Cinta Tak Bermata 3

1153 Words
Ruslan pulang setelah berkeliling restoran ditemani Lusi. Wanita itu akhirnya bisa bernapas lega karena apa yang ia takutkan tak menjadi kenyataan. "Aku nggak mungkin sembunyiin status aku sama Soni dari Pak Ruslan, selamanya. Suatu saat, beliau pasti tahu. Gimana juga Soni butuh restu orang tuanya buat nikahin aku. Argh, gimana kalau hubungan kami nggak direstui?" Lusi mengacak-acak rambutnya menggunakan kedua tangannya. "Tapi ... bukannya wajar kalau hubungan ini nggak direstui. Soni sama aku beda kasta, beda usia pula. Haaa ... Lusi, kamu kenapa, sih? Bisa-bisanya jatuh cinta sama anak bos." Wanita itu kembali mengacak-acak rambutnya. Ia memang mencintai Soni dan berharap bisa menjadi istri Soni suatu saat nanti. Namun, ia memiliki firasat buruk kalau hubungannya akan ditentang oleh ayah Soni-Ruslan. Beberapa saat kemudian, suara ketukan pintu membuat Lusi segera merapikan rambutnya. Wanita itu lalu berdeham beberapa kali sebelum akhirnya bersuara. "Masuk." "Permisi, Bu. Di depan, ada yang nyari Ibu." Tina masuk dengan mimik wajah yang terlihat gusar. "Siapa?" tanya Lusi penasaran, ia langsung beranjak dari tempat duduknya dan berjalan menuju ke pintu. "Yang kemarin ke sini, yang bikin ribut kemarin. Mantan pacar Ibu." Lusi membulatkan matanya. "Samuel?!" Wanita itu lalu berjalan dengan langkah cepat. Ia tahu mantan pacarnya itu pasti akan membuat keributan jika ia tak segera muncul. Benar saja, Samuel tengah bersitegang dengan para petugas keamanan. Seperti yang Soni minta, pria itu memang tidak diperbolehkan masuk restoran karena sudah membuat orang. Selain itu, Soni juga tak ingin wanita yang kini sudah menjadi kekasihnya harus bertemu dengan masa lalunya. "Kamu apa-apaan, sih, Sam? Aku kan udah bilang, jangan temuin aku lagi!" Lusi langsung berteriak pada mantan kekasihnya itu. Ia tak peduli jika ada banyak orang yang melihat. Pikirannya sedang kacau karena ia takut hubungannya dengan Soni tak direstui Ruslan, dan sekarang Samuel datang membuat onar. "Aku cuma mau ketemu kamu. Aku masih cinta sama kamu, Lusi." Samuel berbicara dengan nada tinggi, ia ingin semua orang yang ada di situ tahu kalau ia masih mencintai Lusi. Lusi berdecak kesal. "Nggak usah gila! Seret dia keluar dari sini!" perintah Lusi pada para satpam. Kedua pria yang mengenakan seragam petugas keamanan itu langsung memegang lengan Samuel dan berniat membawa pria itu pergi. Samuel mengibaskan kedua tangannya, menolak perlakuan kasar dari kedua satpam itu. "Lepas!" teriaknya. Ia lalu memandangi Lusi dengan tajam. "Aku akan terus dateng sampe kamu mau maafin aku." Samuel lalu pergi dengan perasaan kesal. Ia memang masih memiliki hati untuk Lusi, ia bersungguh-sungguh ingin meminta maaf dan kembali pada sang mantan. Namun, kesalahannya di masa lalu bukanlah kesalahan ringan yang bisa Lusi lupakan begitu saja. Lusi mengetatkan rahangnya, tangannya mengepal sambil memandangi Samuel yang pergi dengan langkah kasar. "Kalau dia ke sini lagi, usir saja." "Baik, Bu," sahut para satpam itu dengan kompak. Lusi lalu melepas kepalan tangannya, ia mengembuskan napas panjang. "Maaf," ucapnya lirih. Para satpam dan beberapa pelayan menatapnya dengan tatapan bingung. "Maaf karena aku kalian jadi kena imbasnya. Aku nggak seharunya bawa urusan pribadi ke tempat kerja." Semua orang menggeleng cepat. "Nggak, Bu. Ini bukan salah Ibu, ini jelas salah Mas yang tadi," ucap salah satu satpam. Lusi memejamkan matanya sesaat. "Terima kasih buat pengertian kalian. Apa aku bisa minta kalian kumpul di dapur? Sebentar aja?" tanya Lusi. Semua orang saling bertatapan, lalu mengiyakan permintaan sang manajer restoran itu. "Baik, Bu." Semua pelayan dan satpam berkumpul di dapur sesuai perintah Lusi. Kebetulan restoran sedang sepi, ia ingin mengumpulkan para pekerja di restoran itu untuk klarifikasi. "Maaf karena aku udah nyita waktu kalian." Lusi mulai berbicara, semua orang menatapnya dengan diam. "Aku tahu aku bukan manajer yang baik di sini. Tapi, ... aku mau minta tolong sama kalian. Tolong ... tolong jaga bicara kalian saat di depan pelanggan, apalagi di depan Pak Ruslan." Lusi menjeda ucapannya, ia mengambil napas panjang beberapa kali. "Aku tahu kalian semua jadiin hubungan aku dengan Pak Soni sebagai bahan gosip kalian. Aku nggak sepenuhnya menyalahkan kalian, di sini aku juga salah. Nggak seharusnya kami, maksud aku, aku dan Pak Soni, seperti itu di tempat kerja." Semua orang masih diam mendengarkan. "Aku akan kembaliin ponsel kalian, aku minta maaf karena udah marah-marah sama kalian. Tapi, sekali lagi aku minta tolong, tolong ... jangan sampai kalian bergosip di depan pelanggan, apalagi di depan Pak Ruslan. Kalian paham?" "Baik, Bu." Para pelayan menjawab dengan suara yang terdengar loyo. Mereka merasa malu dan tak enak hati pada Lusi yang selama ini sudah baik kepada mereka. "Baiklah. Terima kasih atas pengertian kalian." Lusi tersenyum ringan. "Dan satu lagi, maaf kalau kalian harus berhadapan dengan mantan pacarku. Ehm ... pokoknya, aku minta maaf karena aku nggak bisa jadi manajer yang baik buat kalian." Lusi menundukkan kepalanya, meminta maaf dengan tulus. "Kami juga minta maaf sama Ibu," ucap Tina dengan suara lantang, para pelayan lain ikut menyahut. "Iya, Bu. Kami juga minta maaf." Lusi tersenyum malu, ia mengangguk beberapa kali sebelum akhirnya mempersilakan para bawahannya itu bubar. . Soni segera ke restoran setelah kelas paginya selesai. Sampai kelas berikutnya, ia memiliki waktu yang cukup panjang untuk datang ke restoran. Pria itu tiba di restoran tepat ketika kondisi restoran sedang ramai. Lusi sedang sibuk mengecek laporan keuangan di dekat meja kasir, Soni menghampirinya. "Pagi," sapanya lirih, tak lupa ia tersenyum demi menggoda sang kekasih. Lusi mengangkat pandangannya, ia sedikit terkejut melihat kedatangan Soni. Matanya membulat sempurna. "Kamu nggak mau jawab? Mau aku pecat?" ledek Soni. "Siang, Pak." Lusi menjawab dengan ketus. "Ibu belum siang, belum ada jam 12." Soni tak mau kalah. Lusi melirik pada pelayan di sebelahnya yang hari ini bertugas sebagai kasir. Ia malu karena Soni tampak sengaja menggodanya. Lusi tersenyum kecut. "Apa Bapak nggak ada kuliah? Kenapa ke sini jam segini?" tanya Lusi basa-basi. "Bukannya kamu yang minta aku ke sini? Kamu bilang kangen pengen ketemu." Soni sengaja menggoda Lusi, beberapa pelayan yang mendengar tertawa lirih karena ulah bosnya itu. Soni memang sengaja ingin membuat pacarnya salah tingkah. Lusi tercengang. Wanita itu segera berdiri dan menyeret Soni pergi menjauh dari keramaian. "Kamu gila? Kapan aku bilang aku kangen sama kamu?" Soni menyeringai. "Jadi, kamu nggak kangen sama aku? Ya udah, aku pergi deh." Soni melangkah pergi, meninggalkan Lusi begitu saja. Lusi mengejar Soni lalu menghadang langkah pria itu. "Kamu serius mau pergi lagi?" "Iya." "Nyebelin banget, sih!" "Kamu bilang nggak kangen sama aku." "Maksud aku, aku kan tadi nggak nyuruh kamu dateng karena aku kangen." Lusi menekuk wajahnya. "Kan? Ya udah, aku pergi." Soni melangkah pergi sambil menahan senyum. "Ayah kamu tadi ke sini." Lusi memekik, Soni menghentikan langkahnya. Ia menoleh pada sang kekasih. "Kenapa Ayah ke sini?" tanyanya curiga. "Cuma ngecek kondisi restoran aja, sih." Soni mengangguk, Lusi mengembuskan napas panjang. "Gimana kalau Pak Ruslan nggak restuin hubungan kita? Apa kamu tetep akan lanjutin hubungan ini?" tanya Lusi dengan suara lirih. Soni melangkah mendekati kekasihnya. "Kamu takut? Kamu takut hubungan kita nggak dapet restu?" tanyanya yang juga menggunakan suara lirih. Lusi mengangguk. Soni membelai rambut Lusi. "Aku akan perjuangin hubungan kita. Asal kamu juga masih mau bertahan di sisi aku." Bersambung...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD