Yang benar saja! Dia tidak akan pernah tergoda bocah tengik itu! Tidak akan pernah. Senyuman Aldo mengembang lebar. Rasa-rasanya tahun ini akan menjadi tahun paling menyenangkan sepanjang karirnya menjadi siswa SMA. Dia sudah menemukan mainan baru yang tampaknya tidak akan membuatnya bosan. *** Lala memandangi layar ponselnya. Putri Lestari salah seorang penulis w*****d yang diidolakan baru saja mengupload cerita baru. Cerita kali ini judulnya "You've Changed." Cerita tentang seorang anak yang berubah menjadi berandalan karena membangkang pada ayahnya yang berselingkuh hingga ibunya meninggal dunia. Lala terharu tatkala membaca cerita tersebut sampai dia menitikkan air mata. Nadia yang sedang mengoleskan masker di sebelah penasaran dan menengok ponsel Lala dari belakang. "Ya ampun baca teenlit lagi!" olok cewek yang kini wajahnya belepotan cairan warna hijau mengerikan itu. "Umur udah berapa sih masih suka baca teenfiction." Nadia menambahkan disertai tawa mencemooh. Lala mencebik kesal. "Biarin! Ini kan riset buat mendalami dunia remaja. Sebagai guru aku harus bisa memahami remaja dan memberikan konseling dengan benar," sanggah Lala. Ya, sejak dulu Lala selalu tertarik dengan dunia remaja. Itulah alasannya menjadi guru SMA. Dulu dia punya guru SMA yang sangat dihormatinya dan selalu membantunya kala dirinya kesulitan. Atas dasar rasa kagumnya pada guru tersebut dia memutuskan menjadi guru. Lala termenung ketika membaca kembali beberapa quotes dari novel w*****d karya putri lestari itu. Ada satu kalimat di author notes yang membuatnya tertarik. "Seorang anak selayaknya kertas putih ketika terlahir ke dunia. Bagaimana warna mereka itu tergantung dengan orang tua yang menorehkan tinta di atasnya." Lala terpegun. Dia jadi teringat pada satu murid kurang ajar yang ada di sekolahnya kemarin. Si anak bad boy yang super m***m dan nggak naik kelas dua kali. Anak b******k yang mencuri ciuman pertamanya. Lala meremas tangannya dengan kesal ketika mengingat bocah tengik itu. Namun dalam hatinya, Lala merasa penasaran. Bagaimana bisa anak itu memiliki sifat yang demikian? Apa karena pengaruh keluarga? Atau lingkungannya? Pasti ada alasan dibalik setiap perilaku seseorang. Begitu pikir Lala. Itu artinya, ada sesuatu yang tidak beres pada anak itu sehingga dia bisa bersikap seperti itu. Mungkin Lala perlu mengetahui hal itu. Mungkin dia perlu mencari tahu penyebabnya. *** Pagi itu ketika melewati halaman di samping jendela kelas XII IPA 4 Lala terkejut karena mendengar suara-suara mistis. Ada rintihan suara wanita? Dia merasa jantungnya berdetak dua kali lebih cepat. Lala tak pernah suka pada cerita-cerita hantu. Ini kan sudah jam enam pagi, masa sih ada setan? Lala memberanikan diri menengok ke dalam jendela. Betapa terkejutnya dia ketika melihat ke balik tirai. Ada Aldo yang sedang berpelukan dengan seorang siswi. Bagian atas kancing baju siswi itu sudah terbuka dan memperlihatkan branya yang berwarna merah. "Aldo!" Lala sudah hampir berteriak tetapi di dahului oleh suara orang lain yang menggelar dari arah pintu. Seorang pria dengan seragam training berdiri di sana. Si gadis yang bersama Aldo itu kalang kabut. Dia segera memasangkan kembali kancing bajunya lalu melompat lewat jendela. Gadis itu tampak terkejut ketika mendapati Lala berada di sana. Tetapi dia segera berlari pergi. Lala terdiam sejenak lalu kembali mengintip ke dalam kelas, untuk melihat apa yang terjadi pada Aldo. Cowok itu tampaknya bersikap biasa saja, melihat seorang guru yang sudah siap mencekiknya sampai mati. "Apa sih, Pak, ganggu orang lagi asyik aja. Pergi deh dia." Cowok kurang ajar dan nggak tahu malu itu malah berbalik marah. Lala menepuk jidatnya frustrasi. Dia sungguh tak mengerti mengapa anak seperti Aldo masih bisa bersekolah di sini. Padahal SMA ini cukup difavoritkan di Surabaya. "Kamu yang apa-apaan! Bisa-bisanya melakukan hal seperti ini di sekolah!" geram guru pria itu. Lala tertegun. Dia tak dapat melihat siapa pria itu tapi entah mengapa dia merasa mengenali suara guru tersebut. Aldo yang diceramahi malah tertawa lepas. "Bapak jangan sok suci, urus saja urusan Bapak sendiri." Pemuda itu lalu melangkahkan pergi. Lala mendengar helaan napas diikuti langkah kaki yang mendekat. Tahu-tahu saja jendela terbuka dan muncul wajah seorang pria dari sana. Lala terdiam sejenak, dia tahu bahwa dia mengenali guru ini. Meskipun sepuluh tahun telah berlalu wajah pria itu tidak berubah. Itulah Pak Faris guru olahraga SMA-nya yang dulu dia kagumi. Pria dengan janggut tipis itu juga terpegun mendapati keberadaan Lala di sana. "Oh, bukankah Anda Bu Lala? Guru baru itu?" sapa pria itu ramah. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD