BAB 2

1627 Words
Mobil hitam yang mewah terparkir rapi di depan sebuah klinik. Terlihat seorang pria membuka pintu untuk seorang wanita. Pria itu lantas merangkul sang wanita dan mengajaknya masuk ke dalam klinik. Kedatangan mereka sudah biasa disambut hangat oleh para karyawan. Tujuan mereka kali ini bukan untuk memeriksa keadaan klinik, tapi untuk berkonsultasi dengan dokter bedah dan dokter Obsgin yang ada di klinik mereka. Marisa membuka baju atasan dan membaringkan tubuh di atas bed pemeriksaan. Dokter menghampirinya dan refleks mengatakan, "Tumben hari ini tidak ada kiss mark?" Pertanyaan itu sontak membuat wajah Marisa merona karena malu. Pasalnya, setiap datang konsultasi, selalu saja ada jejak kepemilikan Indra di da-da atau bagian perut, sehingga Marisa menyembunyikan dengan tangan menghalangi jejak itu. "Tidak ada, Dok.” Marisa tersenyum. "Semalam dilarang bikin tanda. Katanya malu kalau dilihat sama dokter.” Indra membuka suara. "Kasihan Dokter Indra jadi korban.” Dokter itu jahil menggoda Marisa yang terlihat sangat malu. "Tanpa tanda kurang greget, yah, Dok. Bener nggak?" Indra tersenyum. Tidak memperdulikan istrinya yang ingin marah kepada dia. "Bener itu!” sahut sang dokter. Ia berpaling pada Marisa. "Sudah tidak ada nyeri lagi?" "Tidak ada, Dok," jawab Marisa sambil mengenakan kembali pakaiannya. "Masih teraba mengeras atau ada benjolan?" "Em …." Marisa tidak terlalu memperhatikannya. "Tidak ada, Dok.” Kali ini Indra yang menjawab. "Lho kok lebih hafal Dokter Indra?" goda sang dokter. "Saya yang melakukan massage setiap hari, Dok, agar istri saya cepat sembuh.” Indra memberitahu bahwa dirinya rajin melakukan massage pada Marisa agar cepat pulih. Setiap pagi atau malam hari, dengan paksa Indra selalu menyiapkan minyak zaitun dan waslap untuk melakukan terapi massage pada kedua gunung kembar Marisa, tanpa diminta sang istri. Tentu saja ada niat terselubung dibalik Indra yang rajin melakukan massage. Ia bisa menikmati bagian terfavorit dari tubuh sang istri. Merangsang Marisa agar dirinya bisa saling bertukar keringat setelah melakukan sesi massage. "Rajin sekali, Dokter Indra. Sudah bagus sih menurut pemeriksaan saya. Ini sepertinya berkat Anda rajin memberikan terapi massage.” "Suami siaga dan baik kan, Dok.” Dokter itu mengacungkan jempol. Wajah Marisa sampai merah merona karena malu mendengar obrolan dua orang di hadapannya. Setelah berkonsultasi dengan dokter spesialis bedah, Marisa dan Indra mengunjungi dokter Obsgin. Mereka ingin melakukan program hamil. Dokter menawarkan jalan lain, yaitu program bayi tabung. Marisa menolak karena ia ingin dengan jalan normal terlebih dahulu. Jika sudah lebih dari setahun atau dua tahun usia pernikahan, baru ia akan mengambil jalan pintas untuk melakukan program bayi tabung. Indra menuruti saja apa keinginan istrinya. Jika Marisa setuju, ia akan ikut setuju. Indra masih ingin berbincang-bincang dengan dokter. Marisa pamit meninggalkan Indra lebih dulu ke bagian apotek. Saat Indra menyusul ke apotek, ia melihat istrinya keluar dari ruang penyimpanan obat dengan satu buah dus berwarna biru di genggamannya dan satu plastik isi obat vitamin program hamil. "Ada resep obatkah, Bun?" tanya Indra. "Perasaan tadi nggak ada resep.” "Iya ada, Yah. Bunda juga kepingin ambil ini.” Marisa mendekap erat dus berwarna biru. "Itu apa?" Indra mengerutkan dahi. "Nanti Ayah juga tahu! Ayo pulang.” Indra merangkul Marisa, lalu meraih semua yang Marisa bawa agar istrinya tidak kerepotan dan keberatan. Setelah beralih ke tangan Indra, ia baru tahu dus berwarna biru itu terasa enteng. Ia melihat