Adit sudah sampai di depan sekolah jam enam lebih lima belas menit. Sebagai ketua OSIS dengan prestasi gemilang, dia memang cukup rajin. Dari halte di seberang jalan dia melihat sebuah bus berhenti. Dari sana turunlah Aldo, si anak berandalan. Kakak kelasnya yang kini jadi teman seangkatan karena cowok itu nggak naik kelas sampai dua kali ketika kelas dua.
Adit terdiam sejenak memandang most wanted boy di sekolahnya tersebut. Dia tidak habis pikir, apa sesungguhnya yang membuat orang itu begitu dipuja banyak gadis. Apa emang karena cewek-cewek itu lebih tertantang dengan predikat bad boy. Apa coba bagusnya bad boy? Mereka hanya bisa berkelahi, masa depan juga nggak jelas, bukannya good boy kayak dia gini harusnya lebih populer? Adit mencebik ketika mengingat bagaimana teman-teman cewek sekelasnya dulu justru bahagia saat mendengar Aldo nggak naik kelas lagi. Karena itu artinya mereka jadi punya waktu lebih lama untuk memandangi wajah gantengnya. Cuih! Dasar cewek-cewek nista.
Adit terdiam sejenak ketika melihat seorang cewek yang turun persis di belakang Aldo. Itu Karin, cewek dari kelas sebelah. Cewek yang akan jadi partnernya di olimpiade Biologi nanti. Sudah lama sesungguhnya Adit menyimpan rasa kagum pada cewek itu. Ketika Adit hendak menyapa cewek itu, dia terbelalak menyaksikan Karin menggandeng tangan Aldo saat mereka menyebrang jalan.
What the hell! Ngapain pegang-peganan tangan segala!!!
Adit ingin menjerit keras. Kok bisa bidadari yang sudah lama menjadi incarannya itu malah gandengan tangan sama cowok b******k itu!
"Kemarin kamu pulang sendirian nggak apa, kan?" tanya Aldo. Dua orang itu kini berada persis di depan Adit tapi tak memedulikannya bak kacang goreng.
Karin hanya melenggut. "Makasih, Aldo."
Sudut bibir Aldo terangkat. "Kalau ada apa-apa, kasih tahu aku ya." Cowok itu mengusap-usap kepala Karin lalu melangkah pergi. Adit memandangi Karin yang bersemu merah sembari memegangi rambutnya.
Sialan si Aldo! Sialan!
"Pagi, Karin." Adit berdeham-deham lalu menyapa gadis itu.
Gadis manis itu menoleh lalu tersenyum dengan wajahnya yang menawan. "Halo, yang kemarin mau ikutan kelas olimpiade ya, maaf, siapa namanya, aku lupa."
Adit serasa ditampar. Dia ini ketua OSIS loh. Masa Karin bahkan nggak inget namanya!
"Adit," jawab cowok itu sambil menyunggingkan senyuman palsu untuk menutupi kejengkelannya.
"Oh ya, Adit. Kamu sekelas sama Aldo ya," ucap Karin. Wajahnya sungguh cerah ceria hanya dengan mengucapkan nama Aldo.
Adit tersenyum kecut, hanya itu yang ingat Karin dari dirinya. "Teman sekelas Aldo."
"Ya, barusan aku lihat kamu bareng Aldo. Kalian pacaran?"
Adit sungguh berharap Karin menjawab tidak. Tapi cewek itu malah tersipu-sipu sambil mengucap, "Maunya sih begitu."
Maunya sih begitu? Jadi bukan ya? Huh! Dasar Aldo tukang PHP! Adit mengumpat tapi tak urung tersenyum juga. Itu artinya dia masih ada kesempatan menunjukkan pesonanya di depan Karin.
"Masih PDKT?" kejar Adit, masih kepo.
"Aku nggak tahu, semoga nggak friend zone," ucap Karin sembari memperlihatkan giginya yang mungil tatkala tersenyum.
"Kok bisa sih kamu deket dia?"
Karin terpegun, entah bagaimana wajahnya berubah menjadi pias. "Aku duluan ya, Dit," ucapnya lalu menjauh menuju kelasnya sendiri. Adit terdiam. Apa itu barusan?
"Adit!"
Sebuah panggilan membuat Adit menoleh, rupanya ada Bu Lala dan Pake Faris, gurunya yang berdiri di belakang cowok itu. Maka Adit pun menyapa mereka dengan hormat selayaknya murid teladan.
Bu Lala tersenyum lalu memberikan dua bendel kertas padanya. "Ini soal-soal untuk bimbingan nanti, tolong satunya berikan pada Karin ya."
"Ah, Baik, Bu."
"Saya duluan ke ruang guru ya, Bu Lala."
"Oh ya, silakan, Pak, saya mau mengobrol dengan Adit sebentar," ucap Lala.
Pak Faris tersenyum kemudian berlalu. Adit memandangi guru biologinya itu dengan penasaran, apa lagi yang mau dibicarakan wanita ini?
"Dit, apa kamu kenal dekat dengan Karin?" tanya Lala dengan serius.
"Sebenarnya baru kemarin kami mengobrol," aku Adit.
Lala tampak menghela napas. Dia lalu meletakkan kedua tangannya pada bahu Adit. "Tolong kamu jaga dia ya, jangan sampai Aldo melecehkan dia," tegas Lala.
***
Istirahat siang itu ada telepon masuk dari ibunya ketika Lala tengah mengoreksi tugas murid-muridnya.
"Assalamualaikum, Nduk," sapa wanita itu riang.
"Waalaikumsalam, Bu, wonten napa kok telepon?" (Ada apa kok telepon)
"Mosok Ibu Ndak boleh telepon kamu kalau nggak ada urusan." Suara ibunya tampak berdalih, tapi Lala tahu pasti wanita yang melahirkannya itu tidak mungkin meneleponnya hanya untuk sekedar say hello.
"Nduk, kapan to calonmu dibawa ke rumah?"
Lala tertawa kering, dia sudah menduga urusan ibunya tidak jauh-jauh dari malah ini.
"Belum ada, Bu," jawab Lala jujur.
Terdengar helaan napas dari sang ibu. "Nduk, kamu itu sudah pitu likur (dua puluh tujuh tahun) lho! Mau nunggu apalagi? Yanti temen SD-mu itu lho anaknya sudah empat."
"Ya, Yanti kan nikah pas lulus SD, Bu," dalih Lala.
"Ibu sudah capek, Nduk dengar-dengar bisik-bisik tetangga sini. Mbok yo kamu itu berusaha cari pacar gitu lho! Supaya kamu tuh nggak dianggap perawan tua. Isin, Nduk, Ibumu ini. Anak perawan satu belum nikah juga."
Lala mengerucutkan bibir. Tak tahu harus menjawab apa.
"Nduk, kamu mau nggak kenalan sama Mas Joko dari kampung sebelah itu? Katanya dia lagi cari istri lho, Nduk."
Lala membayangkan si babang Joko yang disebutkan oleh ibunya. Lala mengenal pria itu. Jurangan beras di kampung sebelah. Lelaki umur tiga puluh delapan tahun yang menduda dengan rambut agak pitak dan perut tambun. Jauh dari oppa-oppa Korea yang menjadi idaman Lala. Dia pernah memergoki pria itu ngupil dan di tempelkan di dinding warungnya sambil menggaruk-garuk isi sarungnya. Lala segera bergidik, tetapi demi menyenangkan hati ibunya dia mengiyakan saja.
"Ya wis, Nduk, nanti kalau kamu rawuh tak kenalke ya."
Lala meringis sambil menjawab, "Inggih." Yang pasti dia tidak akan pulang dulu sampai ibunya lupa dengan perjanjian mereka ini.
Setelah telepon berakhir Lala langsung lemas. Sepertinya dia harus segera mencari pacar sebelum ibunya bertindak aneh-aneh. Tapi siapa coba? Nggak ada cowok yang menarik perhatiannya sekarang ini. Seandainya saja ada orang yang bisa disewa baru satu dua hari ke rumah untuk mengelabuhi ibunya.
"Bu Lala, nggak makan siang?" sapaan Pak Faris dari meja sebelah menyadarkan Lala dari lamunannya.
Gadis itu tersenyum dan menggeleng. "Duluan saja, Pak, masih ada yang harus saya periksa."
"Oh gitu, ya sudah saya ke kantin dulu ya, Bu." Pria itu berpamitan lalu melangkah pergi.
Lala termenung memandangi punggung Pak Faris yang menjauh. Guru olahraga itu punya punggung yang lebar. Kira-kira apa dia sudah punya istri belum ya? Lala jadi kepo. Wajah teduhnya itu benar-benar tipenya. Lala menggeleng-geleng lalu memeriksa tugas kembali, kali ini yang diperiksanya tugasnya Aldo. Lala tertegun melihat hasil pekerjaan Aldo yang diluar dugaannya. Semua jawaban Aldi benar.
"Anak ini pasti nyontek, kan?" ucap Lala sembari memicingkan mata. Dia lalu bangkit dan meraih microphone dan mengumandangkan nama pemuda itu. "Aldo Putra S, harap ke ruang guru sekarang juga."
Tak lama kemudian. Cowok yang yang dipanggilnya itu muncul juga sambil cengengesan tanpa dosa.
"Ada apa nih, Bu, panggil-panggil saya? Kangen ya?" rayu Aldo.
Lala mendelik lalu menyodorkan tugas Aldo. "Kamu nyontek sapa?" tuduhnya langsung.
"Saya nggak nyontek, Bu, biologi itu keahlian saya, terutama bab perkembangbiakan manusia," cengir Aldo.
"Jangan ngacoh kamu!" geram Lala.
"Kalau begitu coba tes aja," tantang Aldo.
Lala memicingkan mata lalu berkata, "Fertilisasi antara makrogamet dan mikrogamet Plasmodium penyebab malaria berlangsung di mana?"
"Lambung nyamuk," jawab Aldo santai.
Lala membelalak, tak menyangka Aldo bisa menjawab pertanyaannya. Dia pun melanjutkan, barang kali Aldo asal tebak saja.
"Warna kuning coklat pada feses manusia disebabkan zat apa?"
"Urobilin."
Lala tercengung. Dia lalu melontarkan pertanyaan-pertanyaan lain yang lebih sulit dan bisa dijawab dengan benar oleh Aldo. Lala tak menyangka, seharusnya cowok ini ikut mewakili tim dalam olimpiade biologi juga. Aldo tersenyum puas melihat Lala yang terbengong-bengong.
"Apa Ibu pikir saya ini hanya bisa bikin onar?" tanya Aldo.
"Kalau kamu bisa sepintar ini harusnya kamu sudah lulus bukannya ngendong di sini sampai lima tahun," ucap Lala.
Aldo tertawa. "Guru-guru di sini terlalu mencintai saya, Bu, mereka nggak rela kalau saya lulus."
***