BAB 4

1328 Words
Jemari lentik tengah memasang dan merapikan dasi berwarna hitam di leher pria yang tinggi dan sudah terlihat rapi dan tampan. Ciuman hangat di bagian kening mendarat cukup lama. "Sayang, sudah saatnya berangkat." Marisa mengingatkan Indra untuk segera berangkat. Indra bergeming dan malah mencium kening Marisa lama serta memperhatikan tubuh istrinya. "Bunda pakai baju dulu. Sadar nggak bikin sesuatu terbangun lagi di bawah sana!" "Ya gimana Bunda mau pakai baju? Orang dari tadi siapin baju Ayah, siapin perlengkapan Ayah, isi koper sama pasangin dasi Ayah," sanggah Marisa. "Bunda seksi!" Indra meregangkan dasi yang telah dipasang Marisa. "Hey! Kenapa dasinya dibuka?” Marisa menahan tangan Indra. "Mau lagi!" rengek Indra. "Sudah siang, Sayang. Bunda belum bikinkan Ayah sarapan. Nanti Ayah kelaperan gimana? Nggak fokus nyetir gimana? Kan Pak Sopir mau antar Bunda ke Bandung." Marisa mencoba menahan Indra. "Salah Bunda terlalu seksi, please!" Indra memohon dan memeluk tubuh Marisa. "Ayah sarapan di jalan saja, nanti mampir ke restoran cepat saji. Bunda nggak usah capek-capek masak.” Indra mengangkat tubuh Marisa dan merebahkannya di atas kasur. "Sudah rapi begitu masa harus mandi lagi, Ay!" Marisa pasrah dan tidak protes saat Indra membuka handuk yang membalut tubuh indahnya. Indra segera mengecap dan memberikan tanda kepemilikan lagi. "Tapi Ayah berangkat sama Pak Sopir aja, yah! Bunda khawatir Ayah lapar terus gagal fokus saat mengemudi. Please!"  "Iya. Awas Bunda hati-hati bawa mobil ke Bandungnya, ya. Telepon kalau udah sampai." Indra kembali menenggelamkan wajah di gunung kembar milik Marisa. "Au … pelan, Sayang!" Marisa sedikit menjerit saat Indra menerobos masuk. Bajunya entah kapan sudah terbuka. "Ba-baju … Ay-Ayah. Sudah rapi kusut lagi!" Marisa berbicara terbata-bata saat Indra sibuk memompa miliknya. Marisa meremas seprai. Menahan tubuhnya yang ikut bergerak naik turun mengikuti lonjakan Indra. "Ada banyak baju yang lain. Bunda nggak keberatan kan beresin lagi?” Indra memegang pinggang istrinya dengan erat, memberi lonjakan agak kuat. “Nggak … pa-pa, Ay!" Mata Marisa terpejam, merasakan miliknya dihantam dengan kuat oleh Indra. Seprai kini sudah tidak beraturan. Baju Indra dan Marisa sudah berhamburan ke mana-mana. Suara desahan demi desahan mengudara. Keringat kembali membasahi tubuh keduanya. "Sudah siang, Ay!" Marisa mengingatkan Indra yang sudah saatnya berangkat. "Tunggu. Ini belum cukup untuk pembekalan Ayah selama satu minggu!" Indra terus memompa lebih cepat. Sesekali menghisap gunung kembar Marisa. "Au … tanda kepemilikan Ayah di da-da barusan terasa sakit!” Marisa mengusap bagian kulitnya yang berubah menjadi merah. "Maaf, Sayang! Kamu begitu nikmat!” Marisa mengusap lembut pipi Marisa tanpa mengurangi energi hantamannya. Sesuatu cairan yang terasa hangat dan kental telah menyembur dan memenuhi rongga inti Marisa. "Cukup, Ayah!" bisiknya. Indra melepas pautan mereka. Ia mengecup pipi Marisa singkat dan pergi ke toilet untuk membersihkan diri. Marisa memakai baju daster pendek dan tidak menggunakan pakaian dalam. Ia bergegas memilih baju untuk dikenakan Indra. Setelah itu, ia turun dan segera membuatkan sarapan. Tidak tega rasanya membiarkan Indra makan makanan cepat saji di luar yang belum tentu higienis. Indra tidak menemukan keberadaan Marisa saat ia sudah selesai mandi. Melihat baju baru di atas kasur, ia langsung mengenakannya. Ia meraih koper dan membawa semua perlengkapannya turun, lalu mencari keberadaan Marisa di dapur. "Bunda masak?" tanya Indra sambil melingkarkan lengan ke perut Marisa. Dengan manja, ia menyandarkan dagu di pundak sang istri. “Nggak rela Ayah makan masakan cepat saji di luar yang belum tentu higienis!" jawab Marisa. "Baik sekali istri Ayah!” Indra mengecup pipi Marisa singkat. Marisa menuangkan nasi goreng ke piring. Ia menyuapi Indra yang sibuk dengan ponselnya karena memberi kabar bahwa dia berangkat agak telat. Indra mengunyah nasi goreng itu dan melirik ke arah bagian tubuh sang istri. "Bunda bikin Ayah gagal fokus lagi!” Indra memperhatikan sesuatu. "Kenapa lagi, Ay? Buka mulutnya, aaa ….” Marisa mendekatkan sendok berisi nasi goreng ke mulut Indra. "Bunda nggak pakai pakaian dalam, ya?” Indra mendekat dan menyusupkan tangan ke baju daster Marisa yang dibeli dari Jogjakarta. "Sesuatu yang di tengah dan berwarna cokelat terlihat menyundul ke bagian depan. Kelihatan sangat jelas, jadi ayah tahu Bunda nggak pakai pakaian dalam!” Indra meremas-remas gunung kembar milik Marisa. "Dasar m***m! Matanya itu dipakai buat lihat yang m***m-m***m aja, ya! Ayo buka mulut, ini sudah siang!" Marisa kembali menyuapi Indra. "Mata Ayah cuma dipakai melihat kemolekan tubuh istri Ayah aja. Nggak untuk melihat hal lain." Indra tertawa. "Fokus, Ay. Nggak cukup tadi kita melakukannya sudah beberapa kali? Malu Bunda kalau jalan ngangkang nanti di rumah Mama Rika!" "Maaf, Bunda!"  "Pokoknya Ayah harus ditemani oleh sopir. Perjalanan Ayah lebih jauh. Jangan membantah!” Marisa mengecup kening Indra. "Cium bibir dulu, baru Ayah nurut!" pinta Indra. Cup! Marisa mencium bibir Indra dengan singkat. "Udah sekilas aja. Nanti kalo lama Ayah nagih dan balik lagi ke kasur. Ujung-ujungnya nggak jadi berangkat!" "Oke, Bun. Oke!" Indra beranjak bangun dan merangkul Marisa. Ia membawa istrinya hingga ke pintu. "Kasih kabar kalau sudah sampai, ya!" Marisa mencium punggung tangan suaminya. "Bunda hati-hati dan jangan nakal selama Ayah nggak ada, ya!" "Siap, Ayah! Hati-hati di jalan.” Marisa memeluk tubuh Indra singkat. "Dah, Bun!” Indra melambaikan tangan dan duduk di bangku penumpang. "Kita berangkat, Pak. Istri saya jadinya bawa mobil sendiri ke Bandung." Pak sopir mengangguk. Setelah Indra pergi, Marisa bergegas menyiapkan barang-barang yang akan ia bawa ke Bandung. Ia membawa baju ganti untuknya dan untuk Indra karena Indra akan pulang ke Bandung untuk menyusulnya nanti. Tak lupa ia membeli oleh-oleh untuk Rika dan kakaknya, Divan.  Saat di perjalanan pulang ke Bandung menggunakan mobil yang biasa ia kendarai, mendadak di jalan yang sepi dan banyak pohon rindang, ada seorang pria yang berteriak meminta pertolongan. Marisa sedikit takut karena banyak modus orang yang berbuat kejahatan dengan berpura-pura meminta tolong. Ia merasa serba salah. Mau memberhentikan mobil di jalan sepi, takut orang itu memang orang jahat. Jika tidak berhenti lalu orang itu memang benar-benar memerlukan pertolongan dan mengancam jiwa, Marisa pasti akan berdosa. Ia akhirnya memberhentikan mobil setelah sempat melewati orang itu sedikit. Ia memperhatikan sekitar dan mengunci mobil. Ia sudah bersiap pula dengan ponsel yang digenggam erat untuk menghubungi Indra jika terjadi bahaya. "Tolong … tolong saya, Nona!" rintihnya. "Anda kenapa?" tanya Marisa sambil memperhatikan kaki orang tersebut yang terlihat terluka. "Saya digigit ular ketika tengah berkebun!"  Marisa melihat dua titik bekas gigitan ular, mengeluarkan sedikit darah segar dan area gigitan berwarna biru. "Tunggu saya akan menolong Anda!" Marisa mengambil sebuah tali dan peralatan medis di dalam mobilnya. Beruntung di semua mobil sudah disiapkan peralatan dan obat-obatan. Ia mengambil sebuah tali dan papan panjang serta perban. Dengan cepat, ia menutup luka gigitan dengan perban, mengikat area atas agar racun ular tidak dengan cepat menyebar. Ia lalu menjepit kedua sisi kaki agar tidak bergerak. Luka bekas gigitan ular tidak boleh digerakkan agar bisanya tidak mudah menyebar. "Auuu!" rintih orang itu. "Ayo kita masuk ke dalam mobil. Saya akan antar Anda ke rumah sakit terdekat!" Marisa membantu orang itu masuk ke mobilnya, lalu menginjak pedal gas. Ia mengemudikan mobil dengan kecepatan lumayan tinggi hingga menemukan rumah sakit terdekat. Ia tidak bisa langsung pulang ke rumah Rika karena harus memastikan orang yang ia tolong baik-baik saja. Dering telepon Marisa berbunyi. Sebuah panggilan masuk dari ibunya. "Kamu di mana? Kok belum sampai, Sayang?" tanya Rika. "Di rumah sakit, Ma." "Hah? Siapa yang sakit? Kamu tidak kecelakaan, kan? Anak Mama nggak diculik lagi, kan?" Rika terdengar panik di telepon. "Aku baik-baik saja, Ma,” sahut Marisa dengan tenang. "Terus kenapa di rumah sakit? Apa kamu nabrak orang?" "Tidak kok, Ma. Aku nolong orang yang terkena musibah digigit ular." "Syukurlah kalo begitu. Mama takut anak Mama kenapa-kenapa lagi. Cepat pulang, Sayang." "Bentar lagi ya, Ma." Ponsel Marisa dihubungi Indra. "Ma, udah dulu ya. A’a telepon." Marisa beralih mengangkat panggilan telepon masuk dari suaminya. Indra ingin melakukan panggilan video call. "Sayang, Ayah bentar lagi sampai," lapor Indra. Indra memperhatikan Marisa yang bukan berada di rumah Rika. "Sayang, Bunda kok kayak di rumah sakit? Kenapa? Ada apa? Tidak kenapa-napa, kan?" Indra panik setelah melihat sekeliling Marisa dan langsung mengetahui bahwa lokasi istrinya tengah di rumah sakit.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD