Cinta Tak Bermata 2

1029 Words
Seperti maling yang ketangkap basah, Lusi merasa malu setengah mati. "Gimana bisa mereka lihat video Soni cium aku? Argh!" Wanita itu telah kembali ke ruangannya setelah berteriak pada beberapa pelayan yang kepergok bergosip tentangnya. Lusi menyita ponsel semua pelayan itu dan tengah memikirkan hukuman apa yang tepat untuk mereka. "Kemarin kan aku udah kasih peringatan buat nggak ngegosip aja kerjaannya. Apa mereka seneng jadiin aku bahan gosip mereka?" Lusi mondar-mandir di ruangannya. Ia memutar otaknya, berkali-kali memikirkan cara yang tepat untuk mendisiplinkan para pelayan itu. Saat itu, Lusi berpikir untuk menghubungi Soni. Ia ingin meminta pendapat pada pria itu mengenai hukuman yang akan ia berikan pada pelayan. Ketika ia melihat ponselnya, ia baru tahu kalau beberapa saat yang lalu Soni meneleponnya. "Kok aku nggak tahu? Apa pas aku di gudang tadi?" celetuknya. Lusi menelepon Soni. Sayangnya, Soni sedang kuliah, ia tengah mendengarkan dosennya mengajar di kelas. Pria muda itu terpaksa menolak panggilan dari sang pacar. Namun, segera ia mengirim pesan pada Lusi. [Kenapa? Aku kuliah.] Lusi membaca dan lalu membalasnya. [Lihat, para pelayan gosipin kita. Video kita ciuman di gudang kesebar entah gimana caranya. Aku bingung harus hukum mereka gimana.] Lusi lalu mengirim video di mana ia dan Soni yang tengah berciuman di gudang ke nomor Soni. Pria itu menahan tawa sesaat setelah ia melihatnya. Lalu segera ia membalas pesan Lusi secara diam-diam, ia tak ingin dosen tahu kalau ia sibuk bertukar pesan dengan pacarnya. [Selesai kelas ini aku ke sana.] Soni lalu memasukkan ponselnya ke dalam saku celananya. Ia tersenyum senang, ia membayangkan betapa manisnya wajah Lusi saat ini. "Dia pasti malu, kenapa heboh banget sampe mau hukum? Lagian apa salahnya mereka lihat video itu. Apa aku perlu cium Lusi di depan mereka?" batin Soni dengan senyum yang mengembang di wajahnya. Matanya menatap kosong ke depan kelas, bukannya fokus mendengar kuliahnya, ia malah sibuk membayangkan Lusi di benaknya. Lusi memekik setelah membaca pesan Soni. "Ngapain ke sini? Emang udah nggak kuliah lagi? Duh, canggung banget pasti rasanya kalau kami harus berhadapan sama para pelayan." Lusi jatuh dalam lamunannya. Ia sibuk memikirkan hal yang tidak-tidak, hal yang sama sekali tak ia harapkan. Sebuah ketukan pintu membuat Lusi terbangun dari lamunannya. "Masuk," ucapnya, ia pikir pelayan atau koki yang mengetuk pintu ruangannya. Ketika pintu itu terbuka, sesosok pria yang wajahnya sudah dipenuhi keriput dan rambut beruban muncul. Pria itu tak lain adalah pemilik restoran sekaligus ayah Soni. Lusi terkejut, mulutnya terbuka sesaat. Ia lalu mengangguk mengucapkan salam. "Selamat pagi, Pak. Tumben Bapak ke sini? Ada yang bisa saya bantu?" tanya Lusi yang langsung mempersilakan pria tua itu duduk. Pria itu tersenyum. "Memangnya aku nggak boleh dateng ke sini? Ada larangan pemilik restoran nggak boleh kunjungi restorannya?" Dengan nada bergurau, pria tua itu meledek Lusi. Lusi salah tingkah. Jarang sekali pemilik restoran itu datang berkunjung. Ia berpikir mungkinkan ia melakukan kesalahan. Seketika matanya membulat, bibirnya membentuk huruf O. "Astaga, Pak Ruslan ke sini bukan karena video itu kan? Apa mungkin dia nggak setuju karena aku sama anaknya pacaran? Apa dia ke sini buat pecat aku?" Lusi sibuk dengan spekulasi yang ia buat sendiri. Lusi gugup, ia memainkan jemarinya karena perasaan gugupnya itu. Ruslan, selaku pemilik restoran dan ayah pacarnya itu duduk di bangku kerjanya. "Aku ke sini cuma mau lihat-lihat aja. Apa Soni kerja dengan bagus? Selama ini dia cuma anak manja, aku takut kamu harus bekerja ekstra karena dia." Ruslan memang belum tahu apa yang sudah terjadi di restoran itu. Soni dan Lusi pacaran? Tentu saja ia tak tahu. Ia ke restoran hanya untuk mengecek secara rutin, anggap saja sebagai inspeksi dadakan. Dengan begitu, ia bisa melihat kondisi restoran yang sesungguhnya. Lusi akhirnya bernapas lega karena pemilik restoran itu berkunjung ke restoran bukan karenanya. "Pak Soni cukup bagus dalam bekerja, beliau jarang membuat saya repot." "Artinya dia pernah buat kamu repot, iya kan?" Lusi dan Ruslan akhirnya tertawa bersama. Ruslan tahu kalau Lusi sangat profesional, kinerja wanita itu sudah ia buktikan sejak hari pertama kerjanya. "Kalau dia buat masalah, segera lapor. Aku akan beri dia hukuman. Selama ini dia cuma jadi anak manja, cuma sibuk main-main aja. Aku harap kamu bisa bantu dia buat urus restoran ini dengan baik." Lusi mengangguk pelan sambil tersenyum ringan. Ia tampak seperti orang bod0h saat ini. "Baik, Pak." Ruslan beranjak dari tempat duduknya. "Saya mau keliling lihat restoran, kamu bisa lanjutin kerjaan kamu. Nggak usah peduliin aku, aku akan pulang setelah berkeliling." Ucapan Ruslan barusan seperti bom waktu bagi Lusi. Ia begitu takut kalau para pelayan akan membuka mulutnya dan memberi tahu tentang apa yang sudah terjadi antara dirinya dengan Soni. "Biar saya temenin, Pak!" Lusi memekik sempurna, membuat Ruslan yang baru saja berdiri itu tersentak kaget. Ruslan melambaikan tangannya. "Nggak perlu, aku bisa sendiri. Kamu silakan kerja lagi, aku nggak mau nyita waktu kamu. Aku cuma keliling sebentar aja, aku nggak akan marahin kamu. Aku tahu kinerja kamu, Lusi." Lusi meringis. "Saya bisa luangin waktu saya sebanyak yang Bapak mau. Bapak bilang cuma sebentar 'kan? Saya akan temenin, mari, Pak." Lusi membukakan pintu, membuat Ruslan merasa bingung. Namun pria tua itu akhirnya menurut saja, ia berkeliling restoran dengan ditemani Lusi. Sepanjang Lusi dan Ruslan berkeliling, semua pelayan mendapat tatapan mengerikan dari Lusi. Manajer restoran itu seolah memberi ancaman pada mereka agar tak membuka mulut mereka tentang hubungannya dengan Soni. "Bagaimana dengan stok bahan makanan, apa kamu bisa dapetin bahan yang bagus?" tanya Ruslan. "Saya terpaksa mengganti pemasok beras, Pak. Seperti yang saya laporkan terakhir kali, kualitas berasnya berbeda, tak seperti dulu lagi," terang Lusi pada bosnya. Ruslan mengangguk. "Pokoknya kualitas bahan makanan itu nomor satu. Jangan sampai ada keluhan buruk, itu bisa mempengaruhi nama baik restoran." "Baik, Pak." Lusi mengangguk sambil menipiskan bibirnya. "Saya percaya sama kamu." Ruslan menepuk bahu Lusi lalu keduanya tersenyum. Jantung Lusi seakan sedang naik roller coaster. Ia begitu gugup di hadapan bosnya itu. Tak biasanya ia gugup, ia selalu bekerja secara profesional. Namun, siapa sangka kalau ia akan memiliki hubungan dengan anak bosnya itu. "Apa Pak Ruslan akan menentang hubungan kami kalau dia tahu? Bagaimanapun, aku cuma karyawan di sini. Nggak akan sebanding dengan keluarganya. Dan aku ... lebih tua dari Soni, aku takut hubungan kami nggak direstui," batin Lusi sambil melihat Ruslan yang sibuk mengamati restoran. Bersambung...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD