"Bunuh saja aku, Ayah, aku tidak pernah minta dilahirkan."
Hartono menggeram mendengar ucapan putra bungsunya itu. "Jangan kebanyakan drama, Aldo. Kamu tahu kenapa Ayah begini. Ini semua juga demi kamu dan keluarga kita. Kamu pikir apa yang akan terjadi kita keberadaanmu di ketahui masyakarat?"
Aldo terbahak-bahak. "Demi aku? Demi keluarga kita? Keluarga yang mana?" sinis Aldo.
"Aldo, aku tidak mau berdebat denganmu," ucap Hartono berusaha tetap tenang. "Kemasi saja barang-barangmu sekarang dan segera pergi keluar negeri. Di sana kamu bisa bertingkah sesukamu."
"Sudah kubilang aku tidak akan ke mana-mana!" tegas Aldo. Matanya menatap Ayahnya dengan tajam, tanpa rasa takut.
"Aldo!" Hartono balas memelototi putranya itu. Dia tahu perdebatan ini tak akan berakhir. Karena mereka punya sifat yang sama-sama tidak mau mengalah.
"Kalau Ayah masih memaksaku, sekarang juga aku akan pergi ke stasiun TV dan memberitahukan kepada seluruh dunia bahwa aku ini anak harammu!" ancam Aldo.
Hartono menghela napas berat. Melihat sinar mata Aldo, dia tahu bahwa ucapan Aldo barusan bukan sekedar gertakan. Bahkan setiap hari Hartono selalu cemas memikirkan kemungkinan-kemungkinan itu.
"Jika Ayah berhenti menggusikku, maka aku juga tidak akan mengganggumu," tegas Aldo.
Giliran Hartono yang tertawa kecil. "Berhenti mengganggu? Lalu apa yang kamu lakukan pada tunangan Kakakmu? Jangan dikira aku tidak tahu rumor itu."
Aldo membuang pandangannya ke lantai. "Aku tidak akan melakukannya lagi," ucap Aldo lirih. "Aku akan menghilang bagai asap seperti tidak pernah muncul di kehidupan kalian. Kita akhiri saja. Anggap saja kita tidak pernah punya hubungan apa pun. Jangan temui aku lagi."
Untuk beberapa saat ruangan itu terasa lengang karena tak satupun dari kedua pria itu berbicara, hingga akhirnya Hartono memecah keheningan. "Jika itu maumu."
Pria itu membalikkan badan lalu melangkahkan pergi meninggalkan kamar kos Aldo.
Aldo kembali membaringkan tubuhnya di atas kasur kapuk di kamarnya yang keras. Dadanya terasa amat sesak. Pemuda itu tak dapat menahan bulir-bulir air yang menetes dari pelupuk matanya.
Ketukan di pintu membuat Aldo terkesiap. Buru-buru pemuda itu bangkit dan menghapus lelehan air dari pipinya. Setelah menggumamkan kata masuk, seperti dugaan Lala muncul dari ambang pintu.
"Aku sudah belikan makanan, kamu mau tahu telor?" sapa wanita itu riang. Dia masuk ke dalam kamar lalu celingukan. "Piring dan sendok ya di mana?"
Aldo termenung sejenak memandangi wanita itu. Dia yakin guru biologi itu pasti berpapasan dengan ayahnya di depan pintu, tapi wanita itu terlihat santai saja.
"Itu di lemari atas, awas, banyak kecoanya." Aldo menuding lemari gantung pojok kiri di atas kepala Lala.
"Kecoa!" Lala melotot ngeri. Aldo tersenyum kecil melihat ekspresi gurunya itu. Dengan takut-takut wanita itu membuka lemari, lalu mengelus d**a setelah yakin tak ada satupun serangga bertengger di sana. Dia mengambil dua buah sendok lalu membawanya mendekati Aldo.
"Ayo dimakan," ajak Lala.
Aldo memandangi dua bungkus tahu telor yang disuguhkan Lala. Ternyata Lala membeli satu untuk dirinya sendiri juga.
"Suapin," pinta Aldo tiba-tiba berubah jadi manja.
Gurunya itu jelas melotot kesal. "Nggak usah manja! Aku tahu tanganmu nggak kenapa-napa!" tolak Lala.
"Kalau gitu aku nggak mau makan." Aldo merajuk sambil buang muka.
Lala berkomat-kamit kesal, tapi akhirnya wanita itu mengambil satu suap tahu telor dan menyodorkannya ke depan mulut Aldo. "Nih!" ucap Lala sambil mendelik kejam sama sekali nggak romantis. Dia lebih mirip ibu tiri yang kejam.
Aldo tersenyum kecil lalu membuka mulutnya dan menerima suapan dari Lala dan mengunyahnya.
"Enak?" tanya Lala.
Aldo mengangguk-angguk. Lala lantas mengambil satu sendok tahu telor untuk dirinya sendiri. Wanita itu bahkan lupa mengganti sendoknya.
"Ciuman nggak langsung tuh." Aldo mengingatkan. Lala mendelik. Makanan yang hampir masuk ke kerongkongannya malah salah masuk ke jalan napas sehingga dia terbatuk-batuk.
Aldo terkekeh dan menepuk-nepuk punggung gurunya itu dan menyodorinya air mineral kemasan. Setelah Lala meneguk air itu, akhirnya makanan masuk ke jalur yang seharusnya.
"Terima kasih ya, Bu Lala," ucap Aldo. Dia bersyukur karena Lala tidak bertanya lebih jauh tentang kerumitan dalam keluarganya.
***
Lala memandangi soal-soal olimpiade biologi yang keluar dari printer jadulnya sambil melamun. Dia teringat akan kejadian kemarin saat dirinya membuntuti Aldo sehingga akhirnya tak sengaja mengetahui sisi gelap kehidupan muridnya itu.
Lala sempat mendengarkan beberapa pokok pembicaraan Aldo dengan ayahnya. Pria itu mendesak Aldo untuk pindah keluar negeri sementara Aldonya sendiri tidak mau. Lala bersedekap. Dia tidak menyangka, muridnya tersebut ternyata memiliki permasalahan keluarga yang rumit. Mungkinkah itu yang membentuk karakternya menjadi seperti sekarang?
"Dito ngajak balikan," ucap Nadia. Sahabat dan teman kuliahnya yang murtad jadi pegawai bank itu tiba-tiba memulai curhat.
"Menurutmu gimana, La, terima nggak ya?"
Lala mendengus. "Tolak! Mau sampai berapa kali kamu kuat diselingkuhi dia."
Nadia mengangguk-angguk bersemangat. "Ya, aku juga nggak mau terus-terusan pacaran sama cowok tukang selingkuh macam dia. Ini statusnya masih pacar aja kayak gini, gimana nanti kalau nikah!"
Lala memicingkan mata. Dia tidak percaya Nadia bakal benar-benar mengambil keputusan itu. Lala tahu benar bagaimana Nadia dan pacarnya itu. Mereka sudah menjalin hubungan sejak masih di bangku kuliah. Putus-nyambung sudah ratusan kali dengan alasan yang sama, Dito selingkuh. Setelah peristiwa itu biasanya mereka akan bertengkar untuk paling lama dua minggu. Setelah itu dengan jurus-jurus sok menyesal dan drama tidur di depan pintu kos, Nadia akan memaafkannya. Lagi, lagi, dan lagi. Lala sampai capek sendiri melihatnya.
Nadia selalu mengatakan bahwa dia mencintai Dito, tapi Lala sesungguhnya menyangsikan hal itu. Mungkin Nadia hanya tidak siap jika dia harus ke acara kondangan tanpa pasangan, atau setidaknya Dito bisa menjadi tameng dari keluarganya jika ada yang tanya kapan dia menikah. Lala tahu Nadia lebih takut sendirian ketimbang takut kehilangan Dito.
Lala mengambil kertas-kertas bawah meja lalu merapikannya dan memasukkannya ke dalam printer. Lala sendiri dia tidak terlalu mempermasalahkan status jomblonya. Lala suka sendirian. Bukannya tak tertarik pada romantisme, Lala juga pernah beberapa kali berkencan, tapi berhenti tatkala dia menyadari tak ada satupun pacarnya yang memiliki satu visi dengannya. Beberapa cowok yang menjalin hubungan dengannya dulu hanya berpikir untuk bersenang-senang, sementara Lala ingin lebih dari itu. Lala ingin mereka ikut memikirkan abahnya yang sudah tua dan sakit-sakitan dan juga hutang pada tengkulak yang tidak sedikit. Sayangnya, tak ada satupun pria yang bertahan untuk melakukan hal itu. Hingga akhirnya Lala memutuskan untuk berteman dengan kesendirian saja. Toh, jomblo itu tidak semenderita apa yang sering diucapkan meme di i********:. Setelah lebih dari enam bulan menjomblo, maka kamu akan sadar bahwa ternyata bunga pun tak layu dan langit masih biru.
Akan tetapi kadang kala Lala juga harus menghela napas jika sudah mengobrol dengan ibunya yang suka menyinggung-nyinggung tentang pernikahan seseorang di desa mereka, atau tentang betapa lucunya anak tetangga. Dua puluh tujuh, itulah usianya sekarang. Kalau di desa, dia sudah disebut-sebut sebagai perawan tua karena rata-rata usia menikah di sana adalah dua puluh tahun. Perlukah dia berupaya mencari pasangan hidup sekarang? Atau menikmati kesendiriannya saja.
Lala memasukkan lembaran soal yang baru dicetaknya ke dalam map lalu memasukkannya ke dalam plastik. Dia melirik jam dinding yang menunjukkan pukul setengah enam pagi. Dia harus mengejar bus untuk sampai di sekolah sebelum jam setengah tujuh. Maka gadis itu pun berpamitan pada Nadia, kemudian berlalu dengan buku-buku dan tas kulit di tangan. Setelah melangkah ke depan halte, ada satu bus yang kebetulan lewat. Lala menaiki bus sambil celingukan. Tak ada tempat duduk lagi untuknya Bu sudah terlalu sesak.
"Selamat pagi Bu Lala."
Lala menoleh saat mendengar sapaan itu. Dia tertegun saat mendapati mantan gurunya, Pak Faris berdiri di belakangnya dengan senyuman menawan. Sudut bibir Lala pun terangkat, dia membalas sapaan pria itu dengan ceria.
"Selamat pagi, Pak Faris."
Kedua guru itu bercengkrama dan mengobrol dengan akrab. Mereka tak tahu bahwa di bangku pojok belakang ada Aldo yang menatap mereka dengan tajam. Karin duduk persis di sebelah cowok itu. Karin memandangi ekspresi Aldo yang tampaknya kesal lalu berpaling kedua guru di depan mereka. Gadis itu meremas roknya dengan tangan gemetar.
***