gambar alat kecil seperti sebuah lidi dengan gadis hitam dan tulisan kecil. "Oh, ini test pack, Bunda.” Indra membukakan pintu mobil untuk Marisa. Marisa mengangguk. "Kok banyak banget, sampe satu dus bawanya?" tanya Indra yang penasaran, kenapa istrinya membawa test pack banyak sekali. "Buat persediaan aja, Ayah.” Marisa sengaja membawa banyak sekali test pack. Ia ingin melakukan pemeriksaan kehamilan setiap hari. Ia tidak mau kecolongan lagi seperti dulu. Keguguran pada saat ia tidak mengetahui dirinya tengah berbadan dua. ☆☆☆ Indra kerap melihat lagi istrinya melemparkan benda pipih berbentuk kecil dan berwarna biru ke dalam tong sampah hampir tiap pagi. Hal itu menjadi pemandangan yang rutin Indra lihat. Meski terlihat gembira dan tidak sedih, tapi sikap Marisa yang menyediakan alat test pack hingga berdus-dus, melakukan pemeriksaan setiap pagi, tetap tersenyum meski melihat hanya satu garis merah, membuat Indra yakin Marisa sebenarnya tengah tertekan. Marisa memang bisa menyembunyikan kesedihan di balik wajah cerianya. Indra sangat tahu isi hati Marisa. "Sudah, Sayang! Bunda jangan lakuin itu tiap pagi. Emang nggak capek apa?" Indra memeluk Marisa yang tengah memandangi kaca. "Takut nanti cantiknya luntur. Senyum, dong.” Indra melebarkan bibir Marisa dengan kedua telunjuknya. "Nah, senyumnya kayak gini. Bunda cantik, deh.” Benda pipih berbentuk persegi empat panjang milik Indra berbunyi. Sebuah telepon masuk dari sekretaris pribadinya. Indra duduk di atas kasur, meraih ponsel dan mengangkat telepon. Indra mendapatkan kabar bahwa ia harus pergi ke seminar di luar kota. Berarti liburan ke Korea gagal total. Setelah seminar ke luar kota, Indra juga ada jadwal meeting. "Telepon dari siapa, Ayah?" tanya Marisa sambil duduk di pangkuan Indra  "Dari sekretaris, Bun.” "Batal ke Korea, ya?” Marisa berusaha menebak. Pasalnya, terakhir kali mereka pergi hanya berdua sudah lama, yaitu saat pernikahan Rosa. "Iya, Bun. Maaf, yah.” Ekspresi Marisa berubah. Yang tadinya tersenyum menyembunyikan rasa kecewa karena gadis test pack negatif, sekarang memajukan bibir dan menundukkan kepalanya. "Hey, jangan sedih, Bunda Sayang! Jadi kok ke Korea. Cuma, waktunya diundur dan belum tahu kapan akan berangkat.” Indra mengecup kening Marisa. Ia berusaha menahan Marisa untuk tetap di pangkuannya karena Marisa beranjak bangun. "Ayah harus ke luar kota selama beberapa hari.” Marisa memalingkan wajah. Ia tidak suka ditinggal sendirian di rumah. Meski terkadang ditemani Rika atau Santy, tetap saja ia merasa kehilangan. "Kalo gitu, Bunda juga mau ikut ke luar kota,” ucapnya dengan nada tegas. "Bunda mau ke mana?" "Mau pulang ke Bandung. Bosan di Jakarta. Kalau nggak salah ini musim bercocok tanam di sana. Bunda mau menikmati alam yang asri dan udara yang segar di kampung halaman. Males sama Jakarta yang banyak polusi." Ia memilih untuk pulang ke Bandung saat menunggu Indra bertugas ke luar kota. "Boleh. Tapi Pak Sopir ikut, ya! Jangan nyetir mobil sendiri." “Nggak mau! Biar Pak Sopir anter Ayah aja. Kasihan Ayah pasti capek. Bunda ke Bandung kan deket.” "Nurut apa kata Ayah, Bunda! Ayah nggak mau Bunda kenapa-kenapa dan kecapekan.” "Ya udah, iya. Kapan Ayah berangkat?" "Besok, Bunda.” "Besok Bunda pulang ke Bandung setelah Ayah berangkat.” Marisa menjadi banyak diam dan murung karena ditinggal Indra ke luar kota. Indra berangkat kerja pun, Marisa hanya mencium tangan Indra saja. Tidak ada ucapan kata-kata penyemangat seperti biasa. Seharian penuh, telepon Indra dari kantor tidak Marisa angkat. Indra tahu istrinya marah dan kecewa. Saat pulang kerja, ia membeli satu kotak cokelat dan sekuntum bunga mawar untuk menyenangkan hati Marisa. Indra pulang menjelang malam. Marisa seperti biasa menyambut kedatangan dan mencium punggung tangan Indra. Ia segera membalik badan dan membawakan tas Indra ke dalam kamar. Indra mengejar langkah Marisa. Ia melingkarkan lengan di perut sang istri dengan sekuntum bunga mawar dan cokelat yang tadinya ia sembunyikan di balik badannya. "Untuk istri Ayah yang cantik.” "Terima kasih.” Marisa meraih bunga mawar dan cokelat sambil melepaskan pelukan Indra. Wajahnya tetap datar, tidak berubah sama sekali. Cara merayu Marisa part satu tidak berhasil. Indra harus banyak bersabar. Pekerjaannya di kantor sangat banyak sehingga selepas mandi Indra merebahkan tubuh di kasur dan langsung terlelap tidur. Ia terpaksa memeluk guling karena Marisa menolak untuk dipeluk. Paginya, Marisa mengusap lembut rambut Indra. Ia melihat wajah suaminya yang lelah bekerja. Ia merasa kasihan dan bersalah telah mendiamkan Indra seharian. Indra terbangun karena merasa kepalanya tengah diusap halus. Ia membuka kedua mata perlahan dan memandang sang istri. "Bunda udah bangun? Ini jam berapa?" tanya Indra. "Masih jam lima pagi, Ay! Tidur lagi. Mau berangkat jam berapa dan di sana berapa hari?" "Seminggu, jam delapan, Bun.” Indra menenggelamkan wajahnya di belahan da-da Marisa. Marisa memeluk Indra sambil melingkarkan kaki mengungkung tubuh suaminya. Merasa Marisa tidak marah lagi, Indra pun bertanya, "Bunda udah nggak marah lagi? Nanti tolong bikinkan sarapan, ya,” bisiknya. "Iya, Ayah Sayang! Semangat, Cinta. Mau siap-siap dari sekarang nggak?" tawar Marisa. "Malas, Bun! Mau nyusu dulu biar semangat.” "Ya udah, Bunda mau turun bikinin su-su.” Indra menahan tubuh Marisa yang hendak bangun. "Bukan s**u yang itu. Maksud Ayah yang ini.” Indra membuka kancing piyama tidur Marisa satu persatu. "Ayah pagi-pagi udah mesum.” Marisa tidak menolak saat Indra sudah membuka bra yang ia kenakan. "Ayah butuh mood booster. Seharian istri Ayah yang cantik ngambek. Ayah jadi nggak semangat kerjanya.” Marisa menghisap bagian empuk gunung milik Marisa hingga bagian puncak yang berwarna cokelat. Indra menghisap seperti anak kecil. "Bayi besarku.” Marisa mencium puncak kepala Indra dan mengusap rambut belakang suaminya dengan lembut. "Geli, Ayah.” Marisa merasa geli karena Indra memainkan puncak berwarna cokelat itu dengan lidahnya. Indra tidak peduli dengan apa yang dikatakan sang istri. Ia hanya fokus menikmati bagian terfavorit dari tubuh Marisa. Ia memainkan dengan lidahnya, mengisap perlahan, membasahi seluruh permukaan dengan saliva. Sebelah gunung Marisa yang tidak ia hisap, diremas-remas dengan gemas. Belum puas, ia memainkan ujung puncak gunung dengan telunjuk dan ibu jari. "Au ….” Marisa sedikit kesakitan saat Indra mengisap agak kencang. Isapan itu meninggalkan jejak kepemilikan. "Ayah ninggalin jejak kepemilikan di da-da Bunda tu. Sakit tahu!” protes Marisa. "Maaf. Gemesh Ayah dengan ukurannya yang lumayan besar.” "Ish! Ayah nyebelin.” Bagian bawah tubuh Marisa terasa basah karena rangsangan yang dilakukan oleh Indra. "Bunda basah, Ay! Ini sudah waktunya Ayah siap-siap.” Indra tak menghiraukan ucapan Marisa. Ia terus memainkan gunung kembar favoritnya karena selama satu minggu ke depan, ia tidak akan merasakan ini. Marisa menjauhkan kepala Indra dari da-danya, lalu duduk di atas perut sang suami. Ia membuka kaos yang dipakai suaminya secara perlahan. "Morning s*x sebelum ditinggal satu minggu,” bisik Marisa, lalu mengecup singkat bibir Indra.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD