BAB 1

1143 Words
Cahaya senja sudah beralih menjadi gelapnya malam. Bintang-bintang berkilauan di langit. Tangan Indra melingkar di perut Marisa yang masih kempes dan rata. Kedua insan itu menghitung bintang bersama dan membentuk gambar-gambar zodiak. Di balkon kamar, angin terasa berhembus begitu kencang, menyingkapkan rok pendek yang Marisa kenakan.  "Anginnya kencang, Bunda. Kita ke dalam, yuk. Dingin, Bun!" ajak Indra. Marisa berbalik menghadap suaminya. Tangan Marisa yang mulus melingkar di leher Indra. "Selama ada Ayah, Bunda nggak akan kedinginan!" ucap Marisa sambil tersenyum. "Mau bikin keringat?" tanya Indra yang dijawab sebuah anggukan. "Tumben nggak nolak dulu?" Pertanyaan Indra sontak membuat Marisa berubah ekspresi menjadi kesal. "Maaf, maaf!” Marisa menepuk mulutnya yang nakal. "Jadi, ya?" tanya Indra untuk memastikan lagi. Marisa terdiam. "Maafin dong! Mau apa biar nggak ngambek ke Ayah lagi?" Indra mempererat pelukannya. Marisa menggelengkan kepalanya. "Mau apa, Bunda Sayang? Apa aja Ayah turutin." "Yakin?" tanya Marisa singkat. "Yakin lah! Emang Bunda mau apa? Asal nggak ngambek lagi, ya!” Indra mencium kening istrinya. "Liburan ke Korea!” Marisa mempererat pelukannya ke leher Indra. "Oooo … itu aja? Enteng banget. Minggu depan mau? Kalau segala urusan paspor dan lain-lain beres dengan cepat, kita lebih cepat berangkat." "Beneran?" Marisa menatap Indra penuh harap. "Kapan Ayah bohong?" "Yeay … liburan ke Korea! Ketemu artis K-Pop!" "Ehem … mohon maaf, ada syaratnya!" "Apa?" Marisa kembali cemberut. "Satu … jangan ngambek. Dua … kita buat keringat dulu sekarang, ya, Bunda!" Marisa mengangguk. "Asal jadi ke Korea!" Indra menggendong Marisa seperti karung beras. "Turunin, Ayah!" "Iya, nanti di kasur, Bunda!" Sampai di kamar, Indra menurunkan Marisa di pembaringan. "Ayo berkeringat bersama!" ajaknya. Tanpa menunggu lagi, Indra membuka semua baju yang ia kenakan, lalu membuka baju Marisa. "Lakukan dengan lembut. Terakhir kali Bunda susah jalan lagi. Untung nggak lecet. Kalau lecet Ayah puasa lagi, lho.” Marisa mengusap da-da bidang Indra. Indra mengangguk dan hendak menyambar bibir Marisa. "Ini kita tanpa pengaman, Ayah. Semoga benihnya berhasil jadi calon adek bayi ya, Yah!” Marisa mengusap rambut Indra dengan lembut dan mencium bibir suaminya. "Kita coba cara yang berbeda dari biasanya, ya!"  "Maksudnya, Yah?" "Ayah mau gaya yang beda-beda!" "Hmmm … kayak gimana?" "Udah ikuti Ayah aja, Bunda!" Marisa mengangguk dan Indra mulai beraksi. Ia memerintahkan istrinya untuk duduk di paha dan membelakangi tubuhnya. Indra meremas-remas kedua gunung kembar milik Marisa berbarengan, membuat Marisa merasakan sensasi menggelitik ke seluruh tubuh. Marisa menyandarkan kepalanya pada pundak Indra.  Tangan Marisa ke belakang mengusap-usap rambut Indra dengan lembut. Memberi akses Indra lebih leluasa untuk menikmati kedua gunung kembar itu. Leher jenjang yang begitu dekat dengan wajah itu Indra kecup bertubi-tubi. Mulut Indra lalu mengulum telinga Marisa berkali-kali sambil berbisik, "Masih sakit nggak, Bun? Udah waktunya untuk konsul lagi!" "Udah nggak. Kan Ayah pijitin tiap hari! Terima kasih ya, Ayah. Ada udang di balik batu. Bantuin mijitin sih iya, tapi setelah itu Ayah hantam Bunda berkali-kali hingga tidak berdaya!" "Sekarang juga gitu!” Indra memegang pinggang Marisa dan mengangkatnya sedikit. Indra mengarahkan sesuatu tepat masuk ke tempatnya bersarang. "Agh …." Marisa sedikit kaget dimasuki ju-ni-or milik Indra. "Udah lihai, kan? Padahal posisi Ayah dari belakang. Ia benar masuk ke tempat yang diinginkannya. Bunda yang main, Sayang. Kan Bunda ada di atas Ayah!" Kedua tangan Indra memegang pinggang sang istri, mengajarkan Marisa untuk memimpin permainan. Marisa mulai menaik-turunkan tubuhnya perlahan dan dengan lembut. Mulutnya mengeluarkan sedikit erangan. "Iya begitu, Bun! Agak sedikit cepat lagi!" Marisa mengikuti perintah Indra dengan menaikkan kecepatan naik turunnya. Indra kembali memberi rangsangan dengan meremas-remas kedua gunung Marisa. Bibirnya menghisap pundak Marisa, memberi tanda kepemilikan di bagian belakang. "Agh … uh … Ay-Ayah! Jangan buat tanda kepemilikan di bagian depan, ya! Nanti sore Bunda mau konsul. Nggak lucu kalau kiss mark Ayah kelihatan dokter. Malu Bunda!" pinta Marisa pada suaminya yang tengah sibuk memberi tanda kepemilikan di bagian belakang. "Ah … mmmph … jadi Ayah nggak boleh merambah ke bagian depan, nih?" "Iya, Sayangku. Nanti diketawain ibu dokternya. Bunda malu!" "Iya. Ayah akan menahan diri, nggak akan membuat tanda kepemilikan di bagian depan." Marisa kembali menambahkan ritme, membuat keduanya mendapat puncak pelepasan. Indra masih merasa kurang. Ia meminta istrinya untuk beralih posisi. Marisa menahan tubuhnya dengan tangan dan lutut yang bersandar di kasur. Kini Indra yang menghantamnya dari bagian belakang. "Tahan, ya!" Indra memberikan aba-aba. Tangannya ia gunakan untuk menggenggam kedua paha Marisa agar tetap stabil dan tidak bersandar ke kasur. Ia memompa perlahan hingga Marisa mendesah berkali-kali. Indra menghantamnya sampai ke ujung. Tidak menyisakan beberapa senti pun. Seluruh badan ju-ni-or masuk pada rumah favoritnya. "Agh … hati-hati melukainya lagi, Ayah!" Marisa mengingatkan. Ia takut miliknya kembali lecet akibat ulah sang suami. "Maaf, Sayang. Ini agar benih Ayah cepat sampai ke tujuan. Tahan, yaaa!" Bertubi-tubi, Indra mengguncang milik Marisa sampai ke ujung. "Ay … agh … sakit, Ayah!" "Belum keluar. Sebentar Bunda!" Indra memompa miliknya hingga mendapatkan pelepasan lagi. Indra mengerang panjang, lalu mengembuskan napas lega saat benih-benihnya tersembur sempurna. Indra membaringkan tubuhnya di atas kasur, sementara Marisa menyandarkan kakinya ke bagian kepala ranjang. Ia menggunakan bantal untuk menahan pinggang. "Gitu terus, kalau nggak miring ya, bikin area bawah tubuh lebih tinggi?" "Iya. Demi dia yang akan tumbuh di dalam. Nggak akan bosan setiap kali habis Ayah ajak tempur ya ubah posisi seperti ini!" "Terima kasih atas perjuangannya, Bun. Akhirnya Bunda mau jadi ibu rumah tangga dan jalani program hamil.” Indra mencium kening Marisa. "Maafkan kesalahan Bunda yang dulu, Ayah. Bunda sayang Ayah!” Marisa memajukan bibirnya agar disambar oleh Indra. Marisa sudah cukup lama menahan posisinya. "Udah jangan lama-lama nanti pegel. Cukup beberapa menit saja,” ucap Indra. Tanpa terasa, sudah satu jam Marisa menahan pinggangnya dengan bantal dengan kaki dinaikkan ke atas. "Terlalu ingin dia berhasil. Lupa kalo posisi ini juga kelamaan bikin pegel.” Marisa menurunkan kedua kaki dan kembali memakai pakaian yang berserakan di lantai. "Kalau rezeki nggak akan ke mana. Kalau Tuhan percayakan kepada kita seorang anak lagi, nanti Bunda hamil, kok!" "Ya usahanya juga jangan sampai kendor, Ayah Sayang." "Ayah siap kok buat Bunda mendesah setiap hari!" "Ya jangan setiap hari juga, ih. Ayah m***m, nyebelin!" Indra memeluk tubuh Marisa agar tidur dalam dekapannya. "Tidur, jangan ngomel-ngomel lagi kalau nggak mau Ayah ajak bertempur lagi!" ☆☆☆ Keesokan harinya sesuai rencana, Indra bersiap mengantar Marisa ke klinik untuk berkonsultasi. Marisa ingin memastikan keluhan pada gunung kembar miliknya sudah sembuh atau harus tetap melakukan terapi. Ada perasaan was-was saat Marisa keluar dari rumah dan masuk ke mobil. “Kenapa mukanya mendung, Bunda?” tanya Indra dengan tersenyum manis. “Bunda takut hasil konsultasinya nggak bagus,” sahut Marisa sambil menggigit bibir. “Nggak bagus gimana, Bun?” “Takut benjolannya masih ada dan jadi ganas, Ayah.” Indra mengangkat dagu Marisa sehingga wajah mereka berhadapan. Bibir cantik itu membuatnya tak tahan untuk mengecup. “Mmm, tenang saja, Bunda. Ayah yakin semuanya akan baik-baik aja.” “Ah, Ayah!” Marisa menjadi tenang dan membalas ciuman Indra.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